Suatu Malam di Merr


Pernahkah kalian merasa kecewa dan bangga dalam waktu yang sama? Jujur, aku baru saja merasakan hal aneh tersebut. Hal langka yang dengan beruntungnya aku alami. Kalian penasaran bagaimana aku bisa merasakan dua perasaan bertolak belakang itu dalam satu masa? Baiklah, coba lihat apa yang aku lihat, coba rasakan apa yang aku rasa. Aku akan bercerita.
            Ini adalah kisah yang aku sendiri tidak mengerti bagaimana awal mulanya. Tahu-tahu aku sudah melihat tubuh pria remaja tergeletak di tepi jalan bersimbah darah. di sampingnya ada seorang pria berkumis lebat dengan air mata seperti air terjun. Mukanya merah padam, tak terkecuali matanya yang becek itu. Sebuah golok berbalur darah segar ada di tangan kanan pria yang menangis itu. Aku melihat pertumpahan darah itu di jalan Merr tepat ketika bulan melingkar penuh dan deru mesin seperti musnah dari muka bumi.

            “Ya Allah… Apa yang sudah aku lakukan?” Pria itu berteriak lalu terduduk lemas. Golok yang sedari tadi ia genggam terjatuh begitu saja. Sepintas, pria berpakaian serba hitam itu seolah tak punya daya untuk menopang tubuh.
            “Kenapa ini bisa terjadi? Kenapaaaaa?”
            Suara paraunya gemetar. Tangannya sibuk menghapus air mata yang tak hentinya mengucur. Cairan lendir dari hidungnya juga tak kalah mengucur. Sekujur tubuhnya berkeringat. Terlebih dahi dan lehernya yang mengkilat tersorot cahaya lampu jalan.
            Pria itu sendirian bersama mayat penuh darah yang mengucur dari luka bacok di ubun-ubun mayat itu. Ekor matanya ia edarkan ke segala penjuru seolah mencari seseorang untuk dimintai tolong. Masih dengan posisi terduduk di hadapan mayat itu, ia terus menoleh kiri - kanan. Tentu saja dia tidak menemukan apa-apa selain suara derik jangkrik.
            “Aduh gimana ini? Sialan!” ia menggaruk-garuk kepalanya yang plontos. “Apa aku telepon ambulans saja ya?”
            Dengan tangan bergetar hebat, ia rogoh telepon genggam yang terdapat di saku celananya. Sangat terlihat bagaimana rasa takut berhasil membelenggu dirinya. Dengan susah payah ia mengendalikan tangannya yang tak henti bergetar. Memencet tombol telepon menjadi sesuatu yang sulit baginya. Beberapa kali alat komunikasi itu terlepas dari genggaman. Ia masih terus berkutat dengan ponselnya. Tak lama, benda itu sudah menempel di telinganya. Beberapa kali ia berusaha berdiri. Namun bagai tak punya tulang, kakinya yang terlihat kokoh tak mampu berpijak dengan baik dan membuatnya kembali terduduk.
            Malam itu, hanya ada dia yang ketakutan, mayat yang pucat, dan aku yang berdiri tak sampai satu meter dari mereka, memandang dari tepi jalan.
            Sebenarnya, aku sudah menawarkan bantuan. namun aneh, hadirku seperti tidak dapat dilihat olehnya. Suara tawaranku juga bagai angin lalu. Lebih anehnya lagi, yang sedari tadi terlihat oleh indera penglihatanku adalah diriku. Remaja yang tergeletak bersimbah darah itu sangat mirip denganku. Atau memang benar-benar aku? Rasanya tidak mungkin. Tidak mungkin yang aku lihat itu diriku sendiri. Bagaimana bisa?
            Ah, sudahlah. Tidak mungkin mayat itu diriku.
            Aku jadi ingat, Sebelum aku keluar dengan teman-temanku beberapa saat yang lalu, Ayahku sempat berpesan agar tidak pulang larut malam. Katanya, “lagi musim begal. Kamu jangan lewat jalan Meer sendirian! Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh.”
            Jalan Meer memang masih termasuk jalan baru. Orang-orang masih belum familiar pulang-pergi lewat jalan yang menghubungkan kota bagian timur dengan bagian pusat ini. hal demikian membuat jalanan ini selalu sepi. Di Merr juga selalu gelap. Lampu-lampu jalan yang tak sebanding dengan rimbunnya pohon di pedestrian membuat fungsi pencahayaan terkesan sia-sia. Jalanan tetap gelap ternaungi bayangan pohon.
            Seingatku aku tadi pamit ke Ayah untuk menginap di rumah Yogi karena ada keperluan tugas kelompok. Saat aku berpamitan padanya, beliau sedang mengasah golok di halaman belakang.
            “Malam-malam ngasah golok, mau ngapain yah?” tanyaku penasaran.
            “Buat nebangin pohon mangga di depan rumah. Hujan-hujan gini bahaya kalau gak dirapiin. Nanti tumbang kena angin.” Jawabnya santai sambil terus sibuk memaju mundurkan bilah golok di atas besi balok sementara aku berlalu meninggalkan rumah.
            Sampai di rumah Yogi, aku langsung menggeluti tugas dengannya. Ketika asyik mengerjakan tugas dan jam dinding menunjukan pukul sebelas malam, kami tersadar jika bahan kuesioner yang telah kami sebar dua hari lalu—bahan utama untuk tugas ini tertinggal setengahnya di kamarku. Berniat tak mau menunda tugas, aku memutuskan untuk menerjang kesunyian malam dan kembali ke rumah untuk mengambilnya. Kala itu motorku sudah masuk di bagian dalam garasi Yogi, dan motor Yogilah yang paling dekat dengan pintu garasi. Jadi Yogi mempersilahkan aku pulang menggunakan motornya agar tidak repot. Karena sudah malam dan harus cepat, aku memilih untuk lewat Merr agar jarak dan waktu tempuh lebih singkat.
            Setelah itu aku lupa apa yang selanjutnya terjadi malam ini. Tahu-tahu aku sekarang berdiri di sini menjadi saksi terbunuhnya mayat yang mirip denganku. Malam ini sangat aneh memang. Sangat banyak keanehan.
            Ada satu lagi yang aneh. Kau tahu, pria yang menangis tak henti-henti itu juga sangat mirip dengan ayahku. Sekarang pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang yang berpesan agar tidak melintas jalan Merr saat larut malam—berada di jalan Merr dengan keadaan memprihatinkan seperti itu?
            Keanehan yang ditangkap oleh mataku berlanjut, tak jauh dari mayat yang mirip denganku ada motor matic berwarna putih milik Yogi. Kepalaku mumet memikirkan ini semua. Ditambah lagi pemandangan genangan merah beraroma amis itu, kepalaku makin puyeng.
***
            Rasa hangat di kulit membuat aku terjaga dari tidur. Sinar terang di ufuk timur telah menggusur kawanan bintang. Keberadaanku masih sama, di tempat aku berdiri semalam menyaksikan peristiwa aneh. Ini artinya semalam aku tertidur di tempat ini, sungguh aneh. Mayat yang tergeletak semalam sudah tidak ada. Pun pria plontos yang mirip ayahku dan motor milik Yogi, semua sudah tidak ada. Lokasi tempatku berada sekarang hanya menyisahkan garis polisi berwarna kuning. Beberapa warga bergerombol menyaksikan polisi melakukan olah TKP.
            Di sebrang jalan, aku melihat gerombolan lain. pedagang koran menuai untung besar pagi ini. Banyak orang membeli korannya. Aku penasaran. Dengan menerobos kerumunan tanpa usaha ekstra, aku berhasil berada di barisan terdepan dan leluasa membaca surat kabar yang ia jajakan.
            ‘Seorang Begal Membegal Anaknya Sendiri.’ Begitulah bunyi headline surat kabar hari ini. dalam surat kabar itu diberitakan: ‘Darmaji pria berusia 42 tahun menyerahkan diri ke polisi kemarin malam setelah mengaku telah melakuakan aksi begal di jalan Merr. Ironisnya, korban dari aksi kejamnya adalah anaknya sendiri yang kini telah tewas di tangannya. Dia tidak mengetahui bahwa sang korban adalah anaknya, sebab korban pada malam itu menggunakan motor temannya. Kondisi gelapnya jalan juga membuat tersangka sulit mengenali siapa sasarannya.’
            Seketika aku bergidik. Aku tak sanggup meneruskan membaca berita itu. Sekarang giliranku yang seperti tak punya daya untuk menopang tubuh. Aku terduduk lemas dengan kucuran deras air mata. Ternyata aku sudah meninggal. Ternyata aku sudah tiada. Semalam, aku hanya menyaksikan peristiwa itu dari batas dua dunia. Pantas saja hadirku seperti kosong.
            Semua keanehan-keanehan sejak semalam terjawab sudah. Sejak semalam yang aku lihat memang mayatku sendiri. Pria plontos yang mirip Ayahku memanglah Ayahku. Pak Darmaji, tepat seperti yang diberitakan.

            Jika kau bertanya bagaimana perasaanku setelah tahu semua ini? aku sudah menjawab sejak awal. Aku merasa kecewa dan bangga dalam waktu bersamaan. Aku kecewa sebab orang yang memberiku hidup ternyata yang memberiku kematian juga. Aku tewas di tangan Ayahku sendiri. Aku kecewa mengetahui Ayahku ternyata seorang begal. Tapi aku bangga, sebab dirikulah—diriku yang menjadi korbannya sendiri, sisi gelap Ayah yang tidak aku ketahui tersingkap sudah. Sebab hilangnya nyawaku, dia punya rasa penyesalan dan berhenti menjadi begal. Sebagai anak, aku bangga karena mampu membimbing ayah ke jalan yang lurus meski dengan cara aku harus mampus.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi