Sosialita di Angkringan


Coach, Louis Vuitton, Chanel, Gucci, Longchamp, Prada, Hermes, Mulberry, Marc Jacobs atau apapun namanya—sejauh itu masuk dalam kategori brand handbag terkenal, akan dapat kau temui di dalam etalase kaca di ruang wardrobenya.
                Dia bukan public figure, tetapi tidak sedikit public figure yang mengenalnya. Setiap satu bulan sekali, dengan salah satu handbag koleksinya itu, dan dress gemerlap yang ia pesan dari desainer kepercayaannya, dia melenggang menuju tempat-tempat bintang lima. Bersama belasan wanita berorientasi sama, mengocok arisan yang ia namai dengan arisan sosialita.
                Pernah suatu kali, saat kaki jenjangnya bosan menginjak tempat berbintang lima, dia mengajakku ke angkringan di pinggir jalan Malioboro. Sempat ada tanda Tanya besar menggantung di atas kepala saat kuterima tawarannya. Sosialita dan angkringan pinggir jalan terlalu kontras untuk disandingkan.
                Dua kopi jos mengepul di tengah remang lampu petromaks. Sang sosialita dengan kaos Zara dan tas beremblem LV besar, tidak ragu menggesekkan kulit mulusnya dengan bangku panjang berbonus debu jalanan. Aku sempat bergumam, bagaimana bisa hal yang bersebrangan ini terjadi?
                “Jangan sungkan-sungkan kamu. Ayo ambil aja yang banyak.” Dia menyeruput kopi jos miliknya. “Kalau mau, aku beli juga ini serombong-rombongnya.” Dia tertawa di ujung ucapnya.
                “Kamu kesurupan apa? Bisa-bisanya nongkrong di pinggir jalan kayak gini? Kamu sudah meninggalkan komunitas hedonmu itu?”
                Dia tertawa dan menggeleng. “Tau apa kamu tentang hedonisme?”
                “Yang aku tau sejauh ini ya… yang kayak kamu. Salah satu contoh nyatanya, buang-buang duit buat beli tas-tas bermerek—yang ujung-ujungnya cuma buat pajangan. Buat ajang pamer.”
                Dia meneguk kopinya. Satu dua teguk, kopi di cangkirnya tinggal setengah. Sementara milikku, masih utuh. Raut mukanya berubah. Namun dia tersenyum. “Bener. Salah satunya cuma buat pamer. Karena itulah, aku berada di sini sekarang.”
                Giliranku yang menyeruput kopi. Rupanya, meneguk kopi di sini telah menjadi gerakan untuk menutupi kebingungan juga kecanggungan yang menggelayut di antara obrolan kami. Obrolan antara langit dan bumi, sosialita dan orang biasa.
                “Aku malas hadir di arisan.” Sejenak ia menggerayangi bagian dalam tas yang entah apa isinya. “Aku lari kesini buat menghindari jeung Saraswati yang lagi gembor-gembor tas Hermes barunya.”
                “Terus apa hubungannya?”
                “Jelas saja berhubungan. Dari jauh saja aku sudah tahu kalau itu Hermes buatan china. Aku orang yang paling gak tahan untuk tidak nyeletuk saat lihat ada orang pamer tas mahal, tapi yang dipamerin cuma barang imitasi.”
                “Oh… jadi kamu sengaja gak datang biar gak nyeletuk, biar hubungan kalian tetap harmonis?”
                “Yup. You know me so well darl. Bagi kami tas-tas seperti itu adalah lencana kalau dalam dunia kemiliteran. Mana ada militer yang menjelekkan lencana milik temannya? Dari pada hal itu terjadi, mending aku saja yang menghindar.”
***
                Pertemuan kami telah sampai pada pembahasan Chanel, Hermes, Mulberry, dan juga brand sepatu milik anak negeri yang mendunia: Niluh Djelantik. Sepanjang kami menghabiskan tiga potong gorengan, Kopi jos ditambah wedang uwuh, percakapan ini kembali merujuk pada hal sensitif.
                “Kamu bahagia dengan caramu menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk sebuah tas?” tanpa tedeng aling-aling lagi, aku melancarkan pertanyaan yang telah lama ingin aku sampaikan pada makhluk hedon satu ini.
                “Sepanjang tiga puluh dua tahun kamu hidup di dunia, apa kamu sudah pernah merasakan bahagia?” dia menjawab pertanyaan dengan bertanya balik. Strategi yang cerdas.
                “Tentu saja sudah beib… menjadi Nyonya Wishnu Wardhana adalah salah satu kebahagiaan.”
                “Well, Sekarang coba kamu tanyakan pertanyaan yang sama pada anak tiga tahun. mungkin jawaban mereka adalah diizinkan makan coklat sepuasnya. Kamu tanya lagi pada kolektor lukisan, jawabannya pasti mampu membeli lukisan langka walau dengan harga selangit. Setiap orang memiliki definisi kebahagiaan menurut versi diri mereka sendiri.” Dia membenarkan poninya yang menggelayut ke muka. “Dan aku sendiri, mengoleksi tas-tas branded adalah kebahagiaan dalam versiku sendiri.”
                “Oke, kita sama-sama bahagia, lalu?”
                Dia membuang nafas. “Pertanyaan bodoh. Kamu yang memulai pertanyaan ini, dan kamu yang bertanya sendiri kenapa kita membahas ini.”
                Sial. Dia tidak hanya gemar mengoleksi tas, tapi juga mengoleksi cara jitu menemukan celah kecil dalam perdebatan. Aku meneguk wedang uwuh, berharap rasa malu tertelan bersamanya.
                “Semua orang butuh untuk hidup bahagia. Sebagai manusia yang sama-sama ingin bahagia, jangan sekali-kali menghakimi kebahagiaan orang. Sejelek-jeleknya orang, pasti ada baiknya kok. Percaya deh. Tinggal kita aja yang harus mau melihat sesuatu dari sisi yang berbeda.”
                Aku hanya mengangguk. Memang dasar wanita gemerlap, sekalipun dicerca Tanya-tanya yang tajam, dia masih mampu memancarkan kilaunya. Dan aku yang duluan menyerang, malah tersungkur mengakui opininya. Sekali lagi aku mengangguk.
                “Ayo balik. Udah ngantuk nih.” Dia bangkit dan mengeluarkan dompet dengan merek serupa tas yang dia jinjing. Ia mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu rupiah dan membayar apa yang telah kami pesan tanpa meminta kembalian. Oke, aku rasa perilakunya barusan menunjukkan bahwa dibalik sifat hedonnya, ia masih punya sisi malaikat yang sering luput dari kritikus macam aku.
                Aku pun ikut bangkit. Kami melangkah bersandingan melewati toko-toko yang telah tutup. Sesekali bunyi deru mesin motor atau mobil melintas meninggalkan langkah kami yang lambat. Kami sengaja menikmati segala apa yang lambat di sini. Sebab dunia kami terasa begitu cepat. Bahkan dituntut untuk selalu bergerak cepat. Inilah saatnya kita melambat. Menikmati dekapan cahaya jalanan Jogja yang membuat kami enggan bergerak cepat meninggalkan hangatnya.

                Suasana semacam ini membuat aku mudah mencerna opini dia. Untuk mencapai sebuah kebahagiaan, setiap orang memiliki cara sendiri. Temanku satu ini harus membayar mahal demi kebahagiaan. Jika dibandingkan dengannya, aku merasa bersyukur sebab kebahagiaanku tidak diukur oleh nominal. meski dalam hati aku mengatakan ritual koleksi tasnya itu salah, namun tidak serta merta aku menghakimi. Sebab tidak ada satu orangpun yang mau kebahagiaannya diusik. Begitupun dengan kebahagiaanku yang sederhana dan kebahagiaannya yang  tidak bisa dibayar murah.

_____________________________________________________

Berbicara tentang handbag, ini ada kawan saya yang jual handbag. tidak perlu ratusan juta, hanya puluhan ribu, kalian bisa mendapatkan handbag cantik.
Langsung aja yang mau lihat-lihat koleksinya bisa mengunjungi blog berikut ini:

Terimakasih :)

Comments

  1. keren. aku suka nih cerpennya. gaya berceritanya asik. tema kebahagiaan emang sering mengundang penasaran.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih kakak :)
    Setiap orang punya versi bahagianya sendiri. Semoga kita termasuk orang yang berbahagia :)

    ReplyDelete
  3. Nice article, enak dbaca...lnjutkan!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi