Penyu
Dia hanya diam menampakkan senyum.
Tak menggubris dan tetap mengemasi barang-barang ke dalam ransel.
“Liburan
kemana si nyu?” Tanyaku lagi.
“Ada
deh. Udah cepet kemasi barangmu!”
Ada hembusan nafas keluar. Aku
menyerah. Aku turuti saja apa maunya. Dengan rasa penasaran yang mendalam, aku
ikut mengemasi barang-barangku ke dalam ransel yang lain. Penyu memang selalu
seperti itu. Banyak diam dan gemar sekali membuat kejutan-kejutan kecil
untukku.
Penyu bukanlah nama dia sebenarnya.
Abimanyu Bramasta, itulah
nama aslinya. Biasa dipanggil Abimanyu. Kami sudah berteman sejak kecil. Sejak
kita masih sama-sama belum lancar berbicara. Sebab itulah, Nama Abimanyu yang
sulit dikatakan anak seusia kami waktu dulu, berubah sekenahnya menjadi Penyu.
Dan panggilan penyu terus melekat hingga kini.
“Sudah selesai?” Tanya dia sambil
menggendong ransel.
“Gak bisa yakin bilang selesai juga.
Masalahnya, aku gak tau kita bakalan liburan berapa hari. barang segini apa
cukup untuk waktu liburan kita?”
“Cukup. Mungkin barang bawaanmu
malah berlebihan.”
“Berlebihan? Emang kita mau kemana
sih nyu?” Tanyaku kesal. “Ngomong dong! Jangan sok misterius gini ah. Gak lucu!”
“Kita mau liburan ke… pulau.”
“Bagus. Bagus ya?” pukulan manja
mendarat di lengannya. Aku benar-benar gemas dengan sikap sok misteriusnya. “Kamu
baru bilang kita akan liburan ke pulau, setelah aku selesai mengemasi baju-baju
hangat. Bagus ya?”
Tawa Penyu seketika menggema. Berbanding
terbalik dengan diriku yang tersungut-sungut ingin melempar ransel penuh isi ke mukanya. Sementara dia sibuk
menertawakan isi ranselku, aku sibuk membongkarnya kembali dan mengisinya
dengan beberapa helai kaos, celana pendek, dan tentu saja dress pantai.
Semua barang yang perlu aku bawa
sudah tersimpan rapi dalam ransel. Segera aku mengikuti langkahnya—menggendong
ranselku di punggung. “Ayo Penyu! Aku sudah siap.”
***
Gemuruh mesin motor perahu yang membolak-balikkan air laut
terus menemani perjalanan kami menuju pulau yang masih dirahasiakan namanya
oleh Penyu. Sejak perahu yang kami naiki berangkat dari Muara angke hingga
saat ini, aku masih belum tahu,
Ke
pulau mana aku akan dibawa Penyu berlibur. Yang jelas aku tidak bodoh. Jika berangkat dari muara angke, pasti
pulau yang dimaksudnya adalah salah satu pulau yang ada di gugusan Kepulauan
Seribu. Tapi untuk pulau mana yang akan dikunjungi, aku sama sekali tidak tahu.
Angin laut yang kurang bersahabat,
menerpa kami tanpa ampun. Rambutku beterbangan dibuatnya. Aku lumayan kewalahan untuk membetulkan tatanan rambutku
berulang-ulang. Penyu seolah paham dengan kewalahanku. Tiba-tiba
saja jemarinya meraih rambutku. Rambutku
yang liar menyeruak ke muka, dia rapihkan, diselipkannya ke belakang telingaku.
Tanpa lelah
angin tetap mengobrak-abrik tatanan rambutku. Tanpa lelah pula dia benarkan
rambutku yang beterbangan liar dengan jemari tulusnya.
Aku rasa, aku telah salah menyebut angin laut tidak
bersahabat. Justru dia sangat
bersahabat. Angin sengaja
merusak tatanan rambutku agar jemari Penyu membenarkan rambutku. Agar aku tahu,
dibalik sikap misteriusnya ada perhatian yang membuat diriku nyaman.
Rasa
penasaranku terbayar sudah setelah kurang lebih empat jam mengarungi lautan.
Kapal kami berlabuh di sebuah dermaga dengan pasir putih bersanding
birunya air laut. Lalu tepat di mulut pulau, ada gapura besar bertuliskan ‘Selamat
Datang di Pulau Pramuka.’
Penyu segera bergegas menuju homestay yang katanya telah dia booking jauh-jauh hari. Aku hanya mengekori dirinya dengan beban ransel yang terasa membatu. Sudah
hampir setengah jam kita berjalan, Pundakku
kaku menahan beban terlalu lama. Aku ogah-ogahan
melangkahkan kaki.
Entah
kesaktian apa yang Penyu miliki. seolah tahu apa yang aku rasakan, tiba-tiba dia berbalik badan. “Sini, aku bawain
ranselnya!”
Dengan
senang hati, aku serahkan ranselku. Lalu dia menggendongnya di depan tubuh.
“Terima
kasih ya Penyu.” Ucapku.
Dia
mengangguk. “Tapi habis ini kamu pijitin aku.”
Tawa kami menggema. Kami terus berjalan menuju homestay. Di atas pasir putih
Pulau Pramuka, jejak kami berdampingan. Beban ranselku, telah menjadi bebannya juga. Aku tersenyum sendiri. Sepanjang jalan aku terus
berharap agar dia
terus menjadi pria yang seperti ini. Selalu mengiringi jejak langkahku, dan mau
berbagi beban hidup kami berdua. Selamanya.
***
Di seberang sana, kami sama-sama memandang semburat jingga. Menanti kilau
keemasan matahari tenggelam yang memantul di permukaan pantai, View favorit
Penyu untuk hobby fotografi yang
sudah lama ia
tekuni. Sapuan ombak berkali-kali menyapu kaki telanjang kami. Aku sibuk melihat hasil bidikan kamera
miliknya. Mulai dari view
Pulau Pramuka yang menkjubkan, hingga foto under water saat kami snorkling seharian tadi.
“Ya
ampun lihat deh.” Aku menunjukkan potret dirinya ketika snorkling. “Kamu jelek banget nyu! Kelihatan
gendut banget.”
“Ye...
jelek-jelek gini kamu juga sayang.”
Pukulan
manja aku daratkan ke lengannya. Setelah tawa kita meredah, aku kembali melihat hasil
bidikan di kamera Canon 70D miliknya.
“Arini....”
tiba-tiba saja kau memanggilku dengan tatapan lurus ke depan. Tanpa menoleh.
“Iya?
Kenapa Penyu?”
Masih
dengan tatapan menantang pendar senja, Kau berbicara. “Seandainya Aku pergi
jauh, apakah kamu akan baik-baik saja?”
Aku
hanya dapat menggeleng dan tersenyum mendengar perkataannya. Dasar Penyu, Aku tidak akan tertipu untuk yang kedua kalinya. Kau
pernah bertanya seperti ini waktu dulu. Aku menganggap pertanyaan itu serius.
Aku begitu hawatir hingga aku tidak mampu menjawab dan menitihkan air mata.
“Tentu
saja. Aku akan baik-baik saja.” Jawabku santai—tidak mau terbawa permainannya.
“Syukurlah
kalau begitu.” Tidak ada senyum jail di bibirnya. “Bulan depan aku mau ambil beasiswa study ke London.”
Mataku
terbelalak. Ini sama sekali bukan permainan. Aku mampu melihat keseriusan dari
sorot matanya yang tak henti menatap ruang kosong di sebrang sana. “Kamu serius
nyu?”
Kau
mengangguk mantap.
“Ini
bukan skenario buat ngerjain aku kayak waktu itu kan?”
“Sama
sekali bukan.” dia membuang nafas “Aku serius.”
Angin pantai tiba-tiba terasa lebih dingin dan menusuk.
Jujur saja, aku ingin meralat jawabanku bahwa aku tidak yakin akan baik-baik
saja. Aku terlalu takut untuk sendiri. Mungkin ketakutanku terlalu berlebihan.
Tapi mungkin aku pantas merasakan ketakutan ini. Dapat menjadi orang spesial di
hatinya, bagiku adalah anugrah terbesar. Menghabiskan waktu
bersamanya, bagiku adalah puncak kebahagiaan tanpa ada sedikitpun
kesedihan. Lalu, jika dia harus pergi jauh dariku, apakah aku akan baik-baik saja?
Aku tidak yakin.
Aku menyerahkan kembali kamera miliknya. Begitu menggigilnya tubuhku mendengar keseriusan
dari mulutnya, hingga aku harus memeluk
lutut.
Kau
mendekapku. “Kamu harus baik-baik selama aku belajar di sana. Janji?”
Aku
hanya dapat mengangguk. “Selamat ya nyu!” Ada cairan menggenang di dasar
kelopak mata. Mati-matian aku menjaganya agar tidak lumer.
Saat
ini, senja tak lagi menggoda hasrat fotografi Penyu. Kami saling beku dalam ruang diam. Menanti matahari tenggelam
di tepi pantai, tidak pernah terasa sesakit ini sebelumnya. Sapuan ombak terasa
tidak ada arti. Gemuruhnya tidak lebih dari sebuah backsound ironi.
“Yuk
balik!” Penyu bangkit dari duduknya ketika semburat jingga diusir oleh sekelompok bintang.
Uluran tangannya membantuku bangkit.
“Udah
dong sedihnya. Kita di sini kan mau berlibur?” Ujarnya. “Besok kita lanjut ke tempat tinggalku.”
“Apa? Ke
rumahmu? Besok kita udah balik nyu?”
“Enggak.
Ke rumahku, bertemu spesiesku di Penangkaran Penyu.”
Kau
berhasil membuatku tersenyum. “Ah... itu sih penyu beneran. Beda sama kamu.
Kalau kamu itu kan penyu siluman?”
Sepanjang
jalan menuju homestay, aku terus berjalan dalam dekap hangatnya. Untuk kesekian kalinya, langkah kami terekam jejaknya diatas pasir putih. Dalam hati, aku
hawatir langkah ini akan menjadi langkah terakhir kami melangkah
beriringan. Tak akan ada lagi dirinya
yang mengiringi setiap langkahku. Tidak
akan ada lagi jejaknya di sisiku setelah ini.
***
Kami sangat beruntung hari ini. Ada sekitar dua puluhan ekor
bayi penyu yang siap untuk dilepas ke pantai. Di dalam ember, bayi-bayi penyu
sisik berwarna kuning kecoklatan bergerak-gerak tanpa henti. Mereka seolah
tidak sabar melihat dunia yang luas. Tingkahnya begitu lucu.
“Lihat
tuh Penyu, bayi
kamu gak bisa diem!” ucapku bergurau.
“Sini-sini.”
Penyu mengangkat salah satu dari mereka. “sini biar Mama gendong.”
Aku
tertawa geli melihat sikapnya. Bayi penyu digenggamannya tetap saja menggeliat liar seolah ingin lepas. Aku
mengambil kamera yang dikalungkan di lehernya. Lalu dengan hitungan ketiga, kubidik gambar Penyu dengan bayi penyu sisik di genggamannya. Foto yang lucu, aku memberinya judul: Penyu dan Bayinya.
Aku ikut mengambil salah satu penyu yang ada di ember. Aku
mengambil satu yang bergerak paling lincah. Ada sensasi geli saat
menggenggamnya. Giliranku yang sekarang ia foto dengan bayi penyu sisik.
“Ayo
kita berlomba.” Ucap Penyu setelah menepuk pundakku. “Penyu siapa yang sampai
duluan ke pantai, dapat hadiah.”
“Boleh,
siapa takut? Hadiahnya apaan?”
“Yang
menag dapet makan siang gratis dari yang kalah.”
“Ok.
Deal.”
Aku membuat
garis start untuk melepas penyu di atas pasir dengan dahan kering. “Kita mulai
dari garis ini ya?” aku kemudian berjongkok.
Dia mengikuti langkahku. Bayi penyu sudah siap dilepaskan
tepat di belakang garis. Setelah hitungan ketiga, Bayi penyu kami merangkak gesit menuju arah yang sama. Lautan—kehidupan
mereka sebenarnya.
“Yes...
Yes...” dirinya
bersorak mendapati penyu jagoannya lebih cepat menyentuh riak ombak. “Kamu kalah!
Ayo traktir!”
Mataku
terpaku pada dua ekor penyu yang terus menerjang ombak. Dua ekor penyu yang
begitu bersemangat menjemput kehidupan baru. Mungkin saja, Penyu di sampingku
ini juga memiliki perasaan yang sama—bersemangat menjemput kehidupan baru di
London. Rasa hawatir karena jauh darimu, seketika datang menikam.
“Arini, kamu baik-baik aja?”
Ucapnya seolah dapat
menemukan raut aneh di wajahku.
Aku
tersenyum. Menghela nafas panjang. Aku duduk sambil terus memandang penyu kami yang lambat laun hilang di pantai lepas. Jujur
saja, Aku takut. Melepas dirinya sama sekali bukan seperti melepas bayi penyu. Jika bayi
penyu butuh berkali-kali menerjang ombak untuk menuju laut, mungkin aku butuh
berkali-kali menerjang rasa rindu yang entah bisa atau tidak aku lewati
untuk
hidup tanpa kehadirannya.
“Aku
tahu. kamu pasti hawatir dengan kepergianku untuk mengambil study ke London.”
Ucapmu seraya duduk di sampingku.
Tepat sekali. Untuk kesekian kalinya
mulutku dibuatnya terkatup karena ketepatan analisanya. Aku menghelah nafas.
Berharap rasa hawatir ikut terbuang bersama hembus nafas.
“Sayang….” Dia menggenggam tanganku.
“Dengerin aku! Lihat aku!”
Mata kami saling bertemu. Dia
mengusap pipiku lembut.
“Apa bedanya penyu yang ini…” dia
menunjuk dadanya sendiri “dengan penyu yang barusan kita lepas? Gak ada bedanya
sayang. Kita melepas penyu karena memang harus kita lakukan demi kehidupan
mereka. Dan sekarang, kamu juga harus melepas penyu yang kau sayang ini.”
Aku menunduk. Aku tidak mau dia
mendapati genangan di mataku.
“Kamu harus rela melepasku ke London
sayang. Alasannya sama, Demi kehidupanku. Kehidupan kita yang terjamin di masa
depan. Yakinlah bahwa kehidupanku yang baru tidak akan membuatku menjadi sosok
baru yang tidak kamu kenali.”
“Tapi nyu…” bibirku bergetar. Aku
tidak sanggup berkata untuk melarangnya pergi.
“Kamu tahu, ketika penyu yang kita
lepas tadi telah dewasa, dia akan kembali untuk bertelur ke tempat dia pertama
kali dilepas. Tidak beda dengan penyu yang ini.” dia kembali menunjuk dada.
“Penyu yang ini akan kembali ke tempat asalnya setelah lulus dari kuliah. Aku
janji.”
Aku tidak tahan lagi untuk tidak
menumpahkan air mata. Aku menangis di pelukannya. Pelukan sehangat tutur
katanya yang mengusir rasa hawatirku barusan. Aku percaya sepenuhnya pada Penyu.
Bukannya aku tidak mau melepasnya, aku hanya tidak siap melewati hari-hariku
tanpa ada sekelumit senyumnya.
Tapi kini, setelah aku mendengar
janjinya, setelah pelukan hangat ini, Aku akan menyiapkan hatiku lebih tegar. Seperti
penyu yang tak gentar menerjang ombak. Hatiku akan siap menerjang rindu saat
tak ada dirinya.
Tiba-tiba dia melepas pelukan. “Eh,
inget. kamu kalah. Ayo traktir!”
Aku tersenyum dan menggeleng. Dasar
Penyu, gumamku dalam hati.
Lagipula, apa yang aku hawatirkan?
Bukankah semua penyu akan kembali ke pulau asal mereka pertama kali dilepas?
Tidak terkecuali Penyu yang aku sayang. Aku percaya, dia akan kembali di
sisiku. Aku juga berjanji, aku akan menantinya di tepi debur rindu yang memburu.
Comments
Post a Comment