Segelas Susu


Pikiranku mulai sadar, namun mata belum rela membuka. Badanpun, tidak berdaya melepas hangat selimut. Aku setengah tidur setengah terjaga.

Pagi ini aku rasa ada yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, aku merasakan hawa sejuk menembus kamar. Bukan dari AC di ruangan, tapi angin pagi dari jendela yang terbuka. Aku tahu sebab aku sempat melihat lambaian gorden di tengah sadar dan tidurku.

Mungkin semalam aku lupa menutup jendela, pikirku. Aku kembali memeluk guling lebih erat.

06.30. Angka yang terpampang di jam digitalku membuat aku sadar sepenuhnya. Ritual rutinku tiap pagi, duduk di tepi ranjang dengan mata terpejam, lalu meraba HP di atas meja samping ranjang.
Tidak ada notifikasi berarti. Hanya broadcast message penawaran pil peninggi badan. Aku meletakkan kembali HPku. Shocking in the morning : Segelas susu tahu-tahu sudah tersaji di atas meja.


Pagi ini benar-benar aneh. Pertama jendela itu. Kedua, segelas susu ini. Aku tinggal di rumah ini berdua. Hanya aku dan putriku. Tidak mungkin dia yang membuatnya. Sebab dia ada di rumah eyangnya semasa liburan ini. Lalu, Siapa orang yang membuat susu ini? Istriku, mustahil. Dia bidan, dan bertugas di perbatasan negeri.

Aku meneguknya sedikit. Segelas susu di pagi hari, tidak cuma bikin kenyang, tapi juga sakit kepala - penasaran dengan siapa yang membuat.

"Selamat pagi sayang!" Sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba terdengar dari muka pintu. Itu suaramu: Istriku.

"Bunda..." Aku terkejut. Rasanya apa yang mustahil sekarang bisa jadi nyata. Apa yang ada di ujung negeri sana bisa hadir dalam sekali pejaman mata. Aku melihat istriku di depan pintu dengan wajah berseri ceria. Menyaingi cerianya mentari pagi. "Jadi kamu yang bikin segelas susu ini?" Tanyaku memastikan.

Kamu diam tak menjawab. Dirimu hanya menampakkan senyum hangat. Sehangat segelas susu yang aku teguk sedikit.

"Kenapa nggak hubungin aku kalau mau pulang?" Aku bangkit dari tepi ranjang.

"Biar surprise."

"Kapan kamu sampai sini?"

"Tadi subuh. Jam empat pagi."

"Kenapa gak bangunin aku?"

Ada senyum jail sebelum bibirmu sempat terbuka. "Aku gak tega. Kayaknya kamu tidurnya pules banget. Pasti semalem habis begadang nonton bola ya?"

Inilah salah satu yang aku suka darimu. Selalu membuat kejutan-kejutan kecil. Kedatanganmu yang mengejutkan, segelas susu yang mengejutkan, sampai tebakan tepatmu yang sungguh sangat mengejutkan.

"Cepet cuci muka." Ucapmu seraya mengusap lembut pipiku. "Terus habisin susu spesial bikinanku."
Aku menggeleng. "Tapi siapa yang jemput bunda dari bandara? Bunda naik taksi malam-malam sendirian?"

"Sudah pagi kok. Jam tiga pagi." Lagi-lagi kau hanya tersenyum nakal.
Jawablah dengan serius. Ku mohon. Kamu tidak tahu bagaimana hawatirnya aku. Aku tidak bisa membayangkan seorang perempuan naik taksi sendirian di tengah pagi buta bersama sopir taksi yang sama sekali tidak dikenal.

Kamu seolah bisa membaca pikiranku. "Udah telat untuk hawatir. Yang pasti aku baik-baik aja kan?"
Aku mulai tidak tahan dengan sikap ala-ala misterius buatanmu. Sudah cukup aku bertanya soal kepulanganmu. Sudah cukup kamu menjawab dengan nada bercanda. Bagiku, yang penting sekarang kamu ada di sisiku dengan baik-baik saja.

Jarak kita tidak ada satu depa. Sekaranglah saatnya meleburkan satu rasa yang sejak lama bersemayam di hati. Rindu diantara kita menggerakan tubuh kita untuk saling memeluk, mendekap, dan berbisik: aku rindu kamu. Aku sayang kamu.

Pelukan kita terlepas, meski rindu di hati belum sepenuhnya lepas.

"Terima kasih buat segelas susunya." Ucapku.

"Sudah menjadi kewajibanku sebagai istri untuk menyiapkan segelas susu untukmu setiap pagi."

Aku menenggak segelas susu buatanmu sampai habis. Kamu melihatku meneguknya dengan senyum yang tak kunjung usai. Sepertinya tidak hanya aku yang rindu menenggak susu hangat di pagi hari. Ternyata kamu juga rindu menyiapkan segelas susu untuk suamimu di pagi hari.

Memang bahagia bisa menikmati pagi selayaknya seorang suami pada umumnya. Mulai pagi ini sampai tiba waktumu untuk bertugas kembali ke ujung negeri, kamu berjanji akan selalu menyuguhkan segelas susu setiap pagi bersama sepotong roti bertabur senyuman manis. Jelas aku sangat bahagia. Tapi aku lebih bahagia melihat dirimu mengantarkan sepasang suami istri diujung sana menimang buah hati. Bukan tak mau kau ada di sisi. Tapi pikiran kita sama, membantu dan berbagi adalah puncak kebahagiaan sejati.

"Ayah." Ucapmu lembut. "Anak kita lagi liburan di rumah eyang ya?"

"Iya."

"Aku kangen banget sama dia. Anterin aku kesana sekarang ya?"

"Ok." Aku langsung menyambar kunci mobil di samping gelas kosong bekas susu.

"Eits..." kamu menarik lengan bajuku. "Kamu cuci muka dulu, gosok gigi dulu, mandi dulu, baru kita berangkat."

Nah. Itulah kesaktianmu. Bahkan senyum manismu, segelas susu bikinanmu, dan rindu yang sedari tadi bergemuruh, membuat aku lupa. Kalau jigong dan belek masih ada. Aku belum gosok gigi. Apalagi cuci muka.

***
Dibawah 1000 kata. 700an kata. Cerpen ini diikutkan dalam kompetisi #FiksiBangunTidur oleh @KampusFiksi :)

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi