Meraba Novel Semu, Debut Zurah Budiarti sebagai Seorang Novelis [Spoiler Alert!!!]
Novel Semu Karya Zurah Budiarti |
Zurah
Budiarti lewat novel perdananya yang berjudul Semu membuktikan bahwa mimpinya
menjadi penulis bukanlah angan semu. April 2018, novel ini resmi menjadi milik publik
dengan menggandeng penerbit independen Stiletto Indie Book. Keputusan Zur’ah memilih
penerbit indie sebagai jalan debutnya bukanlah buah dari keputusasaan karena
naskahnya sering ditolak oleh penerbit mayor. Seperti yang telah ia sampaikan
saat acara peluncuran buku ini, ia memilih penerbit indie semata-mata karena tidak
ingin karya perdananya mendapat intervensi dari pihak manapun. Ia menginginkan
karya ini berdiri sendiri, lahir murni dari rahim kreativitas pribadi seorang Zurah
Budiarti.
Tekad Zurah untuk membidani sendiri novel
perdananya terbukti ketika saya membuka novel ini untuk kali pertama. Saya
menjumpai bahwa desain cover dan layout isi ditangani sendiri olehnya. Ya,
bahkan untuk urusan cover dan layout, dia harus turun tangan sendiri demi
memastikan karya perdananya lahir murni darinya.
Berbicara
tentang tampilan cover, kesan pertama saat melihatnya adalah simple. Berlatar belakang putih dengan
gambar ilustrasi seorang perempuan berendam di air hingga menyisakan separuh wajahnya
mulai dari rambut sampai tengah batang hidung. Di atas terdapat teks ‘a novel by Zurah Budiarti’ dengan font style khas tulisan tangan tegak
bersambung. Lalu di bawah gambar ilustrasi barulah ditulis judul novel “semu.” (menggunakan tanda baca titik di belakang. Padahal dalam kaidah bahasa
Indonesia judul tidak perlu diberi titik *oke, bagian ini hanya sekedar untuk
edukasi ya…) Pemberian tanda titik pada judul mungkin saja menyimpan pesan
tersirat penulis. Tentu saja pembaca boleh bebas menerka apa pesan tersirat
itu. Secara pribadi, saya suka desain cover novel ini, simple. Ya, dalam desain grafis, beberapa orang beranggapan bahwa Simple is better, dan menurut saya
konsep ini tepat diterapkan pada cover novel Semu.
Novel
ini mengususng tema perempuan dengan sudut pandang orang pertama, tokoh utama
bernama Kudo. Kisah dalam novel Semu jika diringkas dengan satu kalimat panjang,
maka kalimat tersebut adalah “Perjalanan
panjang seorang gadis bernama Kudo untuk meyakinkan hatinya dan memantapkan dirinya
berkata “Ya, saya siap menjadi istrimu” di hadapan sahabat laki-laki yang tiba-tiba
melamarnya.”
Perjalanan
panjang tersebut disebabkan oleh latar belakang Kudo, ideologi, dan
pergaulannya dengan aktifis-aktifis hak perempuan. Kudo beranggapan bahwa
dirinya yang sekarang masih belum butuh sosok lelaki. Dia khawatir ruang
geraknya dibatasi oleh pasangan ketika ia menjalani hidup berumah tangga. Pun
dirinya juga khawatir akan merenggut ruang gerak pasangannya. Latar belakang
keluarga Kudo juga ikut memperparah konflik dalam dirinya. Ayahnya menginginkan
ia segera menikah, sedangkan ibunya—yang juga seorang aktifis perempuan sangat
memahami kondisi dan keputusan Kudo. Petualangan Kudo dalam menghadapi konflik
pribadinya berlanjut ketika pihak keluarga pelamar ikut mengintervensi
keputusannya dengan menceritakan asal-usul pelamar tersebut.
Zurah
menggarap dengan apik tahap penyelesaian konflik Kudo dengan menampilkan adegan
perbincangan Kudo bersama Ran, adik perempuannya yang telah menikah dan
memiliki anak. Dengan mendengar alasan mengapa Ran menikah, hati Kudo terketuk
untuk membuang jauh-jauh rasa khawatirnya terhadap kehidupan pernikahan. Di
sini Zurah seperti ingin mengingatkan kita bahwa terkadang kita justru harus
belajar dari orang yang lebih muda dari kita. Memang kita biasanya egois untuk
menganggap yang lebih muda tidak tahu apa-apa dan yang tua lebih berpengalaman
dan banyak tahu. Lewat adegan ini, Zurah berhasil menyentil sisi keegoisan saya
dalam hal relasi si tua dan si muda.
Di
pertengahan membaca novel semu, saya sempat kecewa mengapa novel ini
menggunakan sudut pandang satu orang, yaitu Kudo. Saya beranggapan novel ini
akan lebih kompleks dan seru jika disajikan dengan sudut padang orang ketiga
sehingga lebih berimbang. Sudut pandang orang ketiga memungkinkan
mengeksplorasi kisah hidup tokoh lain, dalam kasus ini misalnya dapat lebih mengeksplorasi
bagaimana keadaan Abimanyu ketika menunggu jawaban dari Kudo dan latar belakang
keluarganya dari sudut pandang pelaku kisahnya sendiri.
Saya
juga merasa kehilangan beberapa momen romantis dalam novel ini karena penulis
lebih banyak menghadirkan dialog dan kurang mengeksplorasi bagaimana perasaan
tokoh, atau gesture tokoh, atau suasana latar saat tokoh berdialog. Hal ini
sesungguhnya dapat membangun kesan romantis dalam dialog. Semua berlangsung
begitu cepat hanya dengan dialog-dialog. Seharusnya penulis lebih bisa
memainkan tempo jalannya cerita dengan menyisipkan narasi-narasi agar tidak
terlalu cepat mencapai gol, Ketimbang terkesan terburu-buru ingin segera
menuntaskan cerita hanya dengan dialog. Bahkan, saya juga merasakan hilangnya
momen romantis di ujung cerita hanya gara-gara disajikan melulu dialog. Bagian
yang saya maksud yakni saat Kudo akhirnya mengiyakan lamaran Abimanyu.
Membaca
Semu tidak hanya seperti membaca novel. Saya merasa novel ini sebenarnya digunakan
sebagai wadah untuk menyampaikan pikiran, kegelisahan, dan apa yang ingin
diteriakkan Zurah sebagai seorang perempuan. Di dalam novel ini banyak
disajikan dinamika hidup seorang perempuan. Posisi perempuan dalam dunia kerja,
posisi perempuan yang memutuskan nikah muda, posisi perempuan yang status
ekonominya di atas pasangannya, posisi perempuan yang mengorbankan harga
dirinya demi keadilan, bahkan posisi perempuan yang rela dimadu oleh suaminya. Dari
stereotip posisi-posisi perempuan tersebut, dapat diraba bagaimana sosok
perempuan menurut sudut pandang seorang Zurah.
Saya
mengatakan novel ini hanya sabagai wadah tentu saja bukan tanpa alasan. Pada
chapter 3, diceritakan bagaimana Rum, teman satu kos Kudo hampir menjadi
pelakor yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan premis utama dari novel
ini. Misal novel ini terbit melalui penerbit major, tentu saya yakin cerita Rum
akan dilenyapkan oleh editor. Saya sangat yakin Kisah Rum yang tidak ada
kaitannya dengan konflik Kudo ini sengaja ditampilkan untuk mewadahi salah satu
pemikiran dan pandangan Zurah mengenai perempuan yang rela dimadu dan perempuan
yang memanfaatkan lekuk tubuhnya sebagai senjata melawan patriarki. Oleh karena
hal ini, langkah Zurah menerbitkan Semu lewat penerbit indie menjadi langkah
yang jitu.
Dalam
novel ini juga banyak bertebaran penjelasan-penjelasan istilah dalam kajian
teori feminisme di footer-nya. Pembaca tidak hanya akan menikmati kisah Kudo,
tetapi juga diberi wawasan mengenai paham feminism. Hal ini menyebabkan saya
lebih yakin bahwa Semu bukan hanya sekedar novel, tetapi juga wadah.
Banyak pengalaman-pengalaman unik dan berkesan
selama saya berhubungan dengan novel Semu. Mulai dari ikut acara peluncuran,
memesan, menerima paket, membuka paket, hingga tuntas membacanya. Salah satunya
adalah ketika membuka paket. Paket buku ini disertai beberapa cinderamata di
dalamnya. Salah satunya yakni teh melati. Setelah membaca novel ini, saya jadi
paham mengapa teh dipilih untuk menjadi cenderamata. Ternyata dalam kisahnya,
keluarga Kudo merupakan pemilik pabrik teh. Menyeduh teh melati dari paket buku
ini sambil membaca—terutama di bagian Kudo dan kakaknya berjalan-jalan di
pabrik teh, tentu akan memberikan pengalaman membaca seperti melihat film 4D. Kita
tidak hanya menonton film, tapi ikut merasakan cipratan air, semburan asap, dan
panasnya api. Kita tidak hanya membaca, tapi ikut merasakan aroma pabrik teh
keluarga Kudo.
Keunikan
kedua adalah tidak dijelaskannya bagaimana bentuk fisik dari tiap-tiap tokoh. Hal
ini dilakukan Zurah dalam rangkah kampanye body
shaming, sebagaimana telah ia sampaikan saat acara peluncuran Semu. Zurah
tidak mau berlebihan mengeksploitasi tubuh tokoh rekaannya dalam narasi-narasi.
Hal ini juga membuat pembaca lebih merdeka membangun sosok masing-masing tokoh
dalam imajinasi mereka.
Keseruan saat acara peluncuran Semu |
Dalam
imajinasi saya sendiri, sosok Kudo dan saudara-saudaranya adalah warga negara
Indonesia keturunan. Sebab nama-nama mereka sangat ajaib dan tidak Indonesia
banget. Mulai dari Kudo Rise, Eri Clair, dan Ran. Ditambah lagi dengan kelakuan
mereka yang suka bicara campur-campur dengan bahasa Inggris. Saya menemukan
pesan tersirat dalam nama Kudo Rise. Kudo adalah citra perempuan independen
dalam novel ini. Kemudian Rise dari bahasa Inggris dan dapat diartikan bangkit.
Dengan kata lain, Kudo Rise adalah ikon bangkitnya kaum perempuan dalam novel
ini yang berusaha dibangun oleh penulis.
Keunikan
yang terakhir adalah meski novel ini berjudul Semu, tidak ditemukan sama sekali
kata semu sepanjang 179 halaman novel ini. Kira-kira mengapa novel ini berjudul
semu? Tentu masing-masing pembaca memiliki interpretasi sendiri-sendiri.
Penasaran mengapa novel ini diberi judul Semu? Silakan pesan dan baca untuk
tahu jawabannya.
Zurah Budiarti, penulis novel Semu |
Novel
Semu Karya Zurah Budiarti dapat dibeli dengan mengunjungi link berikut:
thank you paiz. tidak sabar mereview novelmu balik.. so, cepetan nulisnya yaawh. anyway aku memang nggak pintar bernarasi yang romantis, tapi aku masih akan terus belajar. semoga next novel akan lebih kaya ya isinya. kayak aruna dan lidahnya may be. kau harus baca aruna dan lidahnya is. dan kita bisa discuss soal itu. thank youuuuuu sooooo muchhhhh
ReplyDeleteSama-sama Zur.. Ditunggu karya-karya berikutnya bu Zur., makasih buat referensi bacaannya juga. BTW, satu tahun terakhir cuma hobi beli-beli buku tapi gak sempet-sempet baca. Numpuk sek plastikan. Gimana ya cara ngatasi penyakit ini Zur? wkwkwkwk.. :')
Delete