Surat Pengunduran Diri
Lelah namun tetap terjaga. Jemari menari menoreh luka. Pendar cahaya dari layar laptop, satu-satunya yang menyemangati. Sudah cukup aku merana. Sudah cukup aku bersabar meladeni rentetan tugas yang mencekik tanpa ampun. Lewat surat yang aku tulis ini, aku memutuskan berhenti.
***
Surabaya,
13 November 2014
Yth.
Bapak Direktur
di-
Ruangan pribadinya yang nyaman
Selamat Pagi Bapak.
Sebelumnya mohon maaf, Saya tidak tahu aturan
surat-menyurat. Tapi saya tahu betul, surat adalah salah satu cara seseorang
mengatakan apa yang layak untuk diabadikan. Sebab yang akan saya sampaikan ini
adalah langkah krusial untuk hidup saya ke depan. Untuk itu hal ini perlu
disampaikan dengan bahasa abadi. Bukan dengan bahasa lisan yang sekelebat didengar,
lalu hilang tersapu waktu.
Baiklah, saya akan memulai.
Bapak Direktur yang terhormat, saya sungguh sangat
berterima kasih karena dengan Ijazah yang tak setinggi milik Bapak, saya masih
diizinkan untuk bekerja di sini. Gaji per bulan yang saya dapat juga sudah
layak. Sekali lagi, saya terima kasih dengan dua hal tersebut.
Akan tetapi saya mohon maaf, saya sudah mulai muak dengan
sikap Bapak selama ini. Aturan yang menyebut jam kerja adalah delapan sampai
sembilan jam sehari, ternyata tidak berlaku bagi saya. Saya menginjak kantor
tepat sepuluh menit sebelum pukul delapan, dan melangkah meninggalkan kantor
paling cepat lima menit sebelum pukul delapan malam. Dua belas jam, setengah
dari jatah dua puluh empat jam yang saya miliki, saya habiskan di tempat ini.
Sudah sangat sering saya mencoba pulang tepat pukul lima
sore sesuai perjanjian awal waktu interview. Tapi nyatanya apa? Baru saja
sampai rumah, Bapak menelepon saya agar kembali ke kantor. Melanjutkan kerja
yang entah—ada atau tidak untungnya bagi saya.
Memang benar, perjanjian seperti itu harusnya dibuat
tersurat. Bukan bahasa lisan seperti dulu. Inilah akibatnya, Bapak melupakan
ucapan bapak sendiri. Inilah alasan saya juga menulis surat, karena saya
hawatir anda lupa kalau saya sudah mengundurkan diri, lalu seenaknya menelepon
saya agar kembali ke kantor nyaman milik Bapak.
Selanjutnya, untuk melangkahkan kaki dari kantor ini,
saya tidak minta macam-macam. Saya tidak minta pesangon. Saya hanya minta satu:
Lepaskan saya dengan baik-baik. Jika nanti ada pegawai baru yang menggantikan
saya, jangan perlakukan dia seperti saya.
Bapak, tekad saya sudah bulat. Sebagai seorang Ibu, saya
punya hutang banyak dengan anak-anak saya. Telah banyak waktu terbuang yang
harusnya waktu itu saya persembahkan untuk buah hati saya. Sekali lagi, saya
tidak minta apa-apa. Namun kalaupun bapak menawari saya sesuatu untuk cindera
mata perpisahan, mungkin saya akan meminta waktu. Ya, saya minta waktu yang
dulu terbuang sia-sia dikembalikan lagi. Mustahil bukan? Untuk itulah saya
tidak menginginkan apa-apa dari kantor ini.
Terakhir, saya minta maaf. Saya mengundurkan diri. Semoga
kebaikan Bapak selama ini dibalas olehNya. Semoga dengan kepergian saya, Kantor
yang saya banggakan ini menjadi semakin besar dan mampu membesarkan hati
manusia di dalamnya sebagai pekerja yang memiliki hati. Pekerja yang tak
amnesia bahwa mereka punya kehidupan lain selain di kantor. Pekerja yang selalu
merindukan pulang sebab mereka juga dirindukan pulang oleh keluarganya.
Sekian surat dari saya. Selamat tinggal. Wassalam.
Hormat
Saya
Kinar
***
Bunyi derit printer memecah sunyinya malam. Tinggal satu
langkah lagi, setelah mentari menggusur kawanan bintang nanti, Aku resmi
merdeka. Aku resmi berpihak pada waktu. Aku resmi menjadi Ibu sepanjang waktu.
“Ibu…. Susu.” Dari balik punggungku, Si bungsu
menarik-narik rokku sambil membawa botol susunya.
Aku usap kepalanya. “Oh… haus ya sayang? Sini Ibu bikinin
ya? Kamu tunggu di sini. Duduk yang manis ya nak?”
Aku sangat menikmati gerak demi gerak dalam menyajikan
sebotol susu untuk si bungsu. Kau tahu, mulai besok aku akan melakukan hal ini setiap
pagi, siang, bahkan malam. Menuang air hangat ke botol seolah menuang hangatnya
mentari kebebasan esok pagi. Aku benar-benar tak sabar menyambut besok. Kubuka
kaleng susu, tinggal sedikit. Tersisa beberapa sendok yang didapat dari
mengerok bubuk-bubuk yang mengerak di kaleng.
“Sebentar ya nak, Ibu lupa belum beli susu. Susu kamu
habis.”
Si bungsu hanya mengangguk lantas merebahkan badannya ke
arahku. Ia minta digendong, dan ikut aku membeli susu. Dengan motor matic yang
angsurannya baru aku bayar sebanyak enam kali, aku meluncur ke mini market
depan komplek.
Setibanya di rumah, sesuatu yang aneh menggema di
kepalaku dengan tiba-tiba. Seperti ada bayangan buku cicilan motor, kaleng susu
kosong, dan tagihan-tagihan bulanan melayang di depanku. Sadar Kinar, sadar!
Aku
limbung. Aku tidak tahu lagi apakah keputusanku untuk berhenti kerja adalah
jalan terbaik. Aku dapat uang dari mana untuk membelikan susu si bungsu? Aku
dapat uang dari mana untuk mengangsur pembayaran motor maticku tiap bulannya? Entahlah,
persetan dengan merdeka. Persetan dengan kebebasan. Sebagai ibu, apa lagi yang
diperjuangkan selain kebahagiaan buah hatinya?
Aku tidak lagi ingin bebas, biarlah
aku menggerutu setiap waktu asal anakku mampu berkembang dan tumbuh. Sebagai
Ibu, apalah arti kebebasan bila keluarganya tak berkecukupan.
Bodohnya
aku, kantor tak melulu tentang tugas ini dan tugas itu. Kantor adalah lahan
untuk keberlangsungan hidup keluargaku. Aku tidak sendiri. Puluhan pejuang yang
mengorbankan waktunya demi masa depan buah hati di kantor juga sama sepertiku. Aku
sadar, mungkin aku hanya lelah, mungkin aku hanya butuh sedikit asupan bahagia
dan sejenak menjauh dari meja kerja.
Aku
kini harus sadar, tidak ada yang terkekang di sini. Lagi pula aku sudah merasa
merdeka. Bagiku, merdeka adalah berkorban dan memperjuangkan masa depan
orang-orang yang aku sayangi.
Aku kembali ke meja kerjaku. Aku menatap lekat-lekat
kertas yang berisi surat pengunduran diriku. Aku tidak mungkin seceroboh ini. Dadaku
naik turun saat kuhela nafas dalam-dalam. Sesak. Kemudian dengan mata terpejam
dan tenggorokan tercekat, leburlah kertas itu menjadi serpihan kertas kecil-kecil
berserakan di lantai.
Aku tidak jadi berhenti. Demi anakku, demi masa depanku.
_____________________
9
Agustus 2015
Merdeka adalah berkorban dan
memperjuangkan masa depan orang-orang yang kita sayangi.
______________________
Dirgahayu RI ke 70 - Ayo Kerja!
Comments
Post a Comment