Ibu dan Bolu Kukus


Pagi ini sedikit berbeda. Tidak hanya ada aroma segelas kopi, tidak hanya ada aroma roti yang baru mencuat dari mesin pembakar roti. Pagi ini seisi ruang dikepung aroma vanilla, coklat, dan pandan. Entah hari apa ini, yang pasti langit bersih tanpa ada awan sedikitpun. Lalu wajah itu, wajah yang kian hari semakin berkerut tampak begitu merona. Bersinar seolah cerah hari ini bersumber darinya. Sesaat Ibu sadar dengan kehadiranku. Ibu sedikit menoleh dan melempar senyum selepas mengucap selamat pagi. Senyuman itu selalu sama, terasa damai dan menghangatkan meski tanpa sentuh atau pelukan.

            Sekali lagi aku bertanya dalam hati, hari apakah ini? Mengapa Ibu berkutat dengan tepung dan bahan-bahan kue yang wangi itu? Akan ada apa? Apa yang perlu dirayakan? Aku tidak sampai hati melepas tanya. Pergumulannya dengan adonan kue terasa sakral di pagi yang cerah ini. Aku tidak ingin memecah fokusnya, aku senang melihatnya begitu riang seperti gadis kecil bermain masak-masakan.
            Aku lekas melahap sarapanku. Sambil dari balik punggung Ibu, kuperhatikan setiap gerak yang ia lakukan. Aroma bolu kukus seketika menyeruak ketika tutup steamer ia buka. Aroma wanginya seperti portal yang membawaku kembali ke masa dimana aku tidak menjumpai kerutan di wajahnya, pun aku belum paham apa itu kerutan. Kala itu, Ibu mengangkat bolu kukus dari steamer spersis seperti kali ini. Seketika aroma khasnya menyembul lubang hidung kami semua—aku, kakak, Ayah, dan tentu saja Ibu. Hari itu tepat ketika hari ulang tahun Ibu. Aku, kakak, dan Ayah merencanakan kejutan khusus untuknya. Namun rencana kami seketika dibubarkan oleh wangi aroma kukusan bolu. Ibu bilang dirinya sengaja membuat bolu kukus agar kami tidak usah repot-repot mempersiapkan kue untuk kejutan. Ibu sudah tahu rencana kami, maka dari itu demi agar kami tidak repot, Ibu membuat sendiri kuenya. Memang bukan kue tart khas hari jadi. Ibu kembali berkata, hanya resep kue ini saja yang mampu Ibu kuasai maka biarlah kue ini adanya. Syukuri yang ada.
            “Ibu rasa kau harus pulang awal hari ini.”
Ucapan Ibu membuatku kembali menapak alam nyata. “Insyaallah, Ada acara apa toh, kok ibu bikin kue segala?” Pada akhirnya aku menanyakan rasa penasaranku.
            Ibu tak memalingkan wajah dari adonan, tangannya masih lincah menuang sendok demi sendok adonan ke paper cup. “Ibu juga tidak tahu akan ada acara apa. Tapi Ibu merasa kalau malam ini di rumah kita akan ada banyak tamu. Akan ada sebuah acara, bukan acara besar, tapi perasaan Ibu berkata, anak-anak Ibu dan keluarga besar kita malam ini akan berkunjung kemari.”
            Berbicara tentang perasaan, rasa-merasa, Ibu memang tidak ada tandingannya dan entah mengapa firasat yang dirasakan olehnya selalu tepat dan selalu menjadi nyata barang sedikit. Dan kali ini, bukan aku menganggapnya sakti, namun rasanya perkataan Ibu kali ini ada benarnya. Semalam Kak Romi mengirim pesan, ia bilag sangat rindu denganmu dan berniat untuk pulang lalu menginap selama satu atau dua malam.
            Sambil meletakkan kukusan bolu terakhir ke dalam steamer, Ibu melirik padaku. “Kok malah diam kamu? Percaya gak sama perasaan Ibu?”
            “Percaya kok bu.” Aku bangkit dari kursi. “Semalam Kakak WA aku, katanya mau pulang. Jadi, sepertinya perasaan Ibu ada sedikit benarnya.” Ucapku seraya mendekat pada Ibu.
             Ibu megangkat alis seraya menampakkan seutas senyum. Seolah dalam hati dirinya berbangga lalu berkata: tuh kan, perasaanku tak pernah salah. Sekali lagi senyum itu kulihat masih tetap sama. Meski senyum itu dikelilingi kerut usia di kiri dan kanan, namun senyum itu masih sangat sama. Terasa damai dan hangat meski tanpa sentuh dan pelukan.
Kini usiaku sudah bukan remaja lagi, namun ritual berpamitan mencium tangan orang tua tetap lestari dalam keluarga kami. Pagi ini sebelum aku melangkahkan kaki, ku pandangi lamat-lamat wajah Ibu. Dia terlihat begitu bahagia, mukanya merona, senyumnya senantiasa terangkat. Saat kucium tangannya, aku sadar akan sesuatu: kulit Ibuku sudah tak semulus dulu. Kerut pada kulit tangannya sangat jelas terasa kala ku menjabat dan menciumnya. Ibu, waktu terasa begitu cepat bergulir. Rasanya seperti baru kemarin aku merasakan usapan lembut telapak tanganmu kala memandikanku, namun sekarang usia menggerus kelembutan itu. Kian hari manusia akan menua. Begitupun aku, tak terkecuali Ibu. Ia sudah tidak muda lagi.
“Jangan pulang terlambat! Nanti malam Ibu yakin akan ada banyak tamu di rumah. Ibu sudah mempersiapkan semuanya. Entah benar atau tidak perasaan Ibu nanti, yang penting Ibu sudah mempersiapkan kuenya.”
Aku mengangguk. Lalu meninggalkan Ibu yang tengah menunggu kukusan bolu terakhirnya matang sambil memutar butir-butir tasbih yang sejak tadi ia simpan dalam saku. Tentu saja bibirnya merapal doa meski tanpa suara. Doa apa itu? Aku tak tahu pasti, namun yang pasti, kuyakin akan selalu ada nama anak-anaknya, termasuk namaku di setiap doa yang ia rapal.
***
            Hari ini aku benar-benar pulang tepat waktu. Seperti biasa, di atas meja makan sudah siap secangkir susu hangat. Seorang Ibu memang selalu tidak mau membuat anak-anaknya repot. Untuk urusan gizi, aku yang usianya hampir meninggalkan kepala dua masih saja diurusi. Pagi hari segelas kopi dan dua tangkup roti bakar isi selai, dan sore hari sepulang kerja segelas susu—tak pernah absen. Namun kali ini ada yang sedikit berbeda. Bolu kukus juga terhidang. Bolu kukus coklat, pandan, juga vanilla. Untuk perkara yang masih bersifat firasat pun, Ibu selalu menyiapkan dengan baik. Ibu memang Ibu terbaik.
            Terkadang aku berpikir, Ibu sudah memberikan segalanya untukku. Bahkan keinginannya untuk tidak merepotkan anaknya, seperti tamparan keras untukku yang setua ini masih saja merepotkan. Masih teringat jelas empat bulan lalu, tepat hari ulang tahun Ibu. Ibu kembali memasak kue bolu kukus, Kue yang satu-satunya mampu ia buat dan satu-satunya kue yang menemani keluarga kami selama bertahun-tahun. Memasak kue bolu kukus untuk kejutan ulang tahun dirinya sendiri sudah menjadi tradisi keluarga setiap tahun. Lucu sekali memang, ia rela repot sendiri di hari jadinya agar kami tidak repot. Kemudian aku menanyakan sampai kapan ia akan melakukan ritual ini? Ia menjawab dengan ringan, sampai Ibu sudah tidak kuat lagi bikin kue. Pokoknya Ibu tidak mau merepotkan kalian. Memang aku tidak bisa membalas segala kebaikan Ibu. Hanya doa untuk kesehatan dan kebahagiaannya saja yang mampu ku beri. Tapi aku juga tahu bahwa kematian adalah pasti, maka tak lupa aku berdoa agar saat tiba ajalnya, ia dalam keadaan suci raga maupun hati. Hanya itu yang mampu kuberi. Tidak ada yang lain lagi.
“Ibu, Kiki pulang tepat waktu nih.” Ucapku setengah berteriak.
            Lengang. tidak ada jawaban.
            “Ibu, Kak Romi nanti sampai di stasiun jam tujuh malam. Ibu ikut jemput apa enggak?”
            Masih sama. Hanya sunyi dan detik jam dinding yang terdengar. Kemudian kuputuskan untuk menghampirinya di dalam kamar. Benar saja jika tanyaku tak terjawab. Ibu sedang tidur pulas dengan tasbih tergantung di tangannya. Tak sampai hati aku membangunkannya. Aku hanya terdiam di ambang pintu, menatap wajahnya lamat-lamat. Aku pernah membaca sebuah artikel, katanya ekspresi saat tidur adalah ekspresi seseorang yang paling jujur. Melihat wajah Ibu yang tampak sedikit tersenyum dalam tidurnya membuat aku merasa menjadi anak yang beruntung sekaligus lega. Setidaknya di usia tuanya, aku percaya Ibu masih merasakan banyak kebahagiaan—jika benar apa yang dikatakan oleh artikel yang kubaca itu benar. Aku menutup kembali pintu kamarnya. Nanti saja kubangunkan ia saat maghrib.
            Maghrib tiba, Aku gagal membangunkan Ibu. Raut wajah Ibu masih tetap sama, sedikit tersenyum, namun ibu terlihat pucat. Tidak ada gerakan naik turun di dadanya. Tak lagi ada denyut di pergelangan tangannya. Hembus hangat juga tidak terasa saat kudekatkan jariku pada lubang hidungnya. Air mata seketika tumpah. Aku memeluknya, terisak, memanggil namanya berulang-ulang. Tanpa jawaban, tanpa suara, tentu saja.

            Aku masih terisak. Aku masih tidak percaya firasat Ibu benar terjadi. Malam ini benar ada acara di rumah kami, semua anggota keluarga besar kami benar akan berkumpul, dan Ibu benar-benar tidak ingin merepotkan anaknya. Bahkan untuk acara pemakaman dirinya sendiri, ia menyiapkan kue untuk para tamu. 

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi