Cukup 360 Detik
Bukan karena ketidakhadiranmu
Langit kini tanpa gemerlap
Bukan karena malam semakin kelam
Sang bintang ada, dia bersembunyi.
Gemerlap masih sama, dia sakit hati
Terang yang lebih terang menyilaukan mereka
Sinar yang lebih berpendar membuat kristal langit menghindar
Semua tunduk, bergantung pada sinar itu
Bukan sinar alam, Namun sinar bohlam
Sinar yang perlahan dan pasti akan membawa kelam
Sinar yang mengalahkan ribuan kristal langit
Kini langit merasa tertantang, Hingga ia malas menyebar bintang.
Sekelompok pemuja bintang murka
Bukan cacian dan kebencian yang mereka gaungkan
Cukup beraksi dan menanti kristal malam tak lagi muram
Mereka membunuh bohlam, Hingga mati tak memancar
Tanpa bohlam, mereka mendekap gelap demi merasa terang
Hanya 360 detik saja langit gemerlap
Hanya 360 detik saja bergelap ria menari bersama sinar alam
360 detik tanpa sinar pembawa kelam, hanya sinar sejati dari alam
360 detik, gelap malam bersolek dan berdansa dengan sinar bulan bintang
360 detik usai...
Pengagum bintang sadar, hidup matinya ada di tangan sinar kelam
Sinar kelam kembali hidup, dihidupkan jiwa-jiwa yang tak berbintang
Termasuk aku, kamu, dia, dan mereka
Bumi kembali benderang
Bohlam kembali menabuh genderang
Namun pemuja bintang cukup senang, melihat pujaan mereka hadir merayakan mati surinya sang penantang.
Cukup 360 detik membunuh penantang bintang
Cukup 360 detik membuat bintang tersenyum tanpa merasa tertantang
****
Jiwa dari puisi absurd ini tercipta saat saya menghadiri acara Earth Hour akhir bulan maret silam di Grand City Surabaya.
Daripada jiwa yang telah tercipta hanya bergentayangan, maka aku ciptakan raga berupa rangkaian kata untuk jiwa itu. Lewat jiwa dan raga yang telah bersatu ini, semua orang akan tahu bahwa mematikan lampu tidak hanya bermanfaat untuk menjaga energi. Namun ada bonus yang jarang kita sadari-bintang lebih benderang saat lampu-lampu mati. Dan itu adalah keindahan yang jarang tampak di kota metropolitan seperti surabaya
Comments
Post a Comment