Rak Buku

Sejak siang tadi, mendung memang sudah menggantung. Pekarangan yang jarang menjadi arena bermain semakin menunjukkan kelesuhannya di balik kelabu langit. Menginjak senja, mendung tetap mendominasi hingga semburat jingga menyerah pada kepungan awan kelabu. Selepas adzan maghrib berkumandang di selah deru halilintar, hujan lebat turun.
Aku selalu suka hujan di malam hari. Hawa dinginnya seolah isyarat yang diturunkan Allah untuk menguji kehangatan keluarga kita. Di sinilah, di saat alam memaksa kita untuk berlindung dari basah dan hawa dingin, kehangatan keluarga bisa menjadi perapian tanpa bara.
“Nak, sini.” Dari arah meja makan, Umi memanggilku. “Ayuk kita ngeteh bareng!”
“Inggih, Umi. Sebentar. Nanti saya nyusul.”
Komik Death Note volume 11 yang ada di genggamanku sudah sampai pada halaman 178. Kurang lima halaman lagi aku akan menemui kata tamat. Pikirku, akan terasa tanggung jika aku beralih ke meja makan untuk minum teh. Aku memutuskan tetap pada posisiku. Duduk bersandarkan rak buku sambil terus menyelami lautan kata di tengah suasana hujan.

Berbicara soal rak buku, rak buku berbahan kayu jati setinggi keningku ini adalah hadiah yang Abah berikan saat aku baru khatam Al-Quran. Abah bilang, ia sengaja menghadiahiku barang ini agar aku lebih gemar membaca, sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan Allah untuk junjungan kita: Iqra’, bacalah.
Seiring bergulirnya waktu, misi Abah untuk mencetak diriku menjadi kutu buku sukses telak. Tanpa diperintah, aku selalu menyisihkan uang sakuku untuk memenuhi hasrat membacaku dan juga memenuhi rak bukuku. Ditambah lagi, Umi selalu mengajakku ke toko buku—paling tidak tiga bulan sekali. Penghuni rak bukuku bermacam. Mulai dari buku ensiklopedi, nonfiksi, novel, dan tentu yang paling banyak adalah komik. Alhasil, rak buku itu resmi dipenuhi buku tanpa celah sehari yang lalu.
Aku menamatkan Death Note Volume 11 tepat ketika telingaku menangkap bunyi sendok yang beradu dengan gelas. Umi sudah mulai mengaduk teh untuk kami. Umi, Abah, Aku, dan tiga cangkir teh melati hangat seperti sihir yang menyingkap hawa dingin di luar sana. Kebersamaan kami saat ini seolah membuktikan, bahwa kehangatan dan keharmonisan keluarga kami telah teruji. Aku mengucap hamdalah dalam hati.
“Tadi baca apa sih le serius banget?” Tanya Umi penuh selidik sambil menyodorkan secangkir teh ke hadapanku. “Udah tamat tadi bukunya?”
“Alhamdulillah sudah Umi.”
“Seru gak le ceritanya?”
“Seru banget. Pokoknya Umi harus baca juga!”
Umi hanya tersenyum seraya menyodorkan secangkir teh untuk Abah.
“Buku apa toh le?” timpa Abah selepas menyeruput teh hangat miliknya.
“Death note Bah.”
“Subhanallah… Death Note lagi? bukannya kamu sudah pernah namatin itu ya?”
Aku mengangguk.
Selanjutnya, kehangatan keluarga kami terus terpancar. Topik demi topik dibahas bersama dengan aroma khas teh melati seduhan Umi. Hujan di luar sana masih belum redah kala cangkir di hadapanku kosong. Meski sesi minum teh telah habis, kehangatan keluarga kami belum juga habis.
“Abah lihat, rak buku kamu sudah penuh.” tahu-tahu Abah berkelakar.
“Buku segitu banyak sudah kamu baca semua le?”
“Ya iyalah Bah. Paling buku yang baru kemarin kebeli aja yang belum aku baca. Bahkan udah ada yang tamat lebih dari sekali Abah.” Ujarku berbangga.
“Bagus-bagus. Yang mana aja tuh yang tamat lebih dari sekali?”
“mmm… banyak Bah, tidak hafal saya.”
“Anak Abah memang juara. Bagus, Bagus!” Abah tersenyum, lalu melanjutkan “Tapi akan lebih bagus lagi kalau yang kamu tamatin lebih dari sekali itu kitab suci kita le.”
Seperti ada sensasi tertampar. Dari meja makan, aku melihat jajaran buku di rak buku. Ada buku yang letaknya di rak paling atas, jarang sekali aku sentuh. Jarang sekali aku buka, bahkan jarang sekali aku baca. Buku yang mengawali keberadaan rak buku dan buku-buku itu. Buku tuntunan kehidupan yang dulu setiap sore aku baca. Buku yang seharusnya aku baca setiap hari, bahkan kini terabaikan.
Buku suci itu berdebu. Jarang tersentuh.
Kemudian, di tengah dinginnya hujan aku merasakan ada udara dingin yang begitu menusuk. Udara yang memunculkan sebuah tanya. sepanjang nafasku berhembus, sebanyak apa aku telah membaca Al-Quran? Apa sepanjang hidup kita, kita hanya cukup menghatamkan Al-Quran sekali seumur hidup?
Ucapan Abah barusan terus terngiang di telinga. Aku malu pada diriku sendiri. Terlebih pada Abah dan Dzat yang aku sembah.
Seberapa sering aku mengacuhkan keberadaan Al-Quran di tengah jajaran buku di atas rak? Bahkan Al-Quran yang menjadi sebab adanya rak buku dan buku-buku itu, seperti tumpukan koran hari kemarin yang terabaikan.

Lalu aku bertanya pada diriku lagi, Dari jajaran buku di rak yang telah aku baca, berapa banyak buku bertema agama? Jawabannya hanya lima. Hanya lima buah dari puluhan buku.
Di tengah malam yang masih hujan, aku tak henti merapal istighfar. Mengambil air wudhu. Lalu dengan gemetar menahan dingin, aku sibak debu yang menempel pada Al-Quran. Aku ingin membacanya setiap hari—meski selembar—di selah-selah puluhan buku lain yang menggodaku.
______________________
M. Faiz Abdul Malik
NIM: 145200009
Tugas renungan agama. Dibuat secepat kilat 2 jam sebelum jam masuk kuliah. Hahaha.. lah kok jeketek gak dikumpulno. Yowes diposting nak blog ae

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi