Kenangan Senja Sang Gadis Kecil
Baru saja air mataku
menetes mengingat sosok yang kini hanya dapat aku lihat pusaranya. Tepat satu tahun
lalu, disaat senja yang sama, wanita dengan sorot mata tenang itu mengamini doa
yang aku panjatkan di depan makam Ayah. Namun siapa yang dapat meyangka, kini
wanita yang dulu mengamini doaku, hanya dapat merasakan satu-satunya doa yang mampu
aku hadiahkan padanya tanpa bisa mengamini, atau sekedar berkata terimakasih.
Warna senja masih sama, jingga. Gundukan awan berpendar
juga tetap sama, namun tidak dengan gundukan tanah di depan mataku. Satu tahun
yang lalu masih satu, sekarang sudah berjumlah dua. Terlalu cepat rasanya
membuat gundukan tanah ini berbeda.
Aku teringat dengan wanita ini semasa hidupnya. Saat
wanita itu dengan bebas menatap senja, bebas memukuli anak semata wayangnya
jika senja lebih dulu hadir daripada anaknya, dan selalu tersenyum kala
senja di akhir puasa telah tiba. Hari ini memang hari terakhir puasa dan sudah menginjak senja, namun senja kali ini ada yang beda, senyum wanita itu tidak datang bersama pendar senja.
senja di akhir puasa telah tiba. Hari ini memang hari terakhir puasa dan sudah menginjak senja, namun senja kali ini ada yang beda, senyum wanita itu tidak datang bersama pendar senja.
Mendamba senyumnya, membuat aku terjun dalam lautan
kenangan. Kenangan di Salah satu senja terakhir di bulan puasa, tapi aku lupa
puasa tahun kapan. Sudah sangat lama.
Seorang gadis kecil berbaju lengan panjang, bertanya
padanya setelah mengusap ingus dengan lengan baju “Ibu, udah ada yang takbiran
tuh. Berarti besok lebaran dong?”
Wanita itu hanya mengangguk, lalu kembali berkutat dengan
benang dan pernak-pernik berkilauan. Beberapa sudah menempel di kain, dan
beberapa masih ada di kotak mika.
“Berarti besok aku boleh pakai baju baru sama sepatu baru
dong?”
“Boleh banget sayang.”
“Asyik…” gadis kecil itu kegirangan. “Tapi bu…” rautnya
tiba-tiba berubah.
“Kenapa sayang?”
“Besok udah mau lebaran, tapi Ibu sendiri belum beli baju
baru. Aku kasihan sama Ibu.”
Wanita itu berhenti dari kesibukannya. Seutas senyum
mengembang setelah hembusan nafas berat. “Sini sayang!” tangannya terbuka
menyambut anaknya yang melompat ke pangkuan. “Ibu sudah beli baju baru kok,
tapi Ibu simpen di tempat rahasia. Biar kamu gak tau.”
“Kok gitu sih, mainnya rahasia-rahasiaan?”
“Biar nanti jadi kejutan sayang.”
Gadis kecil dipangkuannya mulai tersenyum lagi. Jawaban
dari Ibunya menghapus rasa khawatir.
“Pokoknya, besok pagi kita pakai baju baru bareng-bareng
ya sayang?”
“Yes, Asyik!” gadis kecil itu kegirangan sambil
lompat-lompat. Sementara wanita itu terus tersenyum melihat tingkah anaknya.
Langit di atas sana sudah semakin jingga, suara takbir
bersahutan dengan suara kicau burung. Wanita itu, ditemani anak semata
wayangnya, menempel benda-benda berkilauan dengan sangat teliti. Hingga senja
digusur koloni bintang, Wanita itu tetap setia memasukkan payet ke benang, lalu
menyusun, menata, dan menempelnya di kain putih. Ia terus melakukannya. hanya
berhenti sejenak untuk sekedar buka puasa dan beribadah.
Akhirnya, hari yang dinanti sang gadis kecil untuk
memakai baju baru bersama Ibunya tiba. Gadis kecil itu pagi ini lebih mudah
dibangunkan ketimbang hari-hari biasanya. Tanpa bermalas ria, ia langsung mandi
dan memakai baju barunya lengkap dengan sepatu baru.
“Anak Ibu cakep.” Gadis kecil itu malah dengan tengilnya berkacak
pinggang bak model di majalah. “Tunggu Ibu ya nak, habis ini Ibu juga pakai
baju barunya Ibu.”
“Masih di tempat rahasia ya?”
Wanita itu mengangguk, kemudian berlalu sambil
menggemakan takbir. Semangatnya menyambut hari kemenangan, menjadi guyonan lucu
untuk anaknya.
Selang beberapa menit, wanita itu mengenakan baju yang
berkilauan. Baju gamis berwarna putih dengan aksen payet cantik, membuatnya
terlihat semakin cantik dan berkilau.
“Nah, Ini baju baru rahasianya Ibu.”
“Wah… bagus bu. Bagus… Cantik banget.”
Gadis kecil itu begitu bangga dengan baju barunya, juga
baju baru Ibunya – Tanpa dia ketahui bahwa baju baru Ibunya itu sebenarnya baju
lebaran tahun lalu yang hanya diberi payet agar terlihat baru. Hal demikian
selalu wanita itu lakukan tiap kali lebaran tiba.
Kini gadis kecil itu tak lagi menjadi gadis kecil. Dia
telah sadar bahwa setiap tahun, baju baru milik Ibunya memiliki pola potongan
yang sama. Hanya warna payet-payet itu yang berubah. Usia belasan membuat dia
tak lagi mampu dibohongi. Dia mengetahui jika baju putih itu hanya dipakai kala
lebaran tiba, lalu disimpan untuk diganti payetnya agar terlihat baru saat ia
kenakan lagi di hari lebaran tahun depan.
Meski bertahun-tahun wanita itu membohongi dirinya, namun
dia begitu bangga dengan kebohongan yang dilakukan ibunya. Demi membahagiakan dirinya,
wanita itu rela tak berpakaian baru saat hari raya. Lebih baik membeli baju
baru untuk anaknya agar tidak dikucilkan oleh temannya. Daripada membeli baju
baru untuk dirinya sendiri demi mengikuti kontes terselubung bersama ibu-ibu
lain dengan judul Kontes Pakaian Lebaran Termahal.
Itulah salah satu kenanganku tentang wanita dibalik
pusara ini. Dia tak pernah menunjukan kesedihan pada anaknya sedikitpun. Ia
membuat anaknya bangga dengan kebohongan yang ia lakukan bertahun-tahun soal
baju lebaran. kendati berbohong adalah perbuatan tercela, namun bohong versi
ibunya sama sekali tak tercela dimatanya.
Hingga saat ini, disaat senja yang sama dan lantunan
takbir yang sama, Gadis kecil itu menaruh rasa bangga yang besar pada wanita
itu. memang wanita itu sudah tiada. Namun cara dia menyiasati baju lebaran
masih abadi. Sang gadis kecil yang masih tiga belas tahun, berpikir melakukan
hal yang sama. Dia akan mamakai baju barunya ketika lebaran saja, lalu
menyimpan baju lebaran miliknya untuk dikenakan lagi tahun depan, tahun
depannya lagi, dan tahun depannya lagi. Ini harus dia lakukan, karena sudah
tidak ada sang Ibu yang selalu membelikan baju baru tiap tahun.
Dan, gadis kecil tersebut adalah Aku.
__________________________________________________________________________
Postingan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi Flash Fiction Perempuan dan Senja yang diadakan Nulisbuku.com dan @13perempuans.
Comments
Post a Comment