Lelucon Janur Kuning

Mimpiku sudah mati di tangan manusia. Tepat sebelas hari yang lalu, saat langit begitu cerah dan banyak minuman serta senyum merekah. Namun, hanya aku satu-satunya yang tak turut serta.
Embusan asap membumbung di teras rumahku. Sangat banyak dan beraroma pop corn caramel. Sejak tadi aku hanya menggerakkan jemariku di atas keyboard. Mencoba meluapkan perasaan melalui tulisan sambil sesekali menghisap vapor. Aku pilih rasa pop corn caramel untuk menemaniku.
Mengapa harus pop corn caramel? Sederhana saja, pop corn adalah cemilan untuk menonton film. Di hadapanku, sebuah penjor pernikahan yang telah berwarna coklat masih berdiri tegak. Untuk menonton sisa dari lelucon ini, aku butuh sesuatu yang beraroma pop corn. Bagiku melihat lelucon ini sama seperti menonton film.
Mataku terus memandangi penjor janur kuning yang sudah mengering. Terpasang tepat di pagar rumahmu. Rumahmu dan rumahku memang seperti lagu dangdut—lima langkah dari rumah. Rumah kita saling berhadapan.
Nasib malangku pasti sudah tertebak, aku adalah orang yang ditinggal nikah kekasihku. Jika dikisahkan menjadi sebuah cerita, aku adalah seorang bujang lapuk yang ditinggal pujaan hati menikah dengan pria idamannya yang lain, dan kini tinggallah aku sendiri. Akhirnya, Aku hanya bisa merenungi nasib dengan memandang janur kuning sisa pesta yang berubah coklat mengering. Entah sengaja tidak dibuang untuk mengolok-olok kekalahanku, atau memang belum sempat membongkarnya hingga tak lagi kuning seperti itu.
Jauh sebelum sebelas hari yang lalu, saat pesta pernikahanmu digelar dengan penuh suka cita, lelucon yang hampir mencapai kata tamat ini dimulai dengan sebuah jabat tangan. Aku dan kamu berjanji akan saling menjaga, saling menyemangati, dan saling membantu jika salah satu mendapat kesulitan. Aku masih ingat betul. Usai jabat kita terlepas, kamu bertanya padaku, mengapa kali ini aku mau berjanji? Kau bilang, aku adalah orang yang paling susah berjanji—lebih tepatnya takut membuat janji.
Entahlah, aku memang sulit membuat janji. Bagiku, sebagai manusia yang buta akan masa depan, yang bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi satu menit ke depan, tidak sepantasnya kita membuat janji semudah mengedipkan mata. Sebab janji adalah sesuatu yang wajib ditepati. Kita tidak pernah tahu, apa yang terjadi ke depan setelah kita mengucap janji. Bisa jadi janji itu tak terlaksana hanya karena lupa. Bisa jadi kita hanya tinggal nama sebelum janji itu terlaksana. Aku memang sulit membuat janji. Belum lagi jika tidak mampu menepati, pasti ada hati yang tersakiti. Berjanji berarti menciptakan sebuah harap kepada seseorang, dan sayangnya aku hanya manusia lemah yang tidak patut diharapkan. Kesadaranku mengenai diriku sendiri yang membuatku sulit membuat janji. Juga ketidakpastian masa depan yang membuatku takut berjanji. Bukankah masa depan itu sendiri tidak mampu menjanjikan apa-apa untuk kita?
Tetapi saat itu, wajah sendumu seperti berusaha meyakinkanku. Suara dari bibir meronamu seolah meyakinkanku. Dari kedua matamu yang kecoklatan, aku seperti menemukan secuil kekuatan. keduanya seperti berbicara padaku. Mereka menguatkan tekadku, meyakinkanku bahwa aku akan mampu melaksanakan janji-janji itu. Adalah kamu yang membuatku berani berjanji. Adalah kamu yang akan selalu kujaga, kusemangati, dan meringankan kesulitanmu, sebab aku telah berjanji.
Asap kembali mengepul, aroma pop corn caramel. Dalam genggamanku, vapor yang menemani aku menyaksikan sisa lelucon ini, masih lebih dari sembilan puluh persen daya listriknya. Aku lihat angin menggoyangkan juntaian janur yang telah mengering itu. Sialan memang, dia seperti mengejekku. Aku dijadikannya bulan-bulanan. Aku tersenyum getir. Dalam sebuah lelucon, memang harus ada pihak yang terluka untuk membangun kelucuan. Dan dalam lelucon ini, akulah yang menjadi pihak itu.
Kusesap rasa manis dalam genggamanku, lalu kuembuskan. Membumbung jauh terbawa angin. Usai asap terakhir lenyap, aku buka kepala vaporku kemudian kutetesi kapas yang terselip di sana dengan liquid rasa pop corn caramel. Gerakan membuka barang ini membuat aku teringat akan dirimu. Aku pernah hampir mengingkari janjiku hanya karena gerakan konyol seperti ini.
Siang itu, di kantin sekolah, kamu berusaha membuka botol air mineral. Katamu, tutup botol ini susah dibuka. Kamu sudah berusaha membuka berulang kali, namun bukan tutup botolnya yang terlepas, melainkan botolnya yang terlepas dari genggamanmu. Aku terbahak melihat tingkahmu.
“Ya ampun, kok malah diketawain, sih?” mukamu cemberut, dan kurasa itu sangat manis. “bantuin napa?”
Ogah. Gitu doang masa gak bisa?”
“Yakin?” kamu tersenyum seperti menggodaku. Botol yang tutupnya sukar terbuka itu kamu dekatkan pada mukaku.
Aku tidak bergeming.
“Katanya janji bakal sealalu bantuin aku kalau aku lagi butuh bantuan?”
Kemudian aku tersadar, susah membuka tutup botol adalah salah satu bentuk kesulitan yang kamu hadapi. Aku akan mengingkari janjiku sendiri jika aku hanya menertawakanmu. Aku harus membukakan tutup botol itu untukmu. Janji bukan hal main-main, bahkan hal sekecil ini bisa membuatku hampir melanggar janji. Tutup botol itu berhasil kubuka dengan sangat mudah. Disusul dengan seutas senyummu yang melegakan, lalu dahagamu ikut lega, pun hatiku.
Kita berdua memang saling mengisi. Tidak hanya aku yang berusaha selalu menepati janji, tapi kamu juga. Ibumu dan ibuku telah sepakat, selama kita bersekolah kita akan berangkat dan pulang bersama dengan motorku. Tentunya kamu aku bonceng. Kata ibumu, mumpung sekolahnya sama. Kata ibuku, biar aku kalau pulang langsug pulang ke rumah. Enggak kelayapan dulu. Tak jarang, teman-teman yang lain menyangka kita pacaran.
Di suatu sore, saat pulang sekolah, tiba-tiba ban motorku bocor. Aku harus mendorongnya. Saat itu kamu membantu mendorong dari belakang. Aku sarankan kamu untuk pulang terlebih dahulu dengan angkot, namun kamu menolak.
Kamu bilang, “Aku harus menepati janji yang aku buat sendiri. Aku gak mungkin ninggalin kamu susah-payah dorong motor sendirian.”
Masih terus mendorong, aku menanggapi perkataanmu. “Tapi aku juga gak bisa membiarkanmu susah-payah dorong motor. Bukankah aku telah berjanji?”
“Janji yang mana lagi?”
“Emang ada janjiku yang lain selain berjanji untuk menjaga, menyemangati, dan membantumu di saat ada kesulitan?”
Ada hening cukup panjang. Aku melihat raut wajahmu dari pantulan spion sambil terus mendorong. Aku lihat kau menyeka keringat di pelipismu. Sesungguhnya kita sama-sama sedang berada dalam kesulitan, sayang. Jika seperti ini, maka siapa yang harus membantu siapa?
Di sela-sela langkah kita, tiba-tiba kau melihat ke arah spion. Aku kepergok diam-diam memperhatikanmu. Lalu kau tersenyum, aku mengalihkan pandangan dari spion.
“Hei, semangat! Semangat!” ucapmu sambal mendorong lebih cepat. “Habis pertigaan, di depan ada tambal ban.”
Semangat. Ya, benar. Adalah saling memberi semangat yang dapat dilakukan kala kita berdua tercebur dalam kesusahan. Aku telah berjanji, maka, “Ya, semangat. Kamu juga harus semangat dorongnya!” ucapku.
Aku masih bergelut dengan asap. Manis pop corn caramel bertemu dengan pengecapku. Aromanya juga bertemu dengan penciumanku. Mataku yang nanar masih mampu melihat janur kering yang digoyang angin. Angin juga melenyapkan asap-asapku. Angin dan penjor pernikahan yang telah kering, mereka berdua seolah bersekongkol mencemoohku. Sekalipun aku marah, sekalipun aku sedih, sekalipun aku tertawa, mereka sama saja—hanya terus berduet, bergoyang di depan mataku tanpa peduli.
Angin itu mengingatkanku pada suatu sore bersamamu. Saat itu helmmu hilang di parkiran sekolah. Kau merutuk dengan muka tanpa seutas senyum sama sekali. Aku mendengarkan setiap ucapmu, namun aku lebih memperhatikan rambutmu yang terliuk-liuk angin. Wajahmu terlihat manis saat cemberut, dan dua kali lipat manisnya saat rambutmu terbang-terbang seperti iklan shampo. Sebenarnya kau menggerutu itu bukan sepenuhnya karena helm yang hilang, tetapi karena aku. Ya, sekali lagi, karena Aku.
Kala itu, Kau mendiamkanku seharian. Awalnya aku tidak mengerti apa penyebabnya hingga dirimu bersikap dingin. Tiap kali aku bertanya, kau hanya menghindar. Hingga semua misteri akan diamnya dirimu terungkap ketika kita sedang perjalanan pulang, berboncengan seperti biasa.
Dengan masih menyembunyikan senyummu, kau tidak sengaja mengatakan penyebab sikap dinginmu pada hari itu. Aku tidak tahu detail bagaimana runtutan peristiwanya hingga kau bersikap seperti itu. Aku mendengarkan, namun perhatianku hanya tertuju pada lambaian rambutmu yang magis, yang kupandang sesempat mungkin lewat kaca spion. Kau tahu, saat itu aku berdoa semoga setiap hari helmmu selalu hilang.
“Aku itu gak suka kamu deket-dekat sama Sofia anak kelas C itu. Dia itu kecentilan, bisanya cuma ngaca, benerin poni, ih… pokoknya kamu jangan berteman sama dia. Bahaya. cuma bawa pengaruh buruk buat kamu.”
Cuma itu yang aku ingat dari begitu banyak gerutumu yang keluar sore itu. Aku hanya ingat itu dan rambutmu. Oleh sebab itu, aku bisa mengatakan kalau sebenarnya kau menggerutu itu bukan sepenuhnya karena helm yang hilang, tetapi karena aku.
Aku dan dirimu memang tidak pernah pacaran, namun anehnya kita bisa saling cemburu jika masing-masing dari kita sedang dekat dengan orang lain. Aku pernah berpikir, hal ini terjadi akibat dari perjanjian kita. Kita berjanji untuk saling menjaga, mungkin sebab itu kita bersikap negatif apabila masing-masing dari kita sedang dekat dengan orang yang menurut kita membahayakan. Tapi membahayakan bagi apa? Bagi siapa? Mugkinkah membahayakan bagi kedekatan kita? Mungkinkah kita tidak mau ada orang lain di antara perjanjian kita?
Hingga detik ini, detik dimana aku duduk terpaku berkepul asap wangi dan memandangi rumahmu yang masih terpasang penjor kering, aku tahu jawaban dari semua pertayaan itu. Jawabannya bagiku adalah iya. Tapi bagimu entah.
Seperti juga dirimu, aku juga pernah cemburu denganmu hanya karena hal yang sepele. Dirimu bercerita tentang Zayn dengan mata yang berbinar-binar. Zayn, kapten futsal di sekolah kita, parasnya yang tampan seolah melunturkan poin-poin kenakalan yang telah banyak ia koleksi di buku bimbingan konseling. Saat itu aku benar-benar dikusai oleh rasa cemburu, hingga aku memutuskan pulang sendiri tanpa kamu. Aku sudah memacu motorku hingga seperempat perjalanan. Namun, kemudian aku memutuskan kembali ke sekolah. Aku tidak sampai hati membiarkanmu pulang sendiri. Aku hanya teringat pada janjiku bahwa aku akan menjagamu.
 Kau tahu keuntungan dari kecemburuanku? aku jadi bisa pura-pura merajuk padamu dengan mengatakan, Aku hanya akan pulang denganmu jika kamu tidak memakai helm selama perjalanan. Maaf untuk mengabaikan keselamatan kepalamu. Bukan bermaksud melanggar janji untuk tidak menjaga keselamatan kepalamu, tapi intuisiku berkata, dengan atau tanpa helm, selama kau ada di dekatku kau akan aman. Sekali lagi, aku dapat melihatmu bersama rambutmu yang indah itu terterpa angin.
Hubungan kita memang lucu, sayang. Aku dan kamu hanya dipersatukan dalam satu ikatan bernama tetangga dekat. Saking dekatnya, keluarga kita sudah seperti keluarga. Masing-masing anggota dari keluarga kita dapat keluar masuk rumah kita tanpa ketuk, tanpa izin, tanpa salam. Memang kita begitu dekat, sampai rasanya kita mampu merasakan apa yang ada di antara kita tanpa berucap. Aku tahu aku menyimpan rasa yang lebih kepadamu, kamu pun tahu itu. Aku juga tahu kamu menyimpan rasa yang sama kepadaku, dan aku menyadari itu. Tidak pernah terucap kata cinta apalagi pacaran. Masing-masing kita hanya mengetahui bahwa sama-sama cinta. Bagimu hubugan ini biar saja begini adanya hingga nanti kita sama-sama melihat siapa yang akan menjadi pendamping hidup kita. Aku tahu di kedua matamu, kau berharap akulah yang akan menjadi pendamping hidupmu. Bagiku, itu tidak cukup. Hubungan ini butuh kejelasan. Berada dalam hubungan seperti ini hanya menyusahkan diriku. Di sisi lain, aku tidak bisa mencegah diriku untuk selalu perhatian dan ingin selalu tahu tentang dirimu tiap detik. Termasuk siapa saja yang sedang bersama denganmu saat kau tidak bersama denganku. Di sisi lain, aku tidak punya hak untuk terlalu mengurusi hidupmu, pun saat kau dekat dengan lelaki lain.
Entah ini sudah hitungan ke berapa aku tersenyum  getir karena lelucon ini. Tuhan memang Maha Humoris. Daun kering hias itu masih bergoyang. Namun, gerakannya sangat pelan. Sudah saatnya meneteskan liquid pada vaporku yang mulai terasa hambar. Tetes demi tetes diserap oleh kapas yang terselip. Setelah ini, lelucon akan sampai di mana tetes-tetes peluh juga menjadi komponen penting dalam terciptanya lelucon paling spektakuler sepanjang penjalanan hidupku ini.
Setelah lulus sekolah, kita sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kamu dengan kuliahmu, dan aku dengan pekerjaanku sebagai karyawan percetakan digital. Pada masa ini, kita sudah jarang bertemu. Kalaupun sempat bertemu saat pagi hari sebelum memulai rutinitas, itu pun tidak sesering dulu meski rumah kita berhadapan. Aku hanya tahu keadaanmu lewat aktivitas ibu kita: ngerumpi. Ibuku memang membuka warung di depan rumah. Berjualan kelontong sejak kita masih kecil. Saat Ibumu membeli sesuatu atau memang sengaja ngerumpi, saat itulah beliau bercerita tentang aktivitasmu, tentang kesibukanmu, dan tentang beasiswa yang berhasil kau raih. Hampir semua tentangmu aku ketahui dari obrolan ibu kita.
Tidak bertemu denganmu bukan berarti kita sama sekali tidak berinteraksi. Tiap malam, jika aku tidak shift malam dan kebetulan kamu membalas pesanku, kita selalu bergurau lewat chating. Ngobrol apapun hingga larut malam. Pernah suatu malam, obrolan kita mengarah ke hal yang biasa saja, namun entah kenapa terasa sangat emosional.
‘Janji kita masih berlaku, kan?’ begitu bunyi pesan yang kau kirim.
Seketika kurasakan jantungku berdegup lebih cepat. Ibu jariku menggantung, aku tahu jawabannya adalah iya, namun realisasinya apakah sama? Sebab aku sudah jarang berada di dekatmu. Apakah pantas jika itu disebut menjaga, menyemangati, dan membantu kesulitan?
‘Ya. Tentu.’ Pada akhirnya juga aku balas.
‘Ya ampun, balesnya singkat banget sih? Dasar cowok.’
‘Kita ini aneh.’
‘Aneh kenapa? Kamu aja kali yang aneh. Aku enggak.’
‘Rumah berhadapan aja ngobrol lewat chat. Kenapa gak ngobrol langsung aja sih?’
‘Udah malem. Gak enak sama tetangga.’
‘Tetangga yang mana? Semua udah tahu kita dari kecil, masa iya mikir macem-macem? Hehehe… lagian kita udah lama banget gak ngobrol berdua.’
Kali ini kau tidak langsung membalas. Cukup lama aku menanti balasanmu hingga pesan yang kau kirim berbunyi, ‘Sorry… memang kita udah sibuk sendiri-sendiri sih, mau gimana lagi? Aku juga udah capek kalau harus turun dari kasur. Mager nih, badan rasanya capek. Besok pagi ada bimbingan skripsi lagi.’
Kamu capek, baiklah. Tapi kamu tidak capek kan dengan janji-janji kita? Ayolah sayang, mengapa bertemu saja sesulit ini? Kita seperti sedang berada dalam long distance relationship padahal rumah kita tidak ada seratus meter jaraknya. Ah, sudahlah. Lebih baik aku menyudahi obrolan maya ini. Aku akan menutup aplikasi ini, dan tidak menghiraukan pesan apapun yang masuk. Aku akan pura-pura tertidur dan esok pagi aku akan meminta maaf melalui chating. Dengan seperti itu, aku masih memiliki kesempatan untuk ngobrol sekali lagi denganmu. Untuk hal ini, aku hanya ingin mengucapkan: terima kasih, teknologi.
Belum sempat aku melaksanakan niatku, tiba-tiba kau mengirim pesan lagi dan terbaca olehku.
‘Katamu janji kita masih berlaku, kan? Kalau gitu, aku boleh dong minta tolong? Hehehe…’
‘Minta tolong apa emang?’
‘Aku laper nih. Tolong beliin nasi goreng ya? Ntar uangnya aku ganti. Hehehe…’
‘Oh, pantes kamu gendutan. Jam segini masih makan berat.’
‘Ngeledek nih? Biarin. Daripada mati kelaparan?’
Sebenarnya aku pun sama sepertimu, mager. Jadi aku memesan nasi goreng lewat aplikasi ojek online, membayarnya dengan uang virtual, dan mengalamatkan rumahmu sebagai jujukan penerima pesanan. Tidak sampai satu jam, kemudian aku menerima pesan darimu. Kau berterima kasih padaku. Dan aku, tentu berterima kasih sekali lagi pada teknologi.
Asap aroma pop corn caramel membumbung. Sebuah suara keluar dari laptop yang lumayan lama tidak aku sentuh. Ternyata sebuah pemberitahuan, daya listrik baterainya tinggal sepuluh persen. Sialan, gara-gara asyik menonton lelucon hidup, aku hampir lupa dengan tulisanku tadi. Segera aku bergegas menekan tombol ctrl dan s, lalu kututup Microsoft word selagi sempat. Setelah ikon silang berwarna merah aku klik, terlihat jelas background gambar desktop—foto kita saat merayakan kelulusanmu. Kamu lengkap dengan pakaian toga sambil membawa buket bunga yang di atasnya tertempel boneka beruang bertopi sarjana dan aku di sampingmu mengangkat jempol, mengenakan kemeja terbaikku dengan senyum terbaikku. Bagus. Kini janur kuning kering dan angin itu juga bersekongkol dengan laptopku. Aku semakin tidak tahan untuk tidak tertawa menyaksikan lelucon ini.
Lepas tawa yang parau, kembali aku hisap vapor. Asapnya kuembuskan di depan layar laptop hingga potretmu dan potretku tak dapat kulihat lagi. Dua-tiga embusan asap menerpa layar laptop, hingga kesabaranku habis dan laptop itu aku matikan.
Masih segar dalam ingatan, ibuku mengabariku tentang kelulusanmu. Dewasa ini lahir tradisi baru, orang-orang spesial akan hadir ke acara wisudah seseorang untuk mengucapkan selamat dan memberi bunga. Sebab itulah, tanpa pikir panjang, aku ambil cuti tepat di hari wisudahmu. Sebab aku ingin kau anggap orang spesial. Sebab aku mencintaimu. Sebab di antara keramaian kala itu, matamu berbicara padaku bahwa kau juga.
“Setelah lulus lalu apa?” tanyaku waktu itu.
Kau hanya diam, tatapanmu menghunus tepat di kedua mataku, tanpa ragu.
“Aku ingin melamarmu.” Ucapku lagi.
Tulang pipimu yang merona itu terangkat. Bulu matamu memang palsu, tapi tidak binar matamu. Mulutmu memang diam, tapi kedua matamu berbicara kepadaku. Aku berbicara sungguh, dan matamu mengangguk kepadaku.
Di pagi itu, Ibu tidak buka warung demi untuk meminta restu tetangganya agar anak gadisnya mau diperistri anak semata wayangnya. Ada beberapa kue yang dibawa ibu, ada sepasang cincin dalam sakuku. Ada rona merah di wajahmu. Tiba-tiba Ada ketuk pintu. Ada tiga orang tamu, satu laki-laki paruh baya, satu perempuan paruh baya lengkap dengan kalung dan gelang emas mentereng, dan satu pemuda yang menggenggam ponsel pintar. Ada beberapa kue yang dibawa tamu itu. Ibumu mempersilakan mereka duduk. Ada sesuatu yang aneh di raut wajah ibumu. Ada raut terkejut di mukamu.
“Kami datang ke sini bermaksud untuk melamar putri Ibu.” Ucap lelaki paruh baya usai cangkir teh turun di hadapannya.
 Tangan ibu mencengkram tanganku. Aku hanya menatap ke arahmu. Kosong. Kau bangkit dari tempat dudukmu dan menghilang di balik tirai pemisah ruang tamu. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi padamu. Aku hanya tau pasti bahwa ibu menahan tangis dengan mati-matian. Organ dalamku seperti tercampur aduk. Aku sendiri tidak tahu harus memilih perasaan yang mana. Marah, kecewa, sedih, senang, atau… aku ingin membunuh pemuda itu!
Cengkraman ibu sedikit meregang. Aku lihat rahang ibu bergetar. “Mbak Anis, saya juga mau mengantar anak saya untuk melamar anak gadismu!”
Ibumu hanya menampakkan senyum yang terpaksa. Lalu ikut menghilang di balik tirai setelah mencuat kata “sebentar” dari bibirnya.
Di ruang tamu yang terasa sesak dan mendadak jadi panas, Ibu telah berhasil menjinakkan tetes air matanya. Aku hanya memandang lamat-lamat pemuda itu. Tanpa takut, tanpa tunduk kepala. Bodohnya pemuda yang juga berani melamarmu itu cuma menatap layar datar ponselnya. Yang benar saja, dia hanya akan membawamu mengarungi alam maya. Tengoklah aku, sayang. Aku akan mengajakmu mengarungi alam nyata. Aku tidak tahu siapa nama pemuda itu, tapi anggap saja nama pemuda itu Bedebah!
Tidak ada yang menyentuh cangkir-cangkir di atas meja. Tidak ada yang berbicara barang sekata. Tidak ada yang berani menyusul kau dan ibumu di balik tirai. Pun ibuku yang telah lama mengenal ibumu dan blusak-blusuk masuk rumahmu. Cukup lama kami menunggu apapun. Aku bingung apa sebenarnya yang kami tunggu. Kami menunggu kau memilih salah satu dari kami, atau kami menunggu kau memilih kami berdua, atau kami menunggu kau menolak kami semua, atau pun kami menunggu kau mengusir kami. Aku tidak tahu, aku bingung. Tepat ketika cangkir-cangkir tak lagi mengepulkan asap, Ibumu muncul kembali. Tanpa dirimu.
“Bapak Ibu, anak saya dan saya telah sepakat…”
Ibu kembali mencengkrang tanganku. Kali ini lebih erat. Si Bedebah itu, sudah lepas pandangan dari layar datar, tapi masih saja menggenggam ponselnya—seperti tak mau terpisah darinya. Semua seisi ruangan hening, barangkali semua hati sedang bermunajat.
Usai nafas panjang terembus, ibumu melanjutkan, “bahwa yang lamarannya akan diterima anak saya adalah yang bisa lebih dulu memasang janur kuning tanda pernikahan di depan rumah kami. Tepat satu bulan setelah pertemuan ini. Cuma ini cara yang adil. Kami tidak ingin menyakiti hati siapapun. Siapapun nanti yang berhasil, itu yang akan berhak menjadi suami anak saya.”
Ibu dan aku saling memandang. Si bedebah dan keluarganya mengangguk mantap. Tapi ibumu hanya menatap satu titik: Kedua mata ibuku.
Ibumu dan ibuku memang telah sepakat, selama kita bersekolah kita akan berangkat dan pulang bersama dengan motorku. Tapi mereka belum pernah bersepakat untuk menjadi besan.
Memasang janur kuning di rumahmu, aku yakin itu idemu. Kamu memang cerdik, sayang. Caramu untuk tidak menyakiti hati siapapun memang jitu. Kau buat sebuah kompetisi dan kau jadikan hatimu sebagai piala. Tentu saja aku yang akan memenangkannya, Karena jarak rumah kita yang dekat. Secepat apapun Bedebah memacu kendaraannya, tetap saja langkah kakiku lebih cepat sampai ke muka rumahmu.
Janur kuning tanda pernikahan atau umbul-umbul atau penjor atau layur, atau apalah sebutannya—benda yang kau pilih untuk ditukar dengan hatimu. Tentu ini bukan sembarangan. Mbah google bilang janur mengandung kata nur yang dalam arab berarti cahaya, cahaya ilahi, juga harapan agar mempelai auranya bersinar seperti cahaya saat disandingkan. Tentu saja, tentu aura kita akan benderang jika kita bersanding. Kuning juga mengandung kata kun, kun fayakun. Ini adalah harapan agar semua perkataan yang baik-baik bakal terwujud, semudah Tuhan saat bersabda jadi, maka terjadilah. Dalam sebilah bambu yang dikelilingi janur, tersimpan doa. Dalam perjalanan menjadi teman hidupmu, tidak ku sangka akan serumit ini.
Sesuai tenggat yang telah diberikan, satu bulan setelah pertemuan yang mengejutkan itu, pagi-pagi buta aku mulai memasang janur kuning milikku di depan rumahmu. Aku memesan janur kuning paling megah. Tingginya hampir empat meter, dan janur yang digunakan benar-benar janur yang telah menguning sempurna, tidak ada segaris hijau pun yang tampak. Dari tempat pengrajin aku kawal sendiri perjalanannya menuju rumahmu. Janur kuningku telah terpasang tepat saat adzan subuh berkumandang. Sengaja pagi-pagi benar aku pasang, agar saat ibumu keluar rumah untuk ibadah subuh di masjid, dia tahu siapa yang paling cepat dan berhak menjadi suamimu. Kau tahu, senyumku mengembang sempurna. Sampai saat ini aku hanya mencium bau kemenangan. Tidak ada bau yang lain, bau Bedebah sekalipun, tidak tercium.
Tidak ada  janur kuning lain yang berdiri kokoh di rumahmu. Hanya milikku. Entah apa yang dilakukan Bedebah itu. Hingga matahari mulai tampak bulat sempurna di timur, genggaman ponsel pintarnya belum terlihat. Saat pintu rumahmu mulai terbuka, datanglah Bedebah dengan roda empat miliknya. Sudah telat, kataku dalam hati. Dengan sangat percaya diri dan tetap menggenggam ponselnya, dia tersenyum simpul, menjabat tangan Ibumu dan mencium tangannya.
“Saya sudah berhasil memasang janur kuning di rumah Ibu.” Ucap Bedebah itu secara tiba-tiba sambil menunjukkan layar datar ponselnya.
“Maksud kamu apa?” jawab Ibumu. “Saya cuma lihat ada satu janur kuning di sini.”
“Ibu meminta kami untuk memasang janur kuning di depan rumah Ibu. Dan saya sudah melakukannya. Tidak di rumah Ibu yang ini, tetapi di rumah Ibu yang lain.” Kemudian Bedebah menunjukkan layar datarnya. Ternyata sebuah foto rumah yang di depannya terpasang janur kuning. Lihat saja, bahkan bedebah melakukan kompetisi ini via dunia maya.
Ibumu hanya memandang bedebah heran.
“Di foto ini, rumah yang di depannya terpasang janur kuning adalah rumah Ibu. Jika tidak percaya, coba lihat alamatnya.” Jemarinya menge-zoom gambar. Sepertinya pada rumah itu terpasang nomor rumah lengkap dengan alamatnya. “Sekarang kita cocokkan dengan sertifikat tanah ini.” Ia mengeluarkan sebuah dokumen dari tas selempangnya.
Ibumu terkaget. Aku harap-harap cemas, usaha apa yang telah dilakukan Bedebah kampret ini untuk mendapatkan hatimu?
“Sertifikat tanah ini alamatnya sama dengan yang ada di foto, kan?” ia menyejajarkan sertifikat dan ponselnya. “Coba Ibu lihat, sertifikat tanah ini atas nama siapa?”
“Anis Sumarnis?”
“Nah, berarti ini rumah Ibu, kan? Dan saya sudah memasang janur kuning itu sejak pukul 03.40, bu. Coba lihat ini.” Rupanya Bedebah menunjukkan kapan foto itu dibuat lewat menu properties pada galeri.
“Tapi itu beneran rumah saya?”
Bedebah mengangguk. “Begini bu, karena rumah kita jauh, untuk memenuhi permintaan Ibu, saya buat sendiri rumah Ibu yang lebih dekat. Jadi saya beli sebuah rumah dan mengatasnamakan Ibu, agar rumah itu otomatis jadi rumah Ibu, dan saya bisa memasang janur kuning dengan cepat di rumah Ibu yang baru.”
Bedebah! Licik! Sialan! “Gak bisa seperti itu!” ucapku geram.
Dia tersenyum. Terlihat sangat licik. “Kenapa gak bisa?”
“Curang!”
“Ibu menyebutkan di rumah saya. Jadi bisa di rumah mana saja asal itu rumah milik Bu Anis. Kecuali kalau waktu itu beliau bilang harus pasangnya di rumah yang ini, yang beralamat di jalan ini.”
Aku semakin geram melihat Bedebah ini. Tanganku mengepal hingga sekujur tubuhku terasa gemetar. Lalu aku jalan mendekatinya, satu tonjokan mendarat di rahang kirinya. Tubuhnya tidak tersungkur, tapi genggaman eratnya terlepas dan ponselnya terjatuh. Baru kali ini sejak pertama bertemu Bedebah, aku melihat dia tak menggenggam ponsel.
Tawaku pecah! Lelucon ini telah sampai pada bagian yang paling lucu. Masih dengan aroma pop corn caramel, aku terbahak di hadapan warna coklat yang melambai-lambai itu. Dari awal aku begitu yakin bahwa aku yang akan menang. Rencana janur kuning ini memang cerdik, tapi Bedebah lebih cerdik. Pada akhirnya aku kalah. Kau memilih dia karena memang dia yang lebih dahulu memasang janur kuning di rumahmu—lebih tepatnya rumah baru yang ia belikan untuk keluargamu.
Tentu saja. Tentu saja. Wanita mana yang menolak diberi rumah? cuma-cuma lagi. Orang tua mana yang tidak lebih memilih menantu kaya daripada menantu yang hanya seorang karyawan biasa? Tentu saja. Aku tidak lagi mengerti, ini semua murni keputusanmu atau campur tangan ibumu. Aku gagal menerjemahkan matamu. Aku gagal menjadi teman hidupmu. Tapi aku tidak sepenuhnya gagal.
Separuh usiamu telah kau lewati bersamaku. Senang, sedih, suka, duka, kita pernah melewati bersama. Mimpiku untuk bersamamu di sepanjang usiamu, kini sudah musnah. Separuh usiamu yang akan datang akan kau lewati bersama suamimu yang kaya-raya itu. Ini sungguh tidak adil. Melihat separuh usiamu berdampingan dengannya adalah kutukan bagiku.
Melihat separuh usiamu berdampingan dengannya adalah kutukan bagiku.
Daripada hidup menanggung kutukan yang pedih ini, lebih baik aku mati!
Lebih baik aku mati!
Lebih baik aku mati!
Tawaku pecah kembali. Aku mendengar, ada beberapa orang yang meninggal dunia karena tertawa. Aku ingin menjadi seperti mereka. Mati karena terpingkal-pingkal menertawakan kebodohan diri sendiri sepertinya lebih menarik dari mati secara chusnul khotimah. Ayolah, tidak usah munafik. Aku ini siapa? Menyebut nama tuhan saja jarang. Makanya jika khusnul khotimah peluangnya kecil bagiku, aku cukup meninggal dengan tertawa bahagia.
Asap-asap membumbung. Asap-asap ku hisap. Prang! Aku banting vapoorku. Aku ingat sesuatu. Vapor ini adalah pemberian darimu. Saat itu, saat batukku tak sembuh-sembuh sampai tujuh minggu lamanya dan aku tetap bandel merokok. Kau bilang, benda ini lebih sehat daripada rokok. Ah, itu karena belum ada yang melakukan research tentang bahaya benda ini saja, ucapku kala itu. Kita memang selalu mendebatkan hal-hal sepele. Sebagaimana sifat cinta yang sengit, tarik-menarik. Aku tersenyum melihat benda itu kini tergolek. Benda itu kau bilang lebih sehat. Benda itu kubilang lebih sehat karena belum ditemukan bahayanya. Nah, sempurna. Aku menemukan ide. Aku akan membuat orang-orang menemukan apa bahaya dari vapor.
Bahaya dari vapor adalah dapat meningkatkan keinginan bunuh diri bagi mereka yang kreatif sepertiku. Caranya mudah. Banting vapornya, pilih cairan liquid dengan rasa favorit, teguk cairan liquidnya! Teguk sampai habis!
Ya, aku akan melakukannya. Aku akan menjadi manusia pertama yang mati dengan kreatif. Lalu arwahku akan bertanya kepada Wahyu Aditya, pemilik sekolah animasi tersohor itu, Sudahkah saya mengamalkan sila keenam yang berbunyi Kreatif Sampai Mati?
Tawaku menggema. Di hadapanku masih sama, janur milikku yang mengering bertengger di muka rumahmu. Cita-citaku untuk mati karena tertawa tergeser oleh mati secara kreatif. Lagi pula, benda ini adalah pemberianmu. Akan menjadi lelucon segar jika manusia yang mimpi-mimpinya telah kau patahkan, juga mati karena sesuatu darimu. Kematianku akan sempurna, sayang. Sudah kupastikan aku memilih pop corn caramel sebagai pereguk nyawaku nanti. Saat kuhisap, rasanya enak dan menjadi favoritku. Saat kuteguk nanti, Aku yakin, pasti lebih enak.
Aku buka tutup liquid itu. Bismillah, kreatif sampai mati. Bismillah, mati karenamu.
Untuk terakhir kali, kupandang janur kering sialan itu. Mulut botol sudah mendekat di bibirku. Aroma pop corn caramel yang lezat.
Kini botol liquid telah menempel di bibir. Tinggal satu dua teguk saja!
Bismillah, Tinggal satu dua teguk saja!
Tinggal satu dua teguk saja!

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi