Pergantian Tahun
Beragam topik aku dengar sejak kota ini masih milik
kompeni. Sudah ribuan pasang kaki dan roda yang menumpang di punggungku, menebar
kisah sepanjang melintas. Manusia memang tidak pernah bisa diam bercakap. Kendati
mulutnya diam, jauh di dalam sana mereka selalu bercakap dengan batinnya
sendiri. Dengan kekasih yang seolah memiliki kemampuan telepati. Dengan tuhan
yang mereka imani.
Hari ini
adalah penghujung tahun. Tepat pukul tiga sore tadi sampai hari pertama tahun
2015 nanti, punggungku diharamkan untuk dilewati deru mesin. Kau tahu, ini
membuat pendengaranku terhadap kisah para manusia semakin peka.
Dari
riuhnya suasana tanpa beradu dengan deru, begitu banyak tawa. Seluruh warga
kota tumpah ruah menikmati ruas-ruasku. Dari percakapan mereka, aku tahu jika
perayaan pergantian tahun ini diberi nama Car Free Night. Di kiri kanan,
tenda-tenda makanan berebut perhatian mereka yang lapar. Aku mampu mendengar
suara hati para penjual. Mereka bilang, “tidak rugi saya ngorbanin liburan
saya. Jualan disini untungnya sangat luar biasa.”
Malam
ini, suara yang paling memekakkan telingaku adalah suara serentak hitungan
mundur menuju pergantian tahun.
Sepuluh….
Sembilan…..
Delapan……..
Tujuh………….
Di
antara kompaknya hitungan mereka, Pendengaranku menangkap isakan seseorang.
Enam……………..
Lima………………..
Empat…………………
Isakan
itu sejenak hilang. Berganti dengan sebuah sesal yang dihembuskan lewat nafas
panjang.
Tiga…………………..
Dua………………………..
Isakan
itu terdengar lagi.
Satu……………………………….
Duaaaarrrr….!!! “Happy New Yeeeeaaar….!!!”
Teriakan beradu dengan suara kembang api dan terompet. Ribuan tawa menggema.
Binar kagum memancar dari setiap pasang mata yang menatap langit. Namun diantara
itu semua ada satu kesedihan tercipta: suara isakan yang kudapati berasal dari
pria berseragam coklat—yang sedang menjaga ujung tubuhku agar tak ada kendaraan
masuk.
Suara
hati darinya mampu merasuk, menyeruak ke pendengaranku. Seolah suara keramaian
yang lain senyap dilahap kegetiran hatinya. Hatinya berkata bahwa dia merasa
gagal menjadi seorang Ayah. Baru saja gadis kecilnya menelopon dirinya dan
bertanya, “Ayah kapan pulang? Kapan Aku bisa tahun baruan bareng Ayah-Ibu kayak
temen-temenku yang lain?”
Pria itu
hanya diam seolah mulutnya dibungkam dengan kertas surat yang memerintahkan
dirinya bertugas di malam pergantian tahun.
Hingga
pertanyaan yang sama kembali terlontar dari bibir mungil anaknya, Dia hanya
mampu meminta maaf dan mengalihkan topik dengan berjanji akan mengajak putri
kecilnya berlibur ke pantai.
Selepas
telepon ditutup, Aku mendengar hatinya kembali berkelakar, hatinya berkata, “Memenuhi
tugas ini memang menjadi tanggung jawabku sebagai polisi. Lalu apa kabar dengan
tanggung jawabku sebagai seorang Ayah? Hidupku terlalu lucu.”
“Ada
banyak yang memuji kerjaan semacam ini, mereka bilang uang lemburnya banyak.
Hahahaha… bagiku sangat menyedihkan mempunyai banyak uang namun tak punya
banyak waktu untuk keluarga. Aku ingin usul, bagaimana jika upah uang lemburku
diganti dengan upah waktu luang?”
Satu
lagi ironi mencatatkan riwayatnya di sepanjang tubuhku. Ribuan jiwa yang
bersuka cita menyambut lembaran baru dengan pesta ria tidak sadar, jika
sebenarnya mereka tengah berbahagia di atas penderitaan segelintir orang. Penderitaan
Orang-orang yang menggadaikan waktunya bersama keluarga demi kelancaran
perayaan tahunan ini.
Beratus
tahun aku hidup, beratus langkah kaki menjejakiku, beratus roda menggilasku,
dan beratus kisah telah kudengar, membuatku kini semakin percaya bahwa bahagia
dan sedih, salah satu dari keduanya tidak akan mampu mendominasi dunia.
Keduanya seperti dua sisi mata uang, selalu berdampingan dan tak mampu
dipisahkan. Dimana ada kebahagiaan, di sana pasti ada kesedihan.
Teruntuk
dirimu wahai pria yang sedang bertugas, menangislah! Tak usah kau malu dengan
seragammu. Jalankanlah tugasmu sembari memberontak lewat isak tangismu!
Percayalah, mengeluarkan air mata adalah salah satu cara memberontak paling
damai. Setelahnya, kau akan sedikit lebih baik. Percayalah! Sadarlah jika kau
juga manusia biasa!
Dariku,
aku ingin mengucapkan Selamat tahun baru! Semoga di tahun yang baru ini, kau dapat
menemukan cara baru untuk menikmati lukamu!
Senang
bisa mendengar kisah rapuhmu. Semoga kita dapat bersua kembali.
Oh iya,
aku hampir lupa kita belum kenalan. Perkenalkan, namaku Tunjungan.
***
Surabaya, 31 Desember 2014
Selamat
tahun baru! Selamat menikmati luka-luka baru!
Comments
Post a Comment