Antara Apsari dan Grahadi
Aku tidak tahu harus mencintai atau membenci hari sabtu. Datangnya yang cuma sekali dalam seminggu, adalah anugrah beserta derita yang patut aku syukuri serta aku serapahi. Tidak usah bingung dengan sikapku terhadap hari sabtu, sebab aku nyatanya sangat menikmati sabtu—bahkan sampai hari sabtu kali ini.
Selepas
memarkir motor butut keluaran tahun sembilan puluhan, dirimu menyambutku dengan
lambaian dan senyum yang merekah. Kau bilang, baru menungguku di sini lima
menit yang lalu. Syukurlah, motor tuaku yang sudah saatnya dimuseumkan ini
masih mampu berpacu dengan waktu.
Jemari
lentikmu langsung menggamit lenganku. Langkah kita beriringan menuju monumen Gubernur
Suryo. Di tepian kolam air mancur tempat monumen gubernur pertama Jawa timur ini
berdiri, kita duduk bersandingan. Sosok gagah yang menghadap gedung grahadi inilah
yang menjadi saksi bisu sabtu-sabtuku bersamamu.
Tempat
ini memang tempat favorit kita. Di sini, kita mampu memandang langit penuh
bintang. Di sebrang sana, cahaya kemuning menyorot gedung grahadi yang elok. Kantor
gubernur peninggalan Belanda itu lengkap dengan taman luas yang selalu kau
agung-agungkan. Kau bilang, kelak jika sudah berkeluarga, kau ingin mempunyai
rumah dengan taman seindah dan seluas itu.
Letak
taman Apsari yang berada di tengah Kota Surabaya membuatnya selalu ramai tiap
akhir pekan. Semakin malam semakin ramai. Dua-tiga komunitas mulai berdatangan.
Salah satu favoritmu: Komunitas pengamen jalanan. Kau kerap kali meminta mereka
memainkan lagu favoritmu dan mengiringi dirimu bernyanyi sesuka hati. Setelah
puas bernyanyi, kau mengimbali mereka dengan mengajak minum kopi bersama di kedai samping taman ini.
terkadang kau juga memberi mereka sedikit uang.
Kehadiran
komunitas inilah salah satu yang membuat hari sabtu menjadi hari yang spesial
bagiku. Aku masih ingat betul waktu kita pertama kali nongkrong di sini. Waktu
itu sabtu malam, sama seperti saat ini. Dengan muka tanpa gurat senyum, kau
memohon-mohon kepadaku minta diajak ke tempat yang bisa menghilangkan rasa stresmu.
Aku bertanya, “Ada masalah apa?” Kau hanya diam. Aku sangat bingung, ide
satu-satunya adalah membawamu ke sini.
“Aku
gak ada ide, semoga Taman Apsari bisa ngilangin stres kamu.” Ucapku kala itu.
Kau
masih cemberut, aku memilih diam menatap gedung Grahadi. Kebekuan antara kita
lebur setelah komunitas pengamen hadir dengan lagu yang mampu membawa kembali
senyuman di bibirmu. Lagu Cantik dari Kahitna dibawakan begitu sederhana namun
indah.
“Gila,
enak ya mereka mainnya?” ucapmu seraya tepuk tangan usai penampilan mereka. “Tau
gini tiap malem minggu ke sini aja nonton mereka perform.”
“Boleh
juga. Lumayan hiburan gratis.”
“Kamu
mau kan tiap sabtu nemenin aku ke sini?”
Aku
mengangguk. Syukurlah, tempat pilihanku tidak salah. Kau tak cemberut lagi.
“Janji?”
kau mengacungkan jari kelingking.
Aku
gamit kelingkingmu dengan kelingkingku. “Janji.”
“Oke,
sabtu-sabtu selanjutnya kamu gak usah jemput aku. Aku bakalan berangkat
sendiri, tapi kamu harus janji, mau nemuin aku di sini tiap sabtu.”
Jari
kelingking kita saling menggamit lagi. Aku mengangguk memegang janji.
Sejak
saat itulah, tiap sabtu aku selalu menghabiskan malam di sini bersamamu. Menemuimu
dan menemanimu menikmati orkestra jalanan yang selalu bisa memainkan lagu yang
kau pinta.
Kau
tersenyum sangat manis dan sesekali bernyanyi diiringi mereka. Yellow dari
coldplay kau senandungkan di tengah petikan gitar. Bernyanyi bersama mereka
adalah kebahagiaan bagimu, dan melihatmu bahagia adalah kebahagiaan bagiku. Itulah
kenapa, setiap sabtu malam aku bersedia menyempatkan waktuku untuk melihat kebahagiaanmu.
Tapi
itu adalah kisah masa lalu….
Sekarang
tiap sabtu aku tetap datang ke taman ini. Aku masih tetap memegang janjiku. Sudah
genap tiga tahun aku melakukan ritual sabtu kita sendirian. Tidak satu sabtupun
aku absen menghadiri Apsari. Kini selepas kau menikah, sabtuku di Apsari hanya sebatas
duduk, menikmati kebolehan pengamen jalanan, dan tetap menghadap Grahadi,
tempat tinggalmu.
Mungkin
orang pikir aku orang bodoh, padahal aku hanya lelaki yang tak mampu mengingkari
janji. Janjiku untuk menemuimu di sini akan selalu aku laksanakan. Lagi pula,
jarak kita untuk disebut tidak bertemu hanya selebar jalan Pahlawan yang
melintas diantara taman kita dan gedungmu. Aku yakin setiap sabtu, kau di
sebrang sana melihat diriku dari balik jendela. Menikmati musik jalanan dan
bernyanyi dari sebrang sana.
Terkadang
aku merasa Monumen Gubernur Suryo memiliki nasib yang beruntung. Tidak sedetikpun
dia memalingkan pandangan dari gedung Grahadi. Setiap saat dia bisa menemuimu. Mungkin
saat pagi hari, saat kau masuk mobil suamimu, orang nomor satu di Jawa timur. Mungkin
juga saat gedung Grahadi menggelar upacara atau acara-acara yang mengharuskan
dirimu keluar dari kungkungan gedung itu. Ah, andai saja aku monumen Gubernur
Suryo.
Sudah
cukup membicarakan nasib. Inilah bodohnya aku. Aku, lelaki yang hanya bisa
menepati janji untuk selalu menemuimu disini, namun terlambat mengikat janji
suci dengan wanita yang aku sayangi, yaitu Kau.
Kini,
gedung bercahaya kemuning itu seolah benteng yang menghalangimu untuk bertemu
denganku. ditemani daun-daun pohon kayu putih yang menunduk haru, tiap sabtu
aku melaksanakan teguhnya janji sebagai seorang lelaki. Sambil berharap kau
menemuiku meski hanya melambai dari sebrang sana.
Barang
kali Tuhan mengizinkan kita bertemu, Aku ingin mengucapkan selamat untukmu
karena mimpimu jadi nyata: Mempunyai rumah bertaman seperti gedung Grahadi. Bahkan
kau tak perlu membangun imitasi dari Grahadi, sebab Grahadi yang asli kini
menjadi tempat tinggalmu.
Aku
akan terus berusaha menemuimu tiap sabtu di taman Apsari. Tidak peduli masih
berlaku atau tidak janjiku padamu.
****
832 Kata. Mengambil setting Taman Apsari kota Surabaya. Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan #NarasiDaunDaun oleh @KampusFiksi
Comments
Post a Comment