Panik

Sekujur kaki kananku dibalut perban. Sejak dua hari lalu, sebagian besar kegiatanku hanya berbaring di atas ranjang rumah sakit yang dingin. Aku baru saja terbangun dari tidur. Mataku melirik ke meja di sisi ranjang. Ada deretan obat, segelas air putih, jam waker yang menunjukkan pukul 12.15 malam, dan HP yang sedang dicharge. Aku meraih HP, ada tiga belas panggilan tidak terjawab.
          Dengan segera aku mengirim pesan pada nomor yang teleponnya tak sempat terangkat, “Tenang saja, aku sudah minum obat kok.”
          Sejak aku dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, Dia memang menjadi sangat perhatian. Pagi, siang, malam, ia selalu meneleponku sekedar untuk mengingatkan minum obat. Tak pernah telat, bahkan lebih dulu dari perawat yang memang punya tugas untuk itu.
          Belum sempat aku menaruh kembali HPku, tanganku terasa bergetar. Dia meneleponku lagi.
          “Halo….” Sapaku.
          “Ton… Ton… gawat Ton!” Suara panik tahu-tahu memekikkan telingaku.
          “Kenapa? Ada apa?” Kantukku seketika musnah.
          “Gue kecelakaan!”
          “Apa?” Aku hampir saja teriak mendengar perkataannya. Dua hari kemarin aku kecelakaan, sekarang dia. Ada apa ini?
          “Gue musti gimana? Gue gak tau harus minta tolong ke siapa lagi.”
          Panik seketika memenuhi ruang pikirku. Di luar sana hujan cukup deras. Di dalam sini, kakiku tak punya daya untuk melangkah. Aku harus berbuat apa? Dengan cara apa aku ke sana? Dengan cara apa aku membantunya?
          “An, lo baik-baik aja kan?” akhirnya hanya menanyakan keadaannya yang mampu aku lakukan.
          “Gue baik-baik aja. Tapi yang gue tabrak Ton….” Suaranya bergetar di ujung kalimat. Aku tidak sanggup membayangkan muka Ana, kegugupan Ana.
          “Kenapa yang lo tabrak? Bawa ke Rumah sakit, cepet!”
          “Aku gak tahu. Aku bingung.”
          Dari balik telepon, aku mendengar raungan tangisnya. Riuh suara hujan melatari percakapan tegang di tengah malam. Ada suara lain tertangkap telepon. Suara seorang wanita yang berteriak, “Woy mbak! Tanggung jawab! Sekarat ini!”
          Aku semakin panik. Aku bangkit dari posisi berbaringku, “An, korban lo parah?”
          “Parah Banget… gue musti ngapain? Gue sendirian di sini. Plis, bantu gue Ton!”
          Suara tangisnya kembali terdengar. “Plis, lo musti bantuin gue!”
          “Lo posisi ada di mana?”
          “Rawamangun. Deket terminal busway. Cepetan ya Ton!”
          “Oke… oke. Gue akan ke sana.”
          Percakapan kami berakhir.
          Bayangan Ana dengan muka pucat pasih diberondongi dinginnya bulir hujan membuat aku begitu khawatir. Apa lagi dia sendirian dicengkeram rasa takut dan panik. Aku harus segera membantunya. Setidaknya, kehadiranku mampu membuatnya sedikit tenang meski aku tak bisa membantu banyak dengan keadaanku saat ini.
          Ana memang tidak punya siapa-siapa di kota ini. mungkin dia sudah mencoba menghubungi sahabat-sahabatnya, namun menghubungi seseorang di tengah malam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apa lagi saat malam dingin seperti ini, lelap dalam mimpi adalah pilihan mayoritas dari mereka. Karenanya, akulah satu-satunya tempat dia berbagi susah. Satu-satunya sahabat yang masih terjaga.
          Aku tidak memperdulikan lagi keadaanku. Asal masih ada cara aku ke sana, akan aku jalani. Aku memesan taksi. Dengan kursi roda aku menelusuri lorong rumah sakit sendirian. Hanya ditemani rintik hujan yang menambah cekamnya malam ini. Aku ingin segera sampai di mulut gerbang. Tanganku terus memacu roda agar bergulir lebih cepat.
          Tiba-tiba dia meneleponku lagi. dengan sigap aku menghentikan laju kursi roda lalu mengangkat telepon dari Ana.
          “Aduh gimana ini? kamu cepetan dong!” Ujarnya di balik telepon. Lebih panic dari sebelumnya.
          “Hey… aku gak bisa lari. Kakiku lagi sakit!”
          “Aduh Ton, gimana ini nasib gue? Majikannya bilang mau nuntun gue kalau sampai korbannya mati.” aku mendengar suara tangisnya lagi. Lebih keras dari sebelum-sebelumnya.
          “Makanya lo bawa ke rumah sakit cepet!”
          “Tapi gue gak tahu Rumah sakit deket sini di mana Ton, ini majikannya juga nangis terus. Gue bingung gue musti ngapain?”
          “Majikannya? Jadi yang kamu tabrak seorang pembantu?”
          “Bukan.”
          “Terus?”
          “Yang gue tabrak anjing dia!”
          JEGLAAAAARRRR!!!! Suara petir tiba-tiba terdengar. Bagai sound effect pada film, suara gemuruh petir memvisualisasikan betapa gubraknya perasaanku setelah tahu siapa korban sebenarnya.
          “An, lo gak bohong kan? yang lo tabrak beneran anjing?”
          “Ya ampun gue serius Ton. Anjing jenis Siberian husky ini lagi sekarat di depan gue.”
          Aku menghela nafas seraya tersenyum kecut.

          Aku dengan luka di kaki yang belum sembuh, harus mengabaikan rasa sakitku untuk menerjang hujan demi nyawa korban kecelakaan yang ternyata seekor anjing. Sekali lagi, hanya seekor anjing. Betapa terpujinya sikapku? Harusnya pelajaran PKNku mendapat nilai A plus.
__________________________
Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan @KampusFiksi dengan tema #FiksiSakit .
Jumlah kata 690 tidak lebih dari ketentuan. yeay! :D

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi