Kurusak Mimpi Putraku
Sejak
kebodohan dan amarah menguasai diriku, air mata demi air mata selalu mengucur
di dalam rumah sederhana kami. Setiap pagi, putra semata wayangku hanya duduk
terpaku menatap sekotak krayon dan buku gambar kesayangannya. Melihat peristiwa
itu, Kemudian setetes air selalu merayap turun dari sepasang mataku, Juga dari
sepasang mata istriku. Saat itu terjadi, istriku dalam tangis yang tertahan
kemudian mengatakan, “Untuk apa menyesali nasi yang terlanjur jadi bubur?”
Putraku
memiliki kegemaran menggambar. Dia juga pernah berkata padaku bahwa
cita-citanya menjadi seorang pelukis tersohor. Waktu luangnya selalu ia
habiskan dengan bergumul bersama buku gambar, krayon, cat air, dan kanvas. Jangan
ditanya bagaimana keadaan kamarnya, setiap sisi dinding dan benda yang dapat
dijangkau tangan mungilnya selalu ada coretan gambar. Kami tidak pernah mempermasalahkan
coretan-coretan itu. Dia bilang ini graviti, dan aku bilang ini cara dia
mengasah bakat demi meraih mimpi.
Sore itu segalanya berubah. Untuk
kali pertama aku marah karena dia membuat coretan pada benda yang ada di
garasi. Mobil keluarga kami yang baru saja datang satu minggu lalu—dan masih
kredit, ia coreti gambar. Sontak saja
aku kaget. Aku hukum dia. Kusuruh dia menghapus coretan pada mobil baru kami
entah bagaimana caranya. Kepalaku semakin mendidih ketika kudapati usahanya
untuk menghapus coretan malah menyebabkan body mobil kami baret semua.
Amarahku sudah tak tertahankan lagi.
Amarahku sudah membara, aku gelap mata. Ku ambil raket nyamuk dan kuhujamkan
aliran listrik itu pada kedua tangan putraku. Aku pukul-pukul, aku lindas
dengan kakiku, aku setrum lagi, lagi dan lagi tak peduli raungan kesakitan dan
tangisnya yang semakin keras. Yang mampu menghentikan kekejianku waktu itu
adalah tangisan istriku yang terburu-buru membopongnya ke rumah sakit.
Teleponku berdering, dengan
bercampur isak tangis, istriku mengabarkan bahwa kedua tangan Putraku harus
diamputasi. Aku terperangah. Sesal seketika membelenggu jiwa. Sore itu telah
kurusak mimpinya, dan aku hanya bisa memohon maaf tanpa ada jawab darinya. Hari-hari
setelahnya, mukaku rasanya seperti ditampar setiap saat oleh tanya istriku
dalam tangisnya yang tertahan, “Untuk apa menyesali nasi yang terlanjur jadi
bubur?”_________________________________________________
Sebenarnya coretan kecil ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah menulis teks eksemplum. Tapi daripada cuma dikumpulkan ke dosen, tidak ada salahnya jika dipublikasikan. itug-itung nambah jumlah postingan blog jelek yang hampir usang ini. wkwkwk...
Comments
Post a Comment