Stiletto Menuntunku Pulang
Ransel
merah, begitulah aku memanggilnya sebelum tahu nama aslinya. Wanita berkulit
eksotis dengan rambut dikuncir ala kadarnya. Dia setia membawa ransel berwarna
merah kemana-mana. Aku akui fisiknya memang tidak begitu menarik orientasiku.
Namun ada sesuatu yang membuat ia berbeda dari wanita pada umumnya. Dia adalah
seorang Backpacker. Sejak aku mendengar kata itu terlontar dari bibirnya yang
tipis merona, perhatianku tergugah untuk menyelami kisahnya.
Mungkin itu bukan satu-satunya yang
membuat aku tertarik dengannya. Ada yang lain, Cara dia berpenampilan. Mataku
tak bisa lepas dari langkah kakinya ketika ku dapati dia berjalan menuju bibir
pantai menggunakan sepatu stiletto. Agak aneh. Bak peragawati, dia berjalan
anggun dengan stiletto kemudian perlahan duduk di batas pasir yang kering dan
basah karena sapuan ombak.
“Merah!” sapaku dari balik
punggungnya.
Dia menoleh, mendongakkan kepala
sedikit “Florin. Kamu bisa panggil aku Flo!”
“Sorry, Aku lupa nama kamu. Are you
OK with your shoes?”
“Why?” Senyum manisnya akhirnya
berhasil menekukkan lututku. Aku duduk di sebelahnya.
“Kamu mau ke pantai, apa mau
modeling?”
Dia terkekeh, memukul bahuku ringan.
Tanpa menjawab pertanyaan jailku, dia melihat lautan lepas yang menampakan
pendar senja. Membiarkan debur ombak membelai kakinya yang ber-stiletto. Dan
membiarkan mataku memandangi wajahnya yang diterpa warna jingga. Si merah dengan
wajah diterpa cahaya jingga, sungguh sangat indah.
“Sudah lama jadi backpacker?”
tanyaku memecah keheningan.
Tidak langsung ada jawaban. Butuh
menunggu tiga kali sapuan ombak pada kaki kami untuk mendengar jawaban
“Lumayan.”
“Sejak kapan?”
Lagi-lagi dia tidak langsung
menjawab. Tangannya sibuk melepas sepatu yang sudah basah. “Sejak sepatu ini
pas di telapak kakiku.” Aku lihat ke sepasang sepatu basah itu, kembali ke
wajahnya, kembali lagi ke sepasang sepatu. Bingung dengan jawabannya, dahiku
mengerut.
“Kamu sendiri kapan mulai
backpacker-an?” dia balik bertanya.
Tentu saja dengan mantap aku
menjawab, “Sejak usiaku menginjak 21 tahun. Aku memutuskan untuk keluar dari
kotaku yang nyaman.”
“Tujuanmu menjadi seorang
backpacker?”
“Aku ingin punya pengalaman dengan
tempat-tempat yang sama sekali asing bagiku.” Aku menoleh padanya, berharap
menangkap reaksi mukanya. Diluar dugaan, reaksinya datar. “Selain itu, lewat
perjalanan yang aku lakukan selama ini, Aku berharap dapat menemukan kebahagiaan
yang sejati.”
Dia menoleh, sontak mata kami saling
bertemu.
“Kebahagiaan sejati? Apakah sudah
berhasil kamu temukan?”
Aku menggeleng. Menggeleng untuk
jawaban tidak, dan menggeleng untuk menyerah – tidak sanggup memandang mata
indahnya terlalu lama.
Aku dan Flo duduk bersebelahan cukup
lama dalam suasana hening. Tanpa saling tatap muka hingga pendar cahaya diujung
sana digusur oleh ribuan kilau bintang. Salah satu yang dapat aku dengar kala
itu hanya suara debur ombak dan suara detak jantungku. Tak lama setelah
lampu-lampu restoran di belakang punggung kami menyalah, Flo bangkit dari
duduknya. Aku teringat, rasa penasaranku tetang riwayatnya sebagai backpacker
belum terpuaskan.
Aku ikut bangkit. Sambil menenteng
sepasang stiletto miliknya aku bertanya, “Kamu kan sudah tahu alasanku jadi
backpacker. sekarang kamu dong yang cerita, apa alasan kamu jadi backpacker?”
“Aku, sama. Untuk kebahagiaan
sejati. Tapi kebahagiaan sejati sudah aku temukan.”
“Sudah kau temukan? Maksudnya?” Dahiku
dibuatnya berkerut lagi. Bahkan begitu buramnya jawaban itu, sampai membuat aku
tidak sadar – sepasang stiletto itu sudah tertenteng di tangannya.
Dia hanya tersenyum. Tak menjawab
atau sengaja tidak mau menjawab? Entahlah. Dia lebih tertarik mengaitkan
stiletto di kakinya daripada mengaitkan rasa penasaranku dengan kalimat
rancunya. Aku menyerah lalu membiarkan badan semampainya berjalan semakin jauh,
semakin jauh, hingga yang terlihat hanya warna merah ranselnya yang emphasis
dengan warna gelap malam.
***
Ransel Merah begitu membuat diriku
penasaran. Sepanjang perbincanganku dengannya kemarin, dia hanya menjawab
dengan sebuah soal teka-teki. Aku begitu tertarik dengan pribadinya, dengan
kisahnya, dengan kisah perjalanannya, sampai dengan sejarah mengapa dia
mengikrarkan diri sebagai Backpacker. Memang aku sangat tertarik dengan
kisahnya, tapi terlalu cepat menyimpulkan kalau rasa ketertarikanku ini
didasari karena adanya cinta.
Hari ini hari terakhirku di resort
indah, The Bay Bali. Pukul delapan nanti, Aku akan melanjutkan pencarianku.aku
akan berburu tiket ke Paris. Namun sebelum aku pergi, dan sebelum aku menemukan
orang baru yang lebih menarik dari Flo, aku ingin memecahkan teka-teki
dari sang Ransel Merah.
Menemukan dirinya tidak begitu
sulit. Hanya perlu mencari satu orang berstiletto diantara banyak orang yang
memakai busana pantai. Dengan sekali edaran mata, dapat aku temui wanita
berkulit eksotis itu berjalan menuju restoran Bebek Bengil.
“Merah!” Aku berteriak sambil
mengejarnya.
“Hei! Ayo makan dulu!”
Aku pun makan malam dengannya. Di
pinggir pantai dengan sayup-sayup suara gamelan Bali. Satu bentuk kebahagiaan.
Belum sampai bosan kami menunggu, dua porsi bebek kremes dengan kilatan
minyaknya menggoda kami untuk segera melahap habis. Bumbunya begitu meresap,
seperti misteri kisah Flo yang begitu meresap, mengendap dalam otakku.
“Aku lihat, kamu kemana-mana pake
stiletto itu.” Akhirnya pertanyaan tentang stiletto yang sempat mengendap di
otak terlontar juga.
“Oh Stiletto, ini yang aku maksud
dengan sudah menemukan kebahagiaan sejati kemarin.”
“Aku masih belum ngerti. Stiletto
itu kebahagiaanmu?”
“Semua penjelasan tentang aku dan
stiletto ada di blog pribadiku. Aku bosan menjelaskan pada setiap orang yang
selalu tanya begitu. Kamu cari tahu sendiri aja ya di blogku.” Tangannya mulai
menyergap bebek miliknya. “search aja di google pake keyword Stiletto
Backpacker”
Aku menurut saja. Menumpang jaringan
wifi yang tersedia, aku mulai memecahkan rasa penasaranku. Di sisi meja sana,
Flo dengan khusyuk melahap bebek kremes sambil sesekali mengusap keringat di
dahi. Sementara itu, Aku berhasil menemukan blog pribadinya. Blog bertema
perjalanan. Cukup bagus tata letaknya, namun banyak iklan yang mengganggu.
Bukan iklan birahi seperti di blog-blog lain, namun iklan produk-produk ternama.
Stiletto Menyertai Langkahku
Aku
pergi karena Stiletto ini. Mengantarkan Stiletto ini ke penjuru dunia adalah
misi perjalananku. Aku berkeliling dunia untuk mewujudkan mimpi Ibuku. Ibuku
adalah seorang model yang bermimpi bisa berjalan di cat walk dunia. Namun
sebelum mimpinya tercapai, Takdir mengharuskan dirinya cepat menemui tuhan.
Waktu
itu aku masih berusia 12 tahun. Ibu berwasiat dalam suratnya bahwa sepatu
stiletto ini (yang selalu menemaniku saat ini) akan ia hadiahkan kepada putri
semata wayangnya. Stiletto berwarna merah marun ini sebelumnya adalah sepatu
favorit Ibu. Walau tak setiap saat ia kenakan, namun kemana pun ia pergi,
sepatu ini akan selalu ia bawa dalam kotaknya – satu paket dengan perlengkapan
pribadinya sebagai seorang model.
Setelah
usiaku menginjak 17 tahun, barulah aku tahu semua itu dari Notaris. Stiletto
kesayangan Ibu yang kini jadi milikku, diwariskan bersama semua harta dan buku
jurnal kerja Ibu yang berisi jadwal show dan rencana-rencana Ibu ke depan.
Setiap
hari aku mencoba sepatu warisan itu, hingga akhirnya aku tumbuh dan sepatu itu
pas di telapak kakiku saat aku menginjak usia 20 tahun. rasa rinduku akan sosok
Ibu membuat diriku mengambil keputusan besar. Jika dulu Ibu adalah alasanku
untuk pulang, maka kini Ibu adalah alasanku untuk pergi. Berbekal jurnal milik
Ibu, Aku berjanji akan mengunjungi negera-negara yang tertulis dalam jurnalnya,
mewujudkan mimpi Ibu. Bukan dalam bidang modeling, tapi entah ini bidang apa.
Aku pergi hanya untuk mewujudkan mimpi Ibu sambil terus mencatatkan perjalanan
selama ini dalam blog.
Ibu,
Kita akan sama-sama berkeliling dunia. Aku akan mengantarkan langkah kakimu
menjelajahi kota yang ada pada list jurnalmu. Restuilah aku. Aku yakin, setiap
jengkal langkahku adalah setiap jengkal langkahmu menuju kebahagiaan sejati.
Dengan stiletto kebanggaanmu, Aku akan membanggakanmu.
Aku
tak mengapa bersakit-sakit jalan setiap hari dengan stiletto. Ini adalah
satu-satunya jalan menuju kebahagiaan sejati. Kebahagiaan seorang anak yang
ingin membahagiakan orang tuanya. Jika dulu kau selalu menantiku untuk pulang,
maka sekarang nantilah aku untuk pulang membawa stiletto yang akan bercerita
banyak.
Inilah
kebahagiaan sejati: Mewujudkan mimpimu yang kini menjadi mimpiku juga.
Sertailah setiap langkahku bersama stilettomu. Meski langkah kakimu sudah tak
lagi menapak di bumi, tapi yakinlah kita akan melangkah bersama sepasang
stiletto milik kita. Kita memang sudah tidak bersama, tapi bagiku tidak ada
kata terlambat untuk meraih kebahagiaan sejati.
From
The deepest of my heart
Flo
.
Aku membuang nafas. Bebek kremesku
sama sekali belum tersentuh. Berbanding terbalik dengan sesuatu di dalam sana,
sesuatu dari tulisannya telah menyentuh hatiku. Aku semakin kagum dengan sosok
di hadapanku ini. Kebahagiaan sejati, konsepku tentang kebahagiaan
dicabik-cabik oleh kebahagiaan versinya.
“Kamu selama ini sudah pergi kemana
aja?” dia membuyarkan lamunanku.
“Aku sudah keliling Bali, Lombok,
Maldives, Hawai, Jepang, dan masih banyak lagi.”
“Lalu, setelah ini kamu mau kemana?”
Paris. Aku ingin menjawab paris.
Tapi entahlah, mungkin aku tidak jadi berangkat ke kota mode itu. Ini efek
tulisannya. Aku rasa aku akan pulang kali ini. Ibu adalah alasanku untuk
pulang. Tempat terindah yang menyimpan kebahagiaan sejati ternyata tidak perlu
dicari.
“Aku belum tahu.” Jawabku. “Mungkin
aku akan pulang.”
Flo tersenyum sambil menjilati bebek
yang tinggal tulangnya. “Kenapa kamu pulang?”
“Karena perjalananku sudah selesai.
Aku sudah menemukan kebahagiaan sejati.”
Dia benar. Alasan dia untuk pergi
memang benar. Dan alasanku ingin pulang juga sangat benar. Meski keindahan alam disini seolah menahanku,
namun hati yang ingin meraih kebahagiaan sejati selalu merengek minta pulang. Pulang
adalah pilihan terbaik. Berada di sisi orang terkasih adalah kebahagiaan
sejati.
“Aku mau berterima kasih ke kamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk jawaban yang selama ini aku
cari. Ternyata itu semua tidak perlu dicari.”
“Tentang kebahagiaan sejati?”
Aku mengangguk. “Setelah membaca
tulisanmu, aku sadar. Tempat yang menyimpan kebahagiaan sejati bukan di Bali,
Lombok, Maldives, Hawai, atau Jepang. Pencarianku selama ini sia-sia. Ternyata
kebahagiaan itu sederhana. cukup Berada di dekat orang-orang yang mencintai
kita. itulah kebahagiaan sejati.”
“Pencarianmu selama ini bukan
sia-sia. Itu merupakan proses untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri. Jika
kamu tidak pernah pergi, kau tidak akan pernah tahu betapa berartinya kembali
pulang.”
Aku melahap bebekku sedikit. “Besok Aku
akan pulang. Karena ada alasan yang cukup untuk membuatku pulang, Ibu.
“Pulanglah, selagi ada yang
menantimu pulang! Dan aku akan pergi. Karena ada alasan yang cukup untuk
membuatku terus bepergian, Mimpi Ibu.”
Hening tiba-tiba mendominasi. Sayup
gamelan bali masih terdengar meski tak sekeras tadi. Dengan kisahnya, Flo telah
membantuku menemukan kebahagiaan sejatiku. Aku merasa sangat perlu untuk
membantunya meraih hal yang sama. “Flo…” aku memandanginya lekat-lekat. Tepat
pada matanya. “Aku rasa akhir perjalanan dari stiletto milikmu ada di kota
Paris.”
Dahi Flo mengerut “Kok tahu? Paris
memang kota terakhir yang Ibu tuliskan di jurnalnya.”
“Cukup mudah menebak itu. Semua
model pasti bermimpi bisa mengunjungi kota mode dunia itu.” Aku merogoh tasku.
Meletakkan kantong kertas coklat di atas
meja. “Ini untuk kamu.”
“Apa itu?”
“Sesuatu yang akan membantu mimpi
Ibumu terwujud. Ambillah! Anggap saja bentuk terima kasihku.”
Ragu-ragu dia mengambilnya. Dengan
satu kali anggukan, aku mengizinkanmu untuk membuka bungkusan itu. Matamu
terbelalak.
“Itu rencananya untuk beli tiket ke
Paris. Ambil saja, Kamu lebih membutuhkan itu.” Dengan asyik aku melahap makan
malamku. Berharap tidak perlu melihat air mata harunya.
“Tapi?”
“Sudahlah. Aku ikut bahagia kalau
mimpi Ibumu tercapai.”
Keringatku mengucur. Tidak sengaja
aku lihat air mata tahu-tahu meluncur di pipinya. “Terima kasih.” Dia bangkit
lalu memelukku erat. Dia lupa kalau tangannya masih belepotan. Aku tidak
terlalu mempermasalahkan. Asal kami bisa sama-sama meraih kebahagiaan sejati.
Ditemani sang pembuka jalan
kebahagiaan, Bergegas kulahap habis makan malamku. Setelah ini aku akan berburu
tiket kembali ke Jakarta. Ke kota kelahiranku, rumahku, tempat yang menyimpan
kebahagiaan sejatiku. Demi Ibu yang selalu menantiku pulang, Aku merelakan
pertunjukan tari kecak berlangsung tanpa kehadiranku. Aku pulang malam ini.
Ibu, Aku pulang. Anakmu yang telah
jauh mencari kebahagiaan kini sadar, kebahagiaan sejati tidak perlu dicari.
Kebahagiaan itu ada pada pelukan hangatmu, pada setiap tutur lembutmu, dan pada
setiap jengkal perhatianmu yang tak kenal waktu. Aku kembali Ibu.
__________________________________________________________________________
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Bagus ceritanya :)
ReplyDeleteTerima kasih :)
ReplyDelete