Apa Aku Manusia?



“Sampai kapan kamu mau jadi robot kayak gini?” Pertanyaanmu di ujung telepon barusan membuat hatiku rasanya disumpal duri.Setelah tiga detik tanpa suara, akhirnya aku memilih tetap diam tak menjawab tanyamu.sementara kau juga memilih mendiamkan dengan menutup telepon.
            Sudah delapan minggu ini, Aku hidup dalam kepungan kertas, Kurungan deadline, dan jeruji revisi yang kian datang berbondong-bondong. Bukan karena suka menunda, tapi memang mereka datang bergerombol sebelum aku berhasil menyelesaikan gerombolan kertas lain yang datang sebelumnya. Bisa saja sebenarnya aku merobek mereka semua hanya dengan sepasang jari telunjuk dan jempol.Bisa saja aku menukar kertas-kertas sialan ini dengan selembar uang. Bisa saja aku bakar dengan setitik api. Tapi ternyata aku tidak sanggup meski nyatanya mudah.

            ‘Aku habis ini pulang’ secuil pesan singkat aku kirimkan untukmu.
            Kertas terakhir sudah terselip rapi di map.Sejenak aku melemaskan otot, memejam, dan membuang nafas – berharap rasa jengkel dan lelah ikut terbuang bersamanya. Aturan delapan atau Sembilan jam kerja tidak berlaku bagiku. Sekarang pukul sepuluh malam, dan aku baru akan mengarahkan kursor ke menu shut down.
            Aku hampir lupa dengan konsep kerja.Rasanya, Aku sudah menyelam pada laut yang salah.Lautan ini menenggelamkan diriku hingga ke dasar.Membawa semua yang aku punya mengendap hingga sulit untuk kembali ke permukaan lalu pulang.Aku terlanjur basah masuk ke laut yang menuntut penyelamnya menyerahkan semua yang dimiliki.Badan, tenaga, pikiran, bahkan waktu.Waktu yang seharusnya aku habiskan dengan orang terkasih, lenyap tanpa ampun juga dirampasnya.
            Aku lelah.Sungguh aku lelah.Kau benar, delapan minggu ini aku sudah menjadi mesin tak bernyawa. Bukan kepuasan hati yang menjadi motor pembangkit, tapi perintah demi perintah yang harus aku kerjakan atas nama tanggung jawab. Lalu, apa kabar tanggung jawabku sebagai teman hidupmu?
            Momen bertemu denganmu hanya aku dapatkan ketika pulang ke rumah, mandi air hangat, kemudian berbaring di sampingmu.Memandangi mukamu yang sudah jauh terlelap.Ada rasa sesal, ketika mengamati raut mukamu yang entah kenapa terlihat seperti ingin meluapkan sesuatu.Bisa aku bayangkan bagaimana rasanya beristri namun tetap tidur seperti bujangan lapuk.Sebelum aku terlelap, Kecupan manis di dahimu selalu tak pernah absen. Tak peduli kau mampu merasakan atau tidak dalam lelapmu, ritual kecil itu adalah bentuk pengabdianku.
            Aku beruntung memiliki lelaki sepertimu.Lelaki yang tak pernah sedikitpun menuntutku.walau sebenarnya aku sangat pantas untuk dituntut karena kesibukanku. Kita baru merasa jadi sepasang suami istri ketika akhir pekan tiba. Aku tahu, jauh di dalam sana, kau mendambakan wanita yang selalu memelukmu manja saat kau terjaga menjelang tidur. Kau mendamba satu potong roti dan segelas susu lengkap dengan ucapan selamat pagi. Sampai detik ini, aku tidak bisa melakukan itu.
            Kau memang terlihat tak mempermasalahkan.Tapi aku tahu dirimu, aku tahu kau lelaki dengan kekuatan sabar berlipat ganda.Kata pinta maupun amarah, tetap kau simpan sendiri saja.Tinggal menunggu waktu kapan pertahanan sabarmu jebol, Aku selalu siap untuk kau salahkan.Memang aku robot yang bekerja tanpa kenal waktu.
            “Selamat tidur sayang.” Dan kecupan kecil mendarat mesra di dahimu.
***
            Mungkin aku memang sebuah robot.Aku sengaja diprogram bangun setiap pukul tujuh pagi.Alarm yang selalu aku pasang agar berdering pukul enam, serasa tidak berfungsi karena aku memang sudah diprogram bangun pukul tujuh.Setiap hari selalu seperti ini.Aku baru memulai hariku yang bangsat saat pukul tujuh, sementara dirimu sudah sibuk dengan tugas muliamu di sekolah dengan bekal - yang sayangnya bukan buatan istrimu. Istrimu tidak diprogram untuk menyiapkan segelas susu dan sepotong roti di pagi hari.maaf sayang.
            Baru lima menit chek clock, setumpuk map warna-warni mendarat di mejaku. “Hari ini harus selesai ya nar?” ucap Rini, teman satu kantorku.
            Aku hanya tersenyum dan mengangkat alis.
            Kopi hangat sempat mengalir di mulutku sebelum aku menyentuh pekerjaan.Karena bosan menunggu waktu boothing komputerku yang kampret, aku putuskan untuk sejenak menjadi manusia sebelum terpaksa menjadi robot.Aku berkomunikasi dengan rekan kerjaku.
            “Aku rasa, sudah cukup aku kerja disini.”Ucapku seraya membanting tubuh ke sandaran kursi.
            “Pagi-pagi jangan ngelantur gitu ah. Gak baik.” Sahut Rini.
            Aku meneguk kopi, “Aku serius Rin.”
            Rini menatapku dengan pandangan yang aneh. Lalu kembali menatap monitor sembari berkata, “Gak percaya. Bukannya lo dulu bener-bener pengen kerja disini?Sekarang setelah lo dapetin, lo mau lepas gitu aja?”
            “Gue Cuma gak pengen nyesel. Sudah cukup selama ini gue tiap hari ngabisin tiga belas jam cuma buat duduk di depan komputer, ngerjain sesuatu yang entah ada untungnya atau tidak buat gue.Udah cukup semua itu Rin.”
            Rini menarik kursinya mendekat padaku. “Tiga belas jam lo itu dibayar. Bisa buat nambah koleksi hand bag lo.”
            “Memang.Lalu dengan itu, apa kita bisa membeli waktu?”
            Rini geleng-geleng kepala. Seolah tak percaya kaum hedon sepertiku tidak antusias mendengar kata hand bag.
            “ Uang bisa dicari Rin. Tapi uang gak akan bisa buat bayar ganti rugi terhadap waktu yang sudah kita beri sepenuhnya buat perusahaan ini. Kita juga butuh waktu untuk benar-benar hidup.”
            “Emang selama ini kita gak hidup gitu?”
            “Memang hidup. Tapi hidup sebagai mayat hidup. Bukan manusia hidup!”
            Sekali lagi, Rini menatapku aneh.
            Sadar atau tidak, dia juga satu dari sekian banyak manusia yang hidup seperti mayat hidup.Bangun tidur – kerja – tidur lagi – kerja lagi – tidur lagi. Sama dengan: Bangkit hidup lagi – mencari mangsa – Mati – hidup lagi – cari mangsa lagi – mati lagi. Aku, Rini dan Mayat hidup tidak ada bedanya.
            Komputerku sudah selesai boothing.Aku membuka satu map. Pekerjaan yang sama ternyata. Ada rasa ingin melempar, tapi hasilnya sama, aku tidak sanggup. Dan teruntuk diriku, selamat menyelam dalam lautan yang enggan mempersilahkan penyelamnya kembali ke permukaan. Selamat berbasah ria dan jangan merindu untuk pulang.
            Sekarang sudah Pukul empat sore.Kau pasti sudah rebahan di rumah mungil kita.Namun sungguh maafkanlah aku, tiada senyum ramah dan teh hangat kala sore tiba.Tidak ada aroma harum masakan untuk makan malam kita.Sungguh aku meminta maaf atas ketidak sempurnaan rumah tangga kita. Disini, aku masih setia menunggu telepon yang selalu berdering tepat pukul empat lewat lima belas.
            Tapi tidak untuk hari ini. Pukul empat lebih lima belas sudah lewat dan tidak ada suara HP berdering. Bukan karena kau tak menelpon, tapi sialnya ternyata HP milikku mati.Dan bagusnya, aku lupa membawa charger.Pinjam pun tidak ada yang cocok dengan HPku.Aku satu-satunya pengguna I-phone di ruangan ini.
            Sayang, sekali lagi aku hanya mampu meminta maaf.Untuk sekedar bercakap lewat telepon saja aku tidak bisa hanya karena ketololanku. Sekali lagi, maaf tuan super sabar.
            Tiga belas jam menyelam dalam pekerjaan sudah aku lampaui. Inilah saatnya diriku kembali ke rumah.Rumah yang selalu membuat diriku nyaman sekaligus canggung karena tidak sanggup menjadi perawat rumah yang baik.Apalagi istri yang baik.
             Hari ini, tepat delapan minggu lima hari aku pulang malam. Atau lebih tepatnya pulang terlampau malam.Seluruh ruangan tidak bercahaya.Aku bersiap melakukan ritual kecilku sebelum aku masuk ke satu-satunya ruangan yang lampunya menyalah, kamar kita.kali iniAku berharap, setelah aku mengecupmu, kau terjaga dari lelapmu. Aku ingin bicara empat mata denganmu.Aku ingin kau meyakinkanku bahwa diriku sudah cukup menjalani hidup seperti mayat hidup.
            Satu langkah lagi, aku tiba di kamar kita.Aku buka pintu perlahan.Aku tidak mau membangunkanmu dengan derit pintu.Aku hanya ingin kau terbangun dengan sebuah kecupan kecil dari bibirku.Tapi, kau tidak ada di sini.Syukurlah, kau belum tidur ternyata.Aku berpindah ke tempat yang mungkin saja kau datangi.Dapur, kamar tengah, garasi, loteng, gudang, semua nihil.Aku mulai hawatir.Tinggal satu harapanku, toilet.Aku buka pintu lembab berjamur itu.aku tidak menemukan batang hidungmu. Panik seketika mendominasi ruang pikirku.Kehawatiranku seolah mencapai klimaksnya ketika aku temukan secarik kertas menempel diantara pintu kulkas dan magnet berbentuk apel.‘Aku di rumah sakit.’
***
            “Kamu sudah keterlaluan Kinar.”Aku hanya bisa menunduk menghadapi Ibu mertuaku.“Kamu ini istrinya.Harusnya kamu orang yang pertama tahu kalau TBC dia kambuh.Tapi nyatanya?”
            Dengan beribu sesal, aku hanya dapat berkata, “Maaf bu….”
            Inilah yang aku khawatirkan dengan sang waktu. Waktu tak kenal kompromi. Dia akan tetap bergulir meninggalkan orang-orang yang tidak memihak padanya. Inilah yang membuat aku takut mengabdikan diri tiga belas jam menjadi robot. Waktu tidak mau menungguku hadir disaat orang yang aku cinta sangat membutuhkan uluran tanganku. Atas nama apapun, aku sungguh menyesal tidak memihak kepada sang waktu. Kini, aku hanya bisa melihat dirimu terbaring lemas di ranjang dengan selang infus.
            “Kamu itu seorang istri Kinar.Gak seharusnya kamu kerja keras sampai pulang larut malam seperti ini.” beliau melangkah mendekati dirimu, lalu mengusap lembut tanganmu.“Cukup Aris yang mencari nafkah.Lalu kamu yang mengolah uangnya, membelanjakannya, dan menyambutnya saat pulang kerja.”
            Iya bu, iya.Aku sungguh ingn berhenti menjadi robot.Aku tidak ingin selamanya menyesal karena terlalu lama hidup tapi mati seperti mati.Ucapku dalam hati.
            Tiba-tiba matamu terbuka.Sontak aku menghampirimu dan berkata, “Maaf.”
            Kau mengangguk.
            Ibu meninggalkan kita.Dapat aku tahu dari sikapnya, Ibu hanya tidak ingin memperlihatkan amarah di depan dirimu yang sedang terkulai lemas.
            Ini adalah pertama kalinya mata kita saling bertemu sejak delapan minggu lima hari yang lalu. Namun sayang, kita menemukan momen ini ketika dirimu lemas dan aku dalam penyesalan yang begitu keras.Aku mengurungkan niatku untuk membicarakan niatku untuk berhenti kerja.Aku hanya ingin kau istirahat saja.
            “Kemana saja tadi?” tanyamu dengan tetap berusaha tersenyum.
            “Di kantor.” Tiba-tiba sesuatu mengalir di pipi.Ternyata seorang robot sepertiku bisa menangis juga.“Maaf HPku tadi mati, dan aku lupa bawa charger.”
            Kau masih tetap tersenyum.Lalu memerjamkan mata sejenak, tanpa berkata dan hanya menatap langit-langit ruangan.Untuk kesekian kalinya, sikapmu membuat aku semakin merasa bersalah dan menyesal.
            Aku bingung harus berbuat apa atau berkata apa. Selama kebekuan kita, aku hanya mengusap lembut punggung tanganmu.Berharap sentuhan kulit kita mampu menyampaikan rasa sesalku yang mendalam.
            “Aku akan nemenin kamu besok, seharian.”
            Lagi-lagi kau hanya tersenyum.“Ya jelas.Besok kan sabtu?”
            Aku menggeleng, “Besoknya lagi, besoknya lagi,” lidahku tercekat.Sebulir air mata tahu-tahu menggaris pipi. “selamanya aku akan di dekatmu.”
            Sudah cukup.Sudah cukup kata-kata itu tertahan.Aku sudah meluapkan di hadapanmu.Sudah tidak ada keraguan lagi.Setelah sesal ini, sudah cukup bagiku hidup sebagai mayat hidup.
            “Kamu ambil cuti?”
            Tidak sayang.Inilah saatnya aku menjadi manusia yang benar-benar hidup.Bukan manusia yang hidup seperti mesin tak bernyawa.Menerima upah yang terlihat sebanding – namun nyatanya upah tidak lebih berharga dibanding waktu yang telah terbuang percuma.
            “Aku mau resign ris.”
            “Kenapa?”
            Kenapa?Karena ini jawaban atas pertanyaanmu waktu itu.Sampai kapan kamu mau jadi robot kayak gini?Sesal ini meyakinkanku.Aku tidak sanggup mengatakan semua kata yang berjubel di benak.Aku hanya mampu terisak hingga pundakku berguncang hebat.
            Sungguh aku lelah menjadi robot.Aku jengah menjadi mayat hidup.Aku tak bisa mengatakan alasan itu, terlalu sulit. Aku hanya mampu menangis, memeluk tubuhmu, dan berharap pelukan ini mampu menyampaikan apa yang ingin aku katakan.
            Mulai esok pagi, Aku akan menjadi istri yang selalu memelukmu manja saat kau terjaga menjelang tidur.Dan mengucapkan selamat pagi sambil membawakan satu gelas susu dan sepotong roti. Inilah waktu dimana diriku benar-banar bangkit.Bangkit dari hidup yang seperti mati.Sudah saatnya aku menjadi manusia.Sudah saatnya aku memihak pada waktu.
            Sampai pelukan kita terlepas, mulutku masih saja tidak sanggup berkata.Ada sedikit malu, karena untuk meyakinkan diriku berhenti menjadi robot saja, aku harus melihatmu jatuh sakit dulu.
            Aku terlalu haru dengan keputusan bulat ini.dan akhirnya, setelah delapan minggu lima hari, aku bisa berbincang denganmu, memeluk tubuhmu, dan dirimu bisa merasakan kecupan kecil di keningmu dalam kondisi terjaga.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi