Pemeran Sinta
Dari balik pintu aku mendengar suara hitungan. Imajiku langsung berkelana, membayangkan dirimu memainkan sampur. Melangkah bergerak gemulai mengikuti hitungan. Menarikan jiwa sinta agar peranmu semakin mantap. Tidakkah kau tahu wahai pemeran dewi sinta di pelataran candi Prambanan, aku mencintaimu seperti dirimu mencintai seni tari. Itulah sebabnya aku terpaku, mengurungkan niatku untuk mengetuk pintu karena tidak mau mengganggu percumbuanmu dengan seni tari yang kau cintai.
Mendengar
suara hitungan gerakmu dari balik pintu, Aku jadi teringat bagaimana kita dulu
pertama kali bertemu.
Kala
itu minggu-minggu pertama aku tinggal di kota Jogja dan disambut oleh gerimis.
Aku bergegas mengangkat jemuran yang hampir kering di pekarangan. Tidak hanya
aku, seluruh penghuni indekos yang lain berhamburan menyelamatkan cucian
masing-masing. Kecuali dirimu. Entah kenapa saat itu pintu kamarmu tertutup.
Cucian
di depan pekarangan kamarmu memang tak banyak, hanya beberapa helai kaos dan
sehelai kain panjang berwarna merah. Sebelum gerimis membuat cucian itu basah,
aku
mengangkatnya dan segera mengetuk pintu kamarmu. Seperti saat ini, kala itu
dari balik pintu yang sama, aku mendengar hitungan gerak keluar dari bibirmu.
“Mbak,
gerimis. Ini cuciannya gak diangkat? Nanti basah lagi loh!” Aku mengetuk pintu
sambil setengah berteriak.
Hingga
teriakan ke tiga, akhirnya kau membuka pintu dengan muka panik. Ditambah
kunciran rambut ala kadarnya dan sehelai sampur berwarna merah yang
terselempang di badanmu.
“Gerimis
mbak.” Ucapku spontan. Mencoba mengurangi kecanggungan.
Kau
tersenyum dan pipimu melesung. Terlihat sangat manis.
“Ini
cuciannya mbak.”
“Terima
kasih ya…”
Selepas
pertemuan konyol itu, malam harinya kau mengundangku menonton pertunjukan sendratari
Ramayana.
Di
panggung terbuka berlatar belakang candi roro jonggrang dan purnama, saat
itulah aku mulai sadar jika pemeran dewi sinta yang terlihat sangat cantik itu
ternyata dirimu. Sampur yang kau pakai adalah sampur yang sama persis—berwarna merah.
menjuntai sama persis seperti ketika tadi kau meraih cucian dari tanganku.
Gerakan
lamban yang begitu indah berhasil kau suguhkan. Pesonamu saat menari bagaikan
bidadari yang singgah bermandi cahaya purnama. Jiwa seorang sinta merasuk dalam
hempasan sampur, langkah kaki yang jenjang berbalut jarik, dan gerakan tangan
maupun jemari. Bahkan sekujur tubuhmu terasa melakukan gerakan tarian.
Selesai
pertunjukan, masih dengan keringat menempel di sekujur tubuhmu, aku
menghampirimu. Lalu dengan senyummu yang manis itu, kau memperkenalkan pria
pemeran Rama yang ternyata adalah kekasihmu. Untuk pertama kalinya, untuk
pertama kalinya senyumanmu terasa getir, kala itu.
Kemudian
aku mulai tersadar. Aku tertarik pada kekasih orang.
Seperti
pertemuan pada drama-drama yang terkesan kebetulan, Pada malam yang sama,
akhirnya aku mengetahui siapa namamu, apa pekerjaanmu, dan sayangnya—aku juga
mengetahui siapa yang kau cinta.
***
Derit
pintu di hadapanku menyadarkanku dari kenangan. Akhirnya kau membuka pintu
tanpa harus aku mengganggu latihan pribadimu.
Masih
dengan sampur yang kau selempangkan di pundak, kau terlihat murung menyambut
kedatanganku. Memang sekitar sejam yang lalu kau mengirimku SMS—memintaku untuk datang menemuimu. Dan sekarang, saat
aku menatap wajahmu aku sudah hafal, kau pasti membutuhkan telinga untuk keluh
kesahmu. Seperti biasa, telingaku siap untuk itu.
“Kenapa
cemberut?” tanyaku memecah keheningan.
Kau
hanya membuang napas. Kemudian menggeleng dan menarik seutas senyum yang
terkesan dipaksakan.
“Pasti
gara-gara si Yudha lagi.” aku sudah bisa menebak. Dari setiap kali kau ingin
mencurahkan keluh kesahmu, selalu tentang pemeran Rama bernama Yudha. Seorang
lelaki beruntung yang selalu menyia-nyiakan dirimu dan tidak tahu betapa
beruntungnya dia memilikimu.
Tanpa
mempersilahkan aku masuk, kau bergegas keluar. Mengunci pintu kamarmu dan
menggamit lenganku menuju angkringan yang jaraknya hanya tujuh puluh meter dari
gerbang indekos kita.
Di
hadapan dua cangkir kopi jos, kau mulai berbicara dengan suara yang sesekali
bergetar.
“Aku
gak ngerti, kenapa si Yudha bisa menuduh aku yang enggak-enggak?”
Demi apapun pemeran Dewi Sinta, watak Rama
yang diperankan kekasihmu itu telah merasuk ke dalam sukma dan kisah cintanya.
Kini kisah cinta kalian telah masuk pada bagian dimana Rama tidak percaya
dengan kesucian sinta. Kekasihmu tidak mempercayai kesetiaanmu.
“Ya
udah putusin aja!” ujarku iseng. Meskipun sebenarnya terucap dari hati yang
paling dalam.
“Mulutmu!”
kau menatapku sinis. “Gak bisa seperti itu. Aku sayang banget sama Yudha.”
“Terus
kalau dia gak percaya lagi sama kamu, kamu mau ngapain?”
“Mau
ngapain aja. Asal dia percaya. Aku sudah jelasin, kalau si Rosid itu sahabatku.
Sahabatku sejak SMP. Masih aja dia gak percaya.”
“Dan
ini sudah kesekian kalinya loh. Biasanya, kalau orang sudah bosen sama suatu
hubungan, pasti cari-cari sesuatu yang bisa dijadiin alasan buat pisah.”
Kau
menoleh ke arahku. Mata kita saling bertemu. Dahimu berkerut. Aku rasa ada yang
salah dengan ucapanku. Segera aku teguk kopi punyaku. Berharap mengurangi
kecanggungan ini.
“Gak
mungkin Yok. Gak mungkin gitu. Pokoknya Aku mau ngelakuin apa aja asal dia bisa
percaya lagi ke aku.”
“Kalau
dia minta kamu mati?”
Kau
terdiam. Membuang nafas dalam lalu memejam. Segaris air mata turun dan dengan
cepat kau mengusapnya. “Mungkin aku siap. Sialan lo yok!” sebuah kepalan tangan
mendarat di lenganku “Pertanyaanmu FTV banget.”
Entahlah.
Kenapa kisah Ramayana yang kau mainkan dalam pertunjukan menjadi seperti
refleksi dari kisah cintamu sang pemeran Sinta? Inilah kisahmu. Kau telah
sampai pada bagian pati obong. dimana dirimu bersedia melakukan apapun untuk
meraih kepercayaan kekasihmu. Kau bersedia dibakar hidup-hidup untuk
membuktikan kesucianmu.
Drrrttt…. Drrrttt…. Tiba-tiba telepon
genggam yang kau letakkan di samping cangkir kopimu bergetar. Kau melihat
layarnya sebentar. Lalu merejectnya.
“Siapa
Rat? Kok gak diangkat?”
“Si
pemeran Rama.”
“Angkat
dong! Bagaimanapun, komunikasi adalah satu-satunya cara agar kamu bisa mendapat
kepercayaannya lagi.”
Kau
menggeleng. Lagi-lagi membuang nafas panjang. Seolah berharap kegundahan hatimu
ikut terbuang bersamanya. “Lagi males ngomong sama dia.”
Tak lama, telepon gemnggammu kembali bergetar.
Namun kau merejectnya lagi. “Gak guna, gak guna.” Kau meracau sendiri.
“Gak
ada salahnya kok kamu angkat. Kali aja dia ingin nyelesaiin masalah kalian?”
“Aku
udah gak mood. Biarin aja aku di sini jadi sandramu.” Kau tertawa renyah.
Dan sekarang, aku terseret pada kisahmu. Aku
berperan sebagai Rahwana yang menculikmu. Membawamu lari dari Rama yang sangat
kau cintai. Sementara di seberang sana, sang Rama sedang mencari dirimu dengan
sambungan telepon.
“Kebalik
kali, aku yang kamu Sandra buat nemenin kamu yang lagi menye-menye butuh telinga
buat dijadiin tong sampah curhatmu itu.”
“Sialan!”
Kau tertawa lagi. akhirnya, murungmu berubah senyum manis yang sejak tadi telah
aku nanti untuk aku kagumi.
Setelah
cangkir di hadapanku sudah tak lagi mengepulkan asap dan isinya tinggal
setengah, aku memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang membuatku heran,
bagaimana bisa orang seperti Yudha membuat dirimu bertahan. “Rena, memangnya
apa sih yang membuat kamu sayang banget sama dia? Kamu udah sering disakitin
Ren!”
“Kamu
curiga dia pake guna-guna?” Kau mencoba bercanda. “Aku hanya takut memulai
hubungan dengan orang baru, Yok.”
“Tapi
buat apa bertahan kalau kamu disakitin terus?”
“Aku
disakitin gak selamanya kok. Semua hubungan pasti akan ada naik turunnya. Dan
ini aku lagi ada maslah. Nanti juga akan ada saatnya kok untuk bahagia.” Kau
menyesap kopi yang tinggal sedikit “Aku percaya hal itu.”
Dan aku percaya, kau akan selamanya
menderita. Atau mungkin, menderita adalah cara cinta menyampaikan anugrahnya.
Seperti diriku, yang rela menderita sendiri menyimpan rasa ini.
“Ok.
Pokoknya aku sebagai teman selalu dukung apa pun yang terbaik buat kamu
Ren!”Ah, andai saja kau tahu yang kumaksud terbaik adalah diriku. Bukan
dirinya.
Lihat, kini kisah ini berada pada bagian
dimana seorang Rama berhasil mengalahkan Rahwana. Ya, aku kalah. Yudha sebagai
pemeran Rama telah berhasil memenangkan cinta perempuan yang kucinta. Biar
saja… biar saja… aku lebih suka menjadi Rahwana yang mencintaimu dengan suci.
Tanpa menuntut, dan tanpa meragukan kesucianmu.
Selepas
minum kopi dan saling berkisah kegetiran cinta, kita berpisah dengan seutas
senyum sebelum masuk kamar kos masing-masing. Lalu seperti biasa, dalam hati
aku mengucap ‘selamat tidur sayang.’
Kini
Aku telah yakin bahwa rasa cintamu kepada sang pemeran Rama sekuat kontruksi
candi roro jonggrang. Dan perjuanganku untuk mendapatkanmu bagaikan candi
keseribu yang gagal dibangun, Memasuki celah hatimu sama mustahilnya. Aku
menyerah untuk memilikimu, Namun aku tidak menyerah untuk mencintaimu.
Comments
Post a Comment