Kejutan di Hari Spesialmu

Source: https://vikalinka.files.wordpress.com/2013/09/best-group.jpg
Sengaja aku tak membenamkan tubuhku di selimut. Mataku masih terjaga. Berkedip, seiring bunyi tik tik dari jam dinding. Aku menantimu pulang. Pulang ke rumah yang hanya menjadi tempatmu singgah kala malam hampir pagi, dan pergi kala pagi hampir siang. Mungkin bagimu, rumah hanya tempat untuk tidur, bukan tempat untuk berbaur. Tapi bagiku itu bukan masalah, sebab berbaur denganmu tak perlu banyak bercengkrama atau bertegur sapa. Berbaur denganmu adalah ketika kau terlelap, dan aku hanya menatap raut lelahmu.
            Sekarang sudah pukul sepuluh lewat empat puluh delapan menit. Dirimu belum juga datang. Sekarang ini sudah seharusnya aku terlelap. Tidak, bukan terlelap, lebih tepatnya pura-pura terlelap. Setiap hari aku memang selalu pura-pura tidur. Kenapa? Karena kau pasti akan marah jika aku tidur terlampau malam, sementara aku tidak mungkin tidur nyenyak sebelum memastikan kau baik-baik saja dan kembali ke dekapan hangat rumah kita.

            Khusus malam ini, aku sengaja tidak pura-pura tidur. Aku ingin menyambutmu dalam keadaan sama-sama terjaga. Aku ingin memandang binar matamu yang sayu. Aku ingin menyuguhkan sepotong senyuman untukmu. Memang tidak mengusir lelahmu, tapi setidaknya menunjukkan bahwa aku tak punya rasa lelah jika itu untuk kamu. Semoga saja kau nanti tak marah ketika tahu aku belum tidur. Aku yakin kau akan memaklumi, sebab esok adalah hari kelahiranmu. Aku ingin menjadi orang pertama yang memberimu selamat tepat ketika detik keenam puluh pukul dua belas malam membuka hari baru.
            Tadi sore aku telah membuat kue muffin keju kesukaanmu. Lalu lilin mungil dengan warna favoritmu juga tak lupa aku beli dari toko bahan roti siag harinya. Jemariku menyusun dengan hati-hati, enam sampai delapan kue aku susun serupa piramid dan dipuncaknya tertancaplah lilin mungil itu. Pemantik api sudah siap, sepotong senyum manisku sudah siap, semoga dirimu juga siap untuk sedikit berbaik hati.
***
            Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih tiga belas menit. Ada suara ketukan pintu. Itu tidak mungkin kamu. Ini rumahmu, rumah kita. Kau bebas keluar masuk ke rumah ini kapanpun tanpa harus meminta izin dengan mengetuk pintu. Kau juga membawa kunci, dan dengannya kau mampu masuk tanpa harus mengganggu lelapku yang hanya pura-pura. Terdengar lagi suara ketukan. aku sempat ragu membuka, namun rasa penasaranku mampu menggerakkan tubuh dan menekan rasa takutku.
            Sedikit ragu aku membuka pintu. Malam yang sunyi ini sontak menjadi bingar saat kudapati sesosok wanita berkaki jenjang memandangku dengan sorot mata penuh amarah. Di muka pintu yang masih setengah terbuka, ia berkacak pinggang dan memecah keheningan malam. “Dasar perebut suami orang!”
            “Kamu siapa?”
            “Aku istri sah Mas Raharjo. Catet! Istri sah Mas Raharjo.” Dengan mata berkobar ia menyerobot masuk. “Mana Mas Raharjo? Kamu sembunyikan di mana?”
            “Maksud mbak apa?”
            Ia merogoh tas jinjingnya yang mentereng itu. Dengan muka yang masih membara ia keluarkan buku nikah dan menghujamkannya tepat di mukaku. Buku nikah berwarna hijau toska itu tergeletak di lantai ketika aku memegang pipi untuk meredam sakit. Buku nikah itu seperti menamparku, lalu mencemoohku. Kulihat buku yang tergeletak itu terbuka tepat di halaman yang memampangkan foto wanita ini dan Mas Raharjo.
            Entah ini malam apa, di saat aku menyiapkan kejutan kecil untuk merayakan hari spesialmu, aku juga mendapat kejutan luar biasa. Aku baru mengerti ternyata aku bukanlah satu-satunya. Aku baru mengerti mengapa aku harus setiap hari pura-pura terlelap dan memastikan kau kembali ke dekapan hangat rumah kita. Aku baru mengerti mengapa banyak orang bilang intuisi seorang wanita jarang salah, rasa hawatirku selama ini terjawab sudah.
***
            Ku sulut api untuk menyalakan lilin di puncak kue muffin usai kudengar suara deru mesin mobilmu. Aku berusaha tersenyum. Sesekali bulir air mata mengalir tak mampu kubendung. Tapi aku harus tersenyum, ini hari baikmu. Aku harus memberimu sedikit ucapan. Aku tidak yakin hari ini kau bahagia, tapi bukankah bahagiamu juga bahagiaku? Kalaupun kau memang tak bahagia, setidaknya aku tidak menunjukkan dukaku dan menambah kekalutanmu. Semoga aku bisa, semoga aku bisa. Air mataku menetes sekali lagi.
            “Selamat ulang tahun, Mas Raharjo.” Ucapku ketika kau masuk kamar.
            Kau menyunggingkan senyum. Raut lelahmu terpancar dari pendar cahaya lilin, untuk saat ini kau tidak mempermasalahkan perihal aku masih terjaga. Kau memandangku lamat-lamat. Memperhatikan kue muffin yang kubawa. Sesaat lagi, saat kau tiup padamkan api lilin ini mungkinkah cintaku ikut padam? Aku membuang nafas—tetap tersenyum.
            “Silahkan tiup lilinnya. Jangan lupa make a wish.”
            Kau rangkul tubuhku dari samping. Lalu kau memejam, aku tak tahu apa yang kau semogakan, namun ku yakin salah satu doamu pasti agar sandiwaramu tidak terbongkar. Agar dua biduk yang kau pertahankan tidak kandas. Agar kau aman dalam permainan yang tanpa kau ketahui hampir game over ini. Kau buka matamu, kamudian kau tiup padamkan api kecil itu.
            “Terima kasih sayang.” Ucapmu sambil mencium keningku. Lalu mendekapku.
            Setelah sekian lama, baru kali ini rumah ini terasa hidup. Tapi entah kenapa rumah ini terasa hidup dikala hati ini terasa mati. Kita berbincang cukup lama, sambil memakan kue muffin kesukaanmu. Kau bilang kue buatanku enak, kau suka dengan rasanya. Tapi sayang, aku tidak suka dengan caramu mempermainkan cinta ini.
            Diujung malam sebelum kita terlelap, kau memelukku sekali lagi. Aku hampir tidak dapat merasakan apa-apa dari pelukan ini. Aku takut ini akan menjadi pelukanmu yang terakhir kali. Dalam pelukmu, tubuhku bergetar. Air mataku kembali jatuh.
            Kau menyadarinya, dan melapas pelukan “Mengapa kamu menangis sayang?”

            Aku hanya diam. Aku tidak ingin merusak hari spesialmu. Tanpa kau bertanya lagi, cepat atau lambat kau akan tahu segala jawaban di balik air mata ini.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi