Satu Bulan di Tanah Baru
Kini,
sudah satu bulan aku bertumbuh dengan senyuman yang asing—lalu lambat laun senyuman
itu menjadi sedikit tidak asing.
Anehnya,
tanah baruku seperti tanah yang ajaib. Disini aku sadar, Aku bukanlah pohon
besar yang dapat meneduhkan orang di bawah naunganku. Tapi aku hanyalah tanaman
kacang. Ya, tanaman kacang yang punya batang selemas mie instant. Tinggal injak
saja batangku, maka tamatlah.
Kalian
ingat pepatah, Kacang lupa kulit?
Kalian
masih ingat dengan senyuman bak poster?
Jika
ingat, aku mau sedikit cerita.
Dulu
aku memang dijebol paksa. Anehnya, aku dijebol saat akarku telah mampu
menjangkau hati orang-orang di sekitarku. Di tanah yang baru, jujur saja aku
tumbuh dengan sedikit terhambat. Karena aku bukan tumbuhan yang putus asah, Aku
mencari cara agar tumbuhku lebih berkualitas.
Aku
tahu, ada penelitian yang mengungkapkan bahwa tanaman yang mendengar musik klasik
akan tumbuh lebih baik. Maka aku coba. Benar saja aku tumbuh. Tapi tumbuh
menjadi tanaman kacang!
Karena
tubuhku yang mungil, aku bisa dipindah ke mana-mana. Tangan-tangan yang dulu
menjebolku paksa, seenaknya menentengku kesana-kemari. Membawaku ke tanah lama,
lalu dikembalikan ke tanah baruku, hampir setiap waktu. Bahkan di tanah yang
lama, aku diizinkan menjatuhkan manfaat dari buahku.
Aku ini
tanaman kacang, tapi bukan kacang yang lupa kulit. Sebaliknya, tangan-tangan
penjebol itu bagai kulit kacang—yang dulu memaksa kacang lepas darinya. Lalu,
setelah sang kacang jauh dari kulit, sang kulit merengek minta kacang untuk
mendekat lagi, bahkan menempel kembali padanya.
Lantas
aku berpikir, jika aku masih diminta menjatuhkan buahku di tanah lama, lalu
untuk apa satu bulan yang lalu aku dijebol paksa dan ditanam di tanah yang
baru?
Sekali
lagi, untuk menjawab pertanyaan itu, aku harus kembali pada kodrat sebatang
pohon. aku hanya bisa diam dan pasrah meski hidup.
Tangan-tangan
penjebol itu, bagiku adalah tangan-tangan penghianat. Dulu menjebolku, sekarang
setelah aku mulai mengakar di tanah yang baru, mereka sering menentengku
kembali ke tanah lama. Jujur saja aku lelah. Aku tumbuh di tanah baru, tapi
buahku harus aku jatuhkan di tanah lama.
Mereka
ingin aku tumbuh di dua tempat. Atau mungkin, mereka menginginkan akarku
mencabang? Mengakar di tanah baru dan juga tanah lama. Ah entahlah. Aku merasa
dibohongi. Ini sungguh melelahkan bahkan mendekati kata memuakkan!
Senyum bak
posterpun hingga kini masih aku tampakkan. Sebab dinding hatiku semakin retak
karena ulah tangan-tangan itu.
Sungguh
aku lelah. Aku hanya bisa tumbuh di satu tanah. Bukan dua tanah. Jika terus
saja aku ditenteng ke tanah lama lalu dikembalikan ke tanah baru terus dan
terus, stop lakukan itu. Aku punya pilihan yang lebih menarik: injak saja aku,
agar aku tidak perlu berada di tanah lama atau tanah baru.
Catatan kecil di tanah
baru, 30 September 2014
Pilihkan aku tempat
bertumbuh yang pasti. Tanah lama atau tanah baru.
Comments
Post a Comment