Layang-layang




Aku adalah layang-layang, dan kau adalah bocah pemilikku.
Jemari lembutmu kian lincah memasangkan benang ke tubuhku.
Aku selalu bahagia dengan caramu memanjakanku.
Kadang aku berada tak berjarak denganmu. Menempel di hangatnya punggungmu.
Namun, kadang aku jauh terpisah mengangkasa.
Dari jauh aku dapat melihat senyummu. Rupanya kau lebih bahagia jika aku terbang menjauh.
Tidak sama sekali aku gelisah. sebab ada benda yang menghubungkan kita, benang cinta.



Aku rasa, tidak hanya angin yang membuatku melayang.Tapi juga cintamu.
Bagaimana tidak, hampir setiap hari aku menemanimu dari siang hingga malam menjelang.
Jika beribu jiwa di sana enggan dimainkan, itu tidak berlaku bagi jiwaku.
Aku sungguh nyaman dengan caramu memainkanku.
Dan memang itulah satu-satunya cara agar kau tetap menyambut cintaku.
Satu-satunya cara agar aku dapat tetap bercumbu denganmu.
Di bentangan cakrawala cinta kita, aku hanya mengabdikan seluruh yang kupunya padamu.
Kau bebas menarikku, mendekatimu, bahkan menyentuh dan mendekapmu.
Kau juga bebas mengulurku, menjauhimu, bahkan rela jika aku dimainkan kawanmu.
Pasrah…. Hanya pasrah tanpa bersuara, bagai tak berjiwa.
Karena aku hanya dapat mencintaimu dalam pasrah.Dan bagiku itu tak mengapa.

Hingga di suatu senja, layang-layang cantik lain datang.
Aku tak tahu apa nama permainan ini. Tarik – ulur – tarik – ulur. Meliuk melawan arah angin.
Benang cinta kita, bergesekan dengan benang cinta pasangan lain.
Aku sangat takut. Takut cinta ini terputus karena gesekan tak berujung.
Namun sayang, kau tiada menampakkan raut takut. Malah senyum yang ada di wajahmu.
Kau dibawah sana bersorak riang. Aku diatas sini gelisah menanti kau turunkan.
Kau paksa aku meliuk-liukan tubuh. Membentuk lilitan rumit antara cinta kita dan cinta mereka.

Aku hanya layang-layang. Cintaku pasrah tanpa ada hak untuk menentang
Sepasrah tubuhku yang terbawa angin, goresan luka pada benang cinta pun pasrah aku rasakan.
Layang-layang lain yang beradu dengan cinta kita, juga merasakan kegelisahan yang sama.
Dalam harap, dia berjuang mempertahankan cintanya, meliuk mengikuti kuasa kekasihnya.
Begitupun diriku. Dari ketinggian ini, Aku menatapmu resah.
Aku takut jika ini percumbuan terakhir kita. Aku takut kepasrahan cintaku putus dan terbawa angin.
Aku takut. Aku meliuk. Aku menikmati segala permainanmu selagi dapat aku rasakan.
Aku sungguh takut. Namun lagi-lagi aku harus pasrah tak berdaya, juga percaya sepenuhnya padamu.
Percaya sepenuhnya, jika kau memang mampu mempertahankan cinta kita.

Entah bagaimana awalnya aku bisa berada di sini.
Jika biasanya aku melihat senyummu saat melihat kebawah, kini senyum itu tidak ada.
Yang aku dapati hanya rerumputan, bebatuan, dan tanah yang dirambati semut.
Aku tidak lagi bertengger di punggungmu. Hanya sebuah ranting yang menopang tubuh ringanku.
Ketakutanku tak lagi maya.Cinta kita kandas tergores ikatan benang cinta yang lain.
Ada sedikit sisa cinta kita terlilit di tubuhku. menjuntai pasrah ditiup angin.
Sisa cinta yang terputus, satu-satunya caraku mengenang permainanmu – caramu mencintaiku kala itu.
Aku harap, suatu saat kau memungut diriku lagi agar aku bisa kembali bercumbu denganmu.
Dan semoga, gulungan benang sisa milikmu, tak akan pernah menjalin cinta layang-layang lain.

 ***
Terinspirasi dari keyakinan Animisme, keyakinan yang meyakini bahwa setiap benda memiliki jiwa. Mungkin akan seperti ini perasaan sebuah layang-layang yang terlanjur cinta dengan pemiliknya.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi