Memaknai Hujanmu

Alam memang mampu berbahasa. Alam memang bisa menyampaikan pesan, bagi orang yang mau memaknainya dan Bagi orang yang percaya alam memang hidup dan punya rasa.

8 April 2014, satu hari sebelum pesta demokrasi. Surabaya diguyur hujan. Tak cuma hujan, namun disertai angin. Tak cuma disertai angin, namun juga pohon-pohon tumbang. Lalu, ada apa dengan hujan? Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan bulan april yang seharusnya sudah melalui musim penghujan?
Mungkin saja ini cara alam menyambut pesta demokrasi. Pesta politik yang cenderung 'kotor'. Begitu kotornya hingga alam sengaja membersihkan diri. Menghujani noda-noda kotor politisi.


Alam sadar, air bukan satu-satunya senjata yang mampu menghempaskan noda. Dia memanggil bala bantuan-angin kencang. Angin bertugas menghempaskan sampah visual yang masih membandel. Baner, baliho yang dengan narsisnya memajang jidat-jidat pengais suara dan tanpa tahu malu mengabaikan masa tenang.

Alam cukup berhasil melancarkan misinya. Beberapa stiker caleg memudar, meski tak seluruhnya hilang. Beberapa baner bandel runtuh. Bendera selain merah putih tak mampu melambai gagah, hingga petugas bagi-bagi amplop tertahan dalam teduh. Tak rela uang kotornya terbasuh air suci.

Saya memang percaya alam punya cara sendiri memperbaiki dirinya. Alam selalu tahu bagaimana yang baik dimatanya. Alam juga mau mengorbankan anggota tubuhnya demi kebenaran. Dalam aksinya sore tadi, alam kehilangan beberapa pohon asuhannya.

Saya memang bukan siapa-siapa. Saya tidak mampu berkomunikasi dengan alam. Tapi disini, lewat tulisan ini, saya ingin meraba makna dari hujan yang luar biasa sore tadi. Lewat hujan, alam ingin pesta demokrasi bersih. Kendati begitu, saya yakin gelaran akbar esok hari tak akan sebersih air hujan yang turun.

***

Surabaya, 8 April 2014.
Hujan di hari menjelang pemilu.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi