Aku Takut Gelap

Satu hal yang paling aku takuti di dunia ini. Aku takut gelap. Sepanjang hari semenjak aku berpindah ke rak toko, tidurku tak pernah nyenyak. Aku takut ada yang membawaku pergi ke tempat gelap. Sungguh, di dalam kotak tempatku dikemas ini, cuma aku yang memiliki perasaan paling cemas. Sebab aku ada di tumpukan paling atas. Peluangku untuk ditukar uang dan berpindah ke tempat lain, sangatlah besar.
Pernah aku merengek pada saudara seproduksiku. "Kenapa kita harus berumur pendek? Kenapa kita harus mengorbankan diri untuk menerangi gelap?"
Saudaraku hanya menjawab, "Sebab itu memang tugas kita. Menerangi kegelapan dengan cahaya kecil kita. Untuk itulah alasan kita dibuat."

Aku sudah paham betul tentang takdirku itu. Tapi aku masih sangat takut. Tidak dapat aku bayangkan, bagaimana rasanya tubuhku meleleh. Sumbuku tersulut api panas, aku bercahaya namun lambat laun aku meleleh musnah.
"Tenangkanlah dirimu saudaraku. Percayalah, hidup kita yang singkat tidak akan sia-sia. Kita akan mati sebagai benda yang berguna. Percayalah!"
Aku memang percaya. Namun tetap saja, aku takut gelap. Dan ketakutanku menjadi nyata. Aku sudah berpindah tangan. Aku berada di sebuah ruang gelap.
"Eti, waktunya belajar. Ayo nyalahin lilinnya!" Tubuhku dijinjing seseorang setelah suara itu terdengar.
Mungkin inilah saatnya aku musnah. Jantungku berdegup kencang. Sumbuku yang menjuntai ingin aku sembunyikan. Namun apa daya, aku tidak ditakdirkan untuk dapat bergerak. Aku hanya pasrah.
Aku dapat melihat sedikit cahaya. Cahaya api. Sumbuku semakin dekat dengan api itu. Semakin dekat. Semakin dekat. Aku merasakan panasnya sudah menjalar ke seluruh tubuh.
Aku memejam, aku menjerit. Setelah rasa panas hebat diujung krpalaku, Tau-tau sekarang kakiku sudah menancap di lantai. Lelehan tubuhku, menopangku untuk bisa tetap berdiri.
Sakit. Sungguh sangat sakit. Aku menjerit, aku meronta. Rasa panas yang luar biasa ini menelan senti demi senti tubuhku. Tidak aku sangka, mengapa tugasku seberat ini. Hanya untuk mengusir gulita, tubuhku dimusnahkan.
Sakit ini masih sanggup aku tahan. Gelap berhasil aku usir dengan api kecil yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh putihku. Dan aku, hanya mampu melinangkan lelehan tubuhhku ke telapak kaki.
Dengan cahayaku yang menyakitkan ini, aku dapat melihat gadis di depanku sedang belajar. Dengan penerangan kecil, huruf demi huruf, kata demi kata ia baca dengan lantang. Sesekali ibunya mengingatkan jika gadis kecil ini salah mengeja huruf.
"Untung ada lilin ya bu?" Tiba-tiba gadis itu berkata.
"Iya Ety. Coba kalau tidak ada lilin, mana bisa kamu belajar saat mati lampu seperti ini?"
"Pasti gak bisa bu. Gelap dong?"
"Nah. Makanya itu. Kamu harus bersyukur, kamu masih bisa belajar saat mati lampu berkat ada lilin ini."
Tubuhku semakin memendek. Aku mati-matian menjaga nyalah apiku yang meliuk-liuk digelitik angin. Sejujurnya, ada rasa ingin memadamkan diri dengan adanya angin itu. Namun, ketulusanku untuk menerangi ruangan ini lebih kuat. Aku ingin melihat gadis itu menuntaskan belajarnya. Rasa sakit dan panas yang aku derita tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan belajar malam ini karena terkurung gelap.
"Bersyukur itu apa?" Dengan lugunya gadis itu bertanya.

Aku memendek lagi. "Bersyukur itu, berterima kasih pada tuhan." Ucap ibunya.
"Oh.. iya. Terima kasih ya allah..." ucapnya. Gemas sekali aku melihatnya. "Tapi bu. Kan Eti bisa belajar gara-gara lilin ini." Dia menunjukku. "Berarti aku juga harus berterima kasih sama lilin?"
Ibu dia mengangguk dan tersenyum.
Lalu dalam redup cahaya kesakitanku, aku melihat wajah gafis itu dengan matanya yang bulat menatapku lekat-lekat. "Terima kasih lilin."
Sama-sama. Aku menjawab. Tentunya tidak terdengar olehnya. Saudaraku memang benar. Aku sadar betapa bergunanya umur kita yang singkat. Aku sudah melaksanakan tugas. Dan ucapan terima kasih itu bagaikan obat yang mampu menghapus luka yang kuderita.
Tubuhku semakin meleleh, mendekati musnah. Sumbuku hanya ada sedikit sisa. Nyalah apiku yang panas, mulai mengecil seiring dengan tubuhku yang meleleh. Sakit ini, pengorbanan ini, tidak seberapa. Aku bahagia menjadi benda yang berguna sebelum aku musnah.


Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi