Pertahankan, Katakan, Lepaskan
Aku
tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi aku sangat percaya,
cinta mampu datang pada tindakan
pertama.
Tiga
tahun lalu, di tengah lautan manusia yang tidak kukenal, Alex dengan atribut
OSPEK serupa yang aku kenakan, menghampiriku. Menyapaku
dan menanyakan kegelisahan yang terpampang jelas
di wajahku.
“Hai. Kenapa? Kok pucet?”
Aku
hanya menggelengkan kepala.
“Belum
sarapan?”
Sekali
lagi aku menggeleng.Gelengan bermakna ganda. Makna
pertama karena aku memang belum sarapan. Makna
kedua karena aku belum mau diajak bicara panjang lebar dengan orang asing.
“Sama.” Ucapmu disertai tawa kecil.
Jujur
saja, waktu itu aku ingin menjawab. Aku
pucet karena aku lupa bawa coklat—barang
yang
wajib dibawa saat OSPEK hari itu. Aku
takut ketahuan, lalu dihukum senior.
“Perhatian
semuanya!” Sebuah suara berat dari barisan depan, tiba-tiba terdengar. Dengan
bantuan megaphone digenggaman, suaranya mampu mengomando ratusan mata mahasiswa
baru sepertiku memandang serius padanya. Jangan
tanyakan keadaanku waktu itu. Aku
sangat cemas dan mulai berkeringat.
“Siapa
yang lupa bawa barang yang ada di list wajib bawa?” lanjut senior itu.
Ketakutanku
semakin tidak jelas arahnya. Di
bawah teriknya mentari, aku
tidak bisa lagi membedakan.
Keringat yang keluar dari sekujur tubuhku ini adalah keringat yang benar-benar
keringat, atau justru keringat dingin hasil kegelisahan. Yang pasti, suara
megaphone itulah pemicu keringat ini. Sampai
aku mendengar pertanyaan yang sama diulang, rahang mulutku mulai bergetar.
“Ayo
ngaku aja! Siapa yang
barang bawaannya gak komplit?”
Aku
semakin ketakutan. Aku
usap peluh yang membintik di dahi. Kiri – Kanan – belakang – depan. Tidak
satupun ada yang mengaku lupa bawa barang.
“Udah,
ngaku aja! Atau
kalau gak ngaku tapi ketahuan ada yang barangnya kurang, malah kita beri
sanksi.”
Apa,
hukuman?
Tidak. Tidak. Jangan
hukuman. Mungkin, lebih baik aku mengakuinya.
Dengan
ketakutan yang mencekam dan keberanian yang masih tersisa, aku berusaha
mengangkat tangan. Tapi
aneh, tanganku terasa berat. Lututku
bergetar dahsyat. Parahnya,
kepalaku ikut terasa berat. Lalu
aku tidak melihat apa-apa. Tidak
ingat apa-apa.
***
“Syukurlah
kamu udah sadar.” Kalimat
pertama yang aku dengar pertama kali saat aku sadar dan tahu-tahu sudah
berbaring di ranjang klinik kampus.
“Kenapa
kita berdua disini?” tanyaku penuh selidik.
“Tadi
kamu pingsan, dan aku membopong kamu ke sini.”
“Sendirian?”
“Ya. Sendiri.” Alex
berjalan mendekat. “Badan
kamu kan kecil, dan aku bongsor. Jadi
membopong kamu yang beratnya gak ada separuh dari berat badanku, itu pekerjaan
mudah.”
Aku
tersenyum. Aku hanya bisa
membayangkan bagaimana tubuh besar itu membopongku yang sedang terkulai lemas. Betapa beruntungnya diriku. Di tengah lautan orang asing yang
membuat aku paranoid, masih ada orang asing sebaik dia.
“Makasih
ya….” Ucapanku menggantung. Ingin
menyebut namanya yang belum aku ketahui.
“Alex.”
Serga dia dengan cepat disertai uluran tangan.
“Ya. Sekali lagi makasih Alex.” Aku sambut uluran tangan itu dan menjabatnya. “Aku Ayana. Salam
kenal.”
“Salam
kenal juga. Senang bisa
membantu.”
Tak
lama setelahnya, dia membawakanku segelas air agar aku merasa lebih baik lalu meninggalkanku sendiri. Sejak
saat itulah, aku merasa ada sesuatu yang harus aku jaga dari seorang Alex. Sesuatu yang membuat diriku nyaman,
merasa aman, hingga merasa tidak ada tekanan. Pria
asing ini sudah bukan orang asing lagi. Dalam
tindakan pertamanya, dia mampu menjelma menjadi sosok pria yang mampu
menjagaku, melindungiku, dan membuat hatiku jatuh.
Handphone
ku tiba-tiba membuat aku sadar dari lamunan. Sebuah
pesan darimu. Mengajak diriku menghabiskan malam duduk-duduk gak jelas sambil
nyemil di circle K. Menolak ajakanmu adalah hal mustahil. Maka, dengan cepat
aku membalas pesanmu dengan satu kata, OK.
Kamu,
pria bernama Alex dengan badan setinggi kusen pintu kelas, akibat tindakan pertamamu,
kamu membuatku yakin—kalau aku
jatuh cinta padamu karena tindakanmu.
Alex
Cinta.
Siapa yang mampu memaknai cinta secara harfiah kalau bukan sang maha cinta itu
sendiri?
Ada
yang bilang, cinta itu buta. Aku
percaya kalau cita memang buta.Mahluk tuhan bernama cinta yang ada di setiap
jiwa mahluk hidup, bagiku tidak hanya buta. Tapi juga arogan, anarkis, dan
tidak tahu norma. Apa lagi norma agama, dia sama sekali buta.
Aku,
seperti biasa. Berjalan di belakangmu. Menatap leluasa tubuhmu dari belakang.Inilah
satu-satunya caraku menggumi dirimu tanpa curi-curi. Sebab aku akan terlihat
bodoh jika mengagumimu dari depan. Menatap wajahmu dan mengaguminya begitu
sulit jika dari depan. Ada canggung yang tidak hanya aku rasakan. Tapi juga kau
rasakan. Bahkan mungkin orang di sekitar juga akan merasakan kalau aku
mengagumimu dari depan.
Cukup
bagiku mengagumi sisi belakang tubuhmu. Cukup bagiku memandang wajahmu dari
jauh. Kesempatan terlama memandang wajahmu, hanya ketika kau mengajakku bicara.
Tapi memang dasar ada canggung yang aku rasakan, mataku hanya mampu menatapmu
paling lama lima detik saja. Entah hantu apa yang bersembunyi di gurat wajahmu
hingga aku takut memandang dan mengaguminya lama-lama.
“Ntar
malem nongkrong yuk.” Ucapmu.
Dari
balik punggungmu, aku menjawab “Kemana?”
“Biasa.
Circle K.”
“OK.
Kebetulan aku juga gak ada janji malam ini.”
“Loe,
Ajak Ayana juga ya?”
Ayana,
kenapa harus ada Ayana? kukira kita hanya akan nongkrong berdua. Ngobrol berdua,
saling meluapkan tawa hingga malam semakin dingin – berdua.
Ah
sudahlah. Aku hanya pengagum rahasia. Pengagum yang hanya berani mengagumi dari
balik punggung. Semestinya aku tidak berharap terlalu besar. Lagi pula, ada
bersamamu dalam waktu yang lama patut disyukuri meski tidak berdua.
“Ok.
Nanti gue SMS Ayana.” Jawabku dengan berat hati.
Tiap
kali dia menyebutkan nama Ayana, ada sedikit rasa cemburu. Aku sudah tiga tahun
ini bersahabat dengan orang yang berjalan di depanku ini. Telingaku sudah
terbuka lebar untuk semua curahan hatinya. Hampir semua tentang Ayana. Ayana yang
dia cinta. Bukan Aku. Aku yang mengagumimu dari balik punggungmu.
Inilah
yang membuat aku yakin kalau cinta memang buta. Sudah tahu ada wanita yang
membuatmu jatuh hatipun, aku masih mau membuang waktu untuk mengagumimu
diam-diam. Aku sudah tahu kemana cintamu akan berlabuh. Tentunya tidak
padaku.Sebab aku hanyalah seorang korban dari cinta yang buta.
Kau
seorang pria, Aku seorang pria. Namamu Rendra, Namaku Alex. Cinta benar-benar
buta. Dia tidak bisa melihat gender kita yang tidak berbeda. Dia tidak punya
norma. Dia tidak tahu agama. Aku tahu cintaku salah. Tapi biarlah, mana mungkin
aku mengingkari anugrah yang indah ini?bukankah cinta itu anugrah? Lalu, adakah
anugrah yang salah?
“Woy,
bengong aja lo!” Kau berbalik badan. lalu menepuk pundakku.
Kau
tahu, tiga detik memandang senyummu dan merasakan tanganmu di pundakku, membuat
canggung kembali datang. Lalu dengan gobloknya, aku mengingkari perasaan
ini. Demi terlihat biasa di depanmu. Demi terlihat sewajarnya sebagai seorang
sahabat. Aku berjongkok. Berpura-pura membetulkan tali sepatuku hanya karena
ingin lepas dari sentuhan tanganmu dan sorot matamu.
Itulah
aku. Aku yang dibuat bodoh oleh cinta buta. Teruntuk dirimu yang aku kagumi lewat
belakang, Aku tahu kau dan aku tidak mungkin bersatu. Tapi ketahuilah, jika
menghabiskan waktu bersamamu adalah satu-satunya kebahagiaan yang mempu menebus
sakitnya memendam cinta yang salah.
Rendra
“Tipeku
sih, pokoknya tinggi, perhatian, bisa jaga aku, ngelindungin aku, dan buat aku
nyaman. Itu aja sih. Gak macem-macem.”Aku masih ingat ucapanmu malam itu. Obrolan
kita yang ngelantur akhirnya tanpa sengaja sampai pada pertanyaan: gimana tipe
cowok idamanmu?
Jujur
saja, setelah mendengar jawabanmu ada sedikit rasa percaya diri. Aku termasuk
orang yang tinggi. Aku ngerasa kalau kamu selama ini emang nyaman berada di
dekatku. Buktinya, kamu gak sungkan ngomong tipe cowok ke aku. Aku juga ada rasa
denganmu, bagaimana jika aku mengutarakan perasaanku ke kamu?
Kamu
tahu, duduk di barisan pertama saat kuliah adalah hal tabuh bagiku. Tapi
setelah mendapati seorang wanita bernama Ayana, yang dengan ramahnya selalu
tersenyum ketika berjumpa dengan siapa saja – yang dia kenal, dan selalu duduk di
barisan depan, barisan depan bukan hal tabuh lagi. Aku duduk depan bukan karena
aku tertarik dengan mata kuliah, tapi tertarik dengan mata berbulu mata lentik
milik Ayana. Aku selalu duduk di sampingnya pada barisan depan.
Malam
ini, asap rokok membumbung di sudut pelataran circle K. masih belum ada dirimu,
masih belum ada Alex. Aku sengaja datang lebih awal. Karena aku butuh waktu
sendiri merangkai kalimat untuk mengungkapkan rasa yang selama ini menyesaki
hati. Ditemani gulungan tembakau yang tersulut, aku harap mampu menciutkan rasa
takut.
“Hai,
udah lama?” sial. Belum selesai aku menyiapkan kata, Ayana yang akan aku suguhi
kalimat pengakuanku tiba-tiba datang. Membuyarkan otakku.
“Enggak. Barusan. Sekitar
sepuluh menit lalu.”
“Alex
belum datang?”
Seperti
biasa, kamu bagiku makhluk yang indah. Bahkan terlalu indah. Senyum itu. Senyum
yang melesung pipi, tidak sekalipun kelihatan basi meski sudah beberapa kali
aku pandangi. Mungkin dirimu adalah magnet, dan aku adalah besi yang tidak
berdaya tertarik medan magnetmu.
“Rendra?”
suaramu membuyarkan pengagumanku terhadapmu. “Alex belum datang?”
“Eh…
iya.” Aku salah tingkah. “dia belum datang. Mungkin sebentar lagi.”
“Itu
tuh yang buat kamu lemot. Suka bengong.” Kau menunjuk rokok yang aku
pegang. “Ayo matiin! Gak baik ngerokok di tempat umum.”
Dengan
senyum magisnya, tanganku terasa dibimbing untuk mematikan rokok ke asbak. Dia
tidak hanya mampu menghapus ketabuhan diriku duduk di barisan depan. Bahkan
mampu menghentikan kebiasaanku yang sulit dihentikan orang lain.
Aku
benar-benar jatuh hati denganmu Ayana. Sungguh aku ingin sekali segera
mengatakan semuanya. Persetan dengan kata yang belum siap terangkai. Persetan
dengan kehawitiran takut ditolak. Aku dan kamu hanya berdua. Sekaranglah
waktunya, aku mengatakan apa yang ada di hati.
“Ayana….”
Aku sebut lembut nama indahmu setelah ku teguk minuman kaleng bersoda. “Aku
ingin ngomong sesuatu ke kamu.”
“Apaan
tuh? Kok serius banget?” lalu tanganmu melambai. Seolah menyapa seseorang yang
ada di balik punggungku.
Aku
tidak peduli dengan siapapun yang tadi kau sapa. Aku hanya ingin mengantarkan
kegundahan ini pada satu kejelasan. “Sebenarnya aku cinta kamu. Kamu mau gak
jadi pacar aku?”
Ayana
Apa
ini? Apa maksud semua ini? Rendra selama ini menyimpan perasaan ke Aku?
Aku
hanya diam. Aku begitu bingung bagaimana menyampaikan jawabanku pada Rendra. Aku
dapat melihat, sorot keseriusan itu memang ada pada sorot matanya. Tapi sorot
mata lain datang membawa sejuta pesona. Dan hatiku, sudah terpaku hanya pada
satu pesona itu. Bukan Rendra dengan keseriusannya. Tapi Alex dengan sejuta
pesona yang tidak bisa melihat ketulusan hatiku mencintai dia sejak tiga tahun
lalu.
“Rendra,
Alex sudah datang tuh.” Aku mengalihkan perhatiannya.
Dua
pria itu saling menyapa. Lalu dengan usilnya, Alex memperagakan apa yang baru
saja Rendra lakukan kepadaku.
“Ayana,
aku cinta kamu.” Ucap Alex dengan raut konyol dan memandang ke hadapanku.
“Rese
lo!” kaleng kosong tahu-tahu melayang ke hadapan Alex.
Aku
tertawa. Alex tertawa. Andai perkataanmu barusan bukan candaan Alex, tanpa
menunggu lama aku akan menjawab: Aku juga cinta kamu.
Alex
Apa
yang selama ini aku hawatirkan akhirnya terjadi juga. Seseorang yang aku kagumi
menyatakan cinta. Semua ini jelas membuat hatiku porak poranda. Semua itu semakin
terasa, karena kamu yang aku cinta melakukan itu bahkan ketika aku mengagumimu
dari belakang seperti biasanya.
Aku
memang pengagum rahasia. Tidak selayaknya menuntut cinta dari apa yang aku
kagumi. Apa lagi cinta yang bangsat ini haram hukumnya di mata tuhan kita.
Untuk itu, melihatmu bahagia bersama orang yang kau cinta adalah puncak
kebahagiaan tertinggi pengagum rahasiamu.
Aku
sengaja memperagakan tindakanmu kepada Ayana dengan konyol. Sebab aku
marah. Sebab aku cemburu. Sebab amarahku harus aku luapkan dengan cara yang
biasa – agar semua terlihat biasa.
Aku
sungguh cinta kamu Rendra. Datanglah pada orang yang kamu
perjuangkan. Dapatkanlah hati Ayana. Aku yakin melepasmu adalah jalan cintaku.
Sebab cinta salah yang aku miliki akan bermuara pada lautan pasrah. Kerelaan
untuk melepas.
“Ayo
dong Ayana. Jawab! diterima gak Rendra?”
Biarlah. Semua
hanya agar terlihat biasa.
Rendra
Aku
sudah mengatakan. Tapi entah apa yang kau pikirkan. Ceria wajahmu tiba-tiba
beringsut. Mukamu kusut seperti memikirkan sesuatu. Apakah pernyataanku ini yang
menyebabkan itu? Apa memang keputusanmu sesulit itu?
Percayalah
sayang, ini tidak akan sesulit itu jika kau membalas cintaku.
Jangan
hiraukan kedatangan Alex. Anggap saja Alex bayangan tiang lampu yang
memperhatikan kita dalam diamnya. Aku hanya ingin mendengar kata Iya dari
mulutmu.
Ayana
Aku
hanya bisa memandangi Alex dari tempat dudukku. Sementara di depan sana, Rendra
memandangiku penuh harap. Aku bingung harus berkata apa. Aku butuh Alex yang
selalu melindungiku. Alex, lindungilah aku dan bantulah aku mengatakan pada
Rendra bahwa hatiku sudah ada pemiliknya.Yaitu kamu.
Aku
memandangmu lagi.
Kau
menatap mataku “Ayo jawab Ayana!”
Kenapa? Kenapa
kau malah memaksaku untuk segera menjawab? Tidakkah kau tahu, jawabanku akan
mengoyak hati sahabatmu.
Tiga
tahun ini, kenapa kau juga seperti orang buta. Kamu tidak sekalipun melihat aku
yang selalu berdiri untuk kamu. Tidakkah sama sekali kau tangkap pesan-pesan
hatiku? Atau kau memang sengaja menepisku jauh-jauh?
Aku
menunduk. Aku tidak ingin ada hati yang terluka. Tapi aku juga tidak mau
berdusta.
Aku
ingin menolak cinta Rendra. Aku hanya ingin cintaku berlabuh ke hati Alex.
Alex
Aku
dapat merasakan debar jantung pria yang aku kagumi. Dalam senyumnya terpancar
kegelisahan yang juga aku rasakan.
Ayana,
sosok wanita yang sudah tiga tahun ini memenuhi kepala Rendra. Saking penuhnya
hingga aku rela menyediakan telingaku untuk menadahi luapannya.
Inilah
waktunya cinta yang salah menuju puncak akhir. Sudah cukup aku mengagumimu dari
jauh. Sudah saatnya yang salah harus benar-benar salah dan mana mungkin bisa
bersama.
Aku
raih tangan Ayana. Menatapnya penuh keyakinan. Aku mengangguk padanya. Mengisyaratkan
bahwa aku sudah siap melepaskan sosok yang hanya bisa aku kagumi dari balik
punggungnya.
“Rendra….”
Ayana membuang nafas. “Terimakasih.Tapi, maaf aku gak bisa.”
Aku
tercengang. Ternyata fortuna masih berpihak kepadaku.
Tapi
tidak sepatutnya ini dirayakan. Tetap saja cintaku salah. Tetap saja aku
pengagum rahasia yang cepat atau lambat, akan melihat dirimu tergila-gila pada
Ayana-Ayana yang lain. Cukup bagiku mencintaimu dalam diam. Aku akan terus
mengagumimu dari balik punggungmu selagi masih ada waktu bagiku. sebelum
cintamu berlabu pada kekasihmu lalu aku harus pergi dan mengakui jika cinta
yang kumiliki tidak akan bisa diungkapkan.
Rendra
“Ya.
Ok. Paling tidak aku sudah bisa mengungkapkan perasaanku.”
Tak
perlu kau meminta maaf. Tidak ada yang bisa memaksa hati sayang. Begitupun juga
diriku yang cinta gila-gilaan denganmu.
Aku
tidak menyangka jika kau menolak cintaku. Memang ada kecewa. Memang ada luka.
Tapi aku yakin, sang waktu akan menyembuhkannya. Aku tidak mengapa. Aku akan
baik-baik saja. Terimakasih untuk semua.
Comments
Post a Comment