Terlambat



Empat sisi dinding berwarna beige. Di salah satu sisinya, tergantung papan putih besar menampakkan sisa guratan tinta spidol. Sama seperti dirimu, selalu mengguratkan keindahan yang seolah memancar dari dalam dirimu. Tepat di atasnya, tiga serangkai yang selalu tampak gagah: Garuda Pancasila, Foto Bapak Presiden, dan Wakilnya, Laksana saksi ritual pemujaan rahasiaku padamu selama tiga tahun ini.
          Tiga puluh dua pasang meja dan kursi kayu tersusun rapih. Di antara deretan itu, hanya dua yang melaksanakan tugas. Kursi deret kedua baris terdepan. Aku dan dirimu duduk bersandingan. Hanya berdua, ditemani tumpukan buku kenangan yang tertata rapih di meja guru, Siap untuk dibagikan ke semua anak.
          Selama tiga tahun berseragam putih abu-abu, aku sudah melebur dengan sekolah ini. terkhusus semua tentang kelas ini.
          Aku hafal betul jumlah penghuni kelas ini. Hafal betul nama dan nomor absen masing-masing. Jadwal pelajaran yang tergantung di sisi dinding sebelah kanan pun rasanya tak perlu ada. Aku sudah hafal di luar kepala. Jadwal giliran piket satu minggu, nama-nama pahlawan yang fotonya terbingkai di kelas ini, jumlah spidol kelas yang harus tetap ada, semua aku hafal. Tak terkecuali tentang dirimu.
          Aku hafal setiap detail dirimu. Kinar dewi kinanti, nomor absen 27, selalu memakai tas ransel warna merah menyalah, sepatu kets warna hitam tanpa celah, rambut hitam lurus sepunggung yang selalu kau kuncir ala kadarnya, selalu duduk di dekat jendela, dan aroma parfummu. Parfum beraroma vanilla. Aku hafal betul. Hingga hari ini—hari yang mungkin menjadi hari terakhir kita dapat bersua, apa yang aku hafal darimu seolah hanya menjadi hafalan saja.
          Di dinding sebelah kiri, poster butir-butir pancasila seakan mengolokku. Aku merasa tidak ada beda dengannya. Apa yang sudah kuhafal, hanya menjadi hafalan. Tidak pernah memanfaatkan apa yang telah kuhafal. Tidak pernah untuk sekedar berbasa-basi menanyakan, “Pakai parfum vanilla?” atau “kenapa selalu duduk di dekat jendela?” sedikitpun aku tidak pernah. Tinggal gantung saja diriku di sebelah poster butir-butir pancasila, dan perhatikan, mungkin kami memang serupa.
          Sambil menunggu yang lain tiba, dirimu sibuk menghitung uang kas yang terkumpul. Kau adalah bendahara kelas. Sementara itu, aku hanya mampu menghitungi suara detik jam yang tergantung di dinding sisi belakang.
          “Uang kelas kita sisa 127.800.” suaramu memecah suasana yang sedari tadi beku. “harusnya bisa sampai 300.000 loh kalau anak-anak semua bayar kas.”
          “lumayan banyak juga. Mau kita apain tuh duit?”
          “Anak-anak sih usul buat makan-makan. Acara perpisahan kita gitu.”
          Terasa ada sesuatu yang menampar. Tamparan yang menyadarkanku bahwa betapa bodohnya aku yang hingga tiga tahun ini belum berbuat apa-apa. aku nyaman mengagumimu dalam diam. Aku nyaman menyimpan perasaan ini sendiri hingga kita berada di ujung perpisahan.
          “Oh… Ok aku sih setuju aja.” Aku agak tergagap. “Tapi apa cukup?”
          “Nah, itu masalahnya.”
          Kinar, itu masalah kecil. Masalah terbesar tentang acara perpisahan ini ada pada diriku. Diriku yang masih punya hutang untuk mengungkapkan perasaan yang selama tiga tahun ini bersemayam nyaman di dalam hati. Bukan. Bukan perasaan itu yang nyaman berada di dalam. Tapi akulah pecundang yang tak punya keberanian mengungkapkan perasaan itu.
          Dirimu beranjak dari kursi. Mengambil satu buku kenangan dan memintaku melihat foto-foto itu bersama. Lembar demi lembar kita anggap muka mereka lelucon. Hingga sampailah pada halaman yang memampangkan foto penghuni kelas kita. Mukamu tiba-tiba murung.
          “Pasti kita bakalan kangen ya sama anak-anak.” Kau menyelipkan rambut yang menjuntai di depan muka ke belakang telinga. Ah, andai saja jemariku kau izinkan untuk membenarkan posisi rambutmu itu.
          Kendati kau masih terlihat cantik saat murung, namun aku lebih suka melihat kecantikan senyummu. Aku berusaha mengganti topik obrolan. “Rencana mau lanjutin kemana Kinar?”
          “Rencananya sih mau ambil bahasa inggris. Syukur-syukur kalau bisa keterima di PTN.” Kau menutup buku kenangan. “Kalau kamu?”
          mata kita saling bertemu. “Eh… aku. Eh…” Secara magis, pertemuan mata mempertemukanku dengan rasa gugup. “Aku mau ambil jurusan komunikasi.”
          Aku nyengir sendiri. Mungkin komunikasi memang jurusan yang cocok untuk diriku yang tak pernah bisa berkomunikasi dengan baik. Terutama dengan dirimu yang kucinta. Siapa tahu, saat kuliah nanti ada mata kuliah ‘Mengungkapkan Perasaan yang Terpendam dengan Baik.’
          “Dimana?” tanyamu lagi.
        Mata kita bertemu lagi. “Eh… di anu… itu.” Gugup datang dua kali, gugup yang berlipat ganda. “Kalau bisa sih di PTN yang ada di kota ini. Ya semoga aja bisa keterima.”
          “Amin…” ucapmu sembari tersenyum.
          Aku berhasil mengembalikan senyummu.
         Usai senyum itu tampak, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kau membolak-balik buku kenangan. Aku mengusap-usap layar HP. Diriku tidak sepenuhnya khusyuk dengan HP. Hanya saja, menutupi kecanggunganku.
          Di ujung perpisahan ini, perasaan itu seolah mendesak untuk segera disampaikan. Aku takut terlambat. Buku kenangan yang ia bolak-balik, detak jarum jam. Dalam suasana serba hening ini, bahkan aku mampu mendengar derap jantungku sendiri.
          Mungkin inilah waktunya. Sudah cukup tiga tahun ini aku simpan sendiri. Biar saja apa jawabmu nanti, asal hutangku terbayarkan sebelum kita benar-benar terpisah. Aku tidak mau terlambat.
          Aku menghembuskan nafas. Inilah waktu dimana perasaan itu harus meluap, dirayakan, dan dibiarkan meluncur memenuhi ruang yang akan menjadi kenangan.
          Nafasku sekali lagi menghembus. Aku tatap mukanya lamat-lamat. “Kinar…. “
          “Hai Kinar…..” sebuah suara lain memanggilmu di ambang pintu. Sita, Rina, dan Caca. Sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
          Aku menunda niatku.
          “Hei selamat ya…” ujar Caca yang rambutnya bergelombang sepunggung. “semoga longlast sama dia. Semoga sampai pelaminan ya say?”
          Kinar tersipu malu dan langsung menutup buku kenangan.
          “Traktir dong…”
          “Iya. Ayo traktir kita. biar kalian berdua langgeng.”
          Kinar beranjak dari sisiku. Menuruti permintaan traktir dari sahabat-sahabatnya. Aku sempat diajak, namun aku menolak secara halus. Akan sangat menyedihkan jika aku ikut menikmati perayaan hubunganmu. Aku memilih sendirian dalam ruang kelas kosong ini. Sekosong harapan yang sudah lama aku pendam dengan sia-sia.
          Aku benar-benar sudah terlambat. Bahkan di ujung perpisahan ini, aku harus jauh denganmu sebelum kita benar-benar terpisah.
          Hening. Yang mampu kudengar hanya suara degup jantungku sendiri dan detak jam dinding yang tak ubahnya sebuah backsound ironi.
          Detik jarum jam yang terus berputar menunjukkan betapa tidak bergunanya diriku selama ini menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Terus menunggu padahal waktu tidak sudi menunggu diriku. Ia terus berputar tanpa kompromi. Semua kini sudah terlambat.
          Tiba-tiba saja aku merasa tiap sudut ruangan ini mengolok-olokku. Foto presiden dan wakil presiden kompak tersenyum menertawai ketololanku. Tumpukan buku kenangan mengingatkanku agar segala kisah tentang Kinar, cukup ditumpuk menjadi sebuah kenangan. Papan putih dengan bekas-bekas tinta spidol, seperti refleksi dari hatiku. Bekas-bekas senyumanmu, tawamu, bahkan sedihmu tetap melekat di sana. Sulit dihapus.

***
Dibuat untuk mengikuti tantangan #DeskripsiInterior oleh @kampusFiksi. 1040 Kata.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi