Restoran Hayalan dan Tamunya





Aku masih ingat betul. Dua puluh tahun silam, kala jalan aspal itu masih jadi pekarangan rumah kita. Bunga mulai muka pagar sampai muka pintu tidak pernah aku hafal namanya satu-satu.  Disitu kita selalu berlarian, berguling di rerumputan, dan tangkai demi tangkai bunga yang kurang beruntung selalu kita jadikan menu spesial untuk restoran hayalan kita.

Dalam imaji, Restoran kita sore itu sangat ramai pengunjung. Entah sudah berapa tanaman yang kehilangan mahkotanya karena kita harus memasok persediaan restoran kita. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Dunia waktu itu terasa begitu menyenangkan. Walaupun sebenarnya restoran kita terancam digusur kalau Nenek sampai tahu banyak bunga yang dikorbankan.

Ada satu tamu restoran yang membuat kita terkejut. Bukan tamu dalam wujud bayangan di alam imaji, namun tamu dalam arti sebenarnya. Ada, dapat dilihat, dan dapat diraba. Tapi coba saja merabanya kalau
berani. Tidak satupun orang mau bersentuhan dengan tamu itu. Dia seperti kritikus makanan yang sangat menakutkan. Aku dan restoranku belum bisa menerima tamu seram macam dia. Tamu kita adalah ulat bulu.

Entah kamu tidak tahu atau memang sakit jiwa, kau ambil ranting lalu membiarkan tamu kita merayap nyaman diatasnya. Senyummu mengembang melihat ulat diam menggeliat diatas ranting yang kau genggam bak lollipop. Waktu itu senyummu begitu ambigu, antara tersenyum ramah menyambut ‘tamu’ kita, atau tertersenyum jail melihat keningku yang sudah basah oleh keringat dingin. Aku sangat takut ulat.

Sore itu, Restoran kita tutup lebih awal karena chef terbaiknya memutuskan untuk sembunyi di belakang punggung Nenek. Menghindari kritikus makanan bernama ulat.

***

Di Sore yang lain, Restoran kita kembali buka. Restoran kita tak seramai biasanya. Kompor kita lebih sering padam daripada berkobar. Tentu saja semua itu hanya dalam khayalan. Bunga-bunga juga tidak merekah. Jangka waktu pertumbuhan mereka kalah cepat dengan tangan nakal kita.

Belum selesai kau membereskan meja tamu, tiba-tiba tamu lain muncul. Untuk kedua kalinya, tamu ini adalah tamu dalam arti yang sebenarnya.  Ada, dapat dilihat, dan dapat diraba. Tapi coba saja merabanya kalau bisa. Tamu kita kali ini bak pragawati dengan jadwal super padat. Belum sempat kita bercengkrama atau sekedar menyentuh bagian tubuhnya, dia sudah harus terbang ke tempat lain untuk memenuhi tuntutan jadwal. Tamu itu tak mau disentuh. Selalu menghindar. Seolah dia takut tangan kita merusak gaun indah yang selalu ia kenakan. Tamu spesial kita hari ini adalah Kupu-kupu.

Aku tersenyum menyambut tamu spesial. Senyumku juga punya makna lain, senyum jail karena memergoki dirimu beringsut di balik pohon manga dengan mata penuh genangan air. Aku tahu kau takut Kupu-kupu. Ini kesempatanku balas dendam, batinku. Aku berhasil menangkap tamu kita dengan jarring ikan. Aku berhasil menjepit sayapnya lalu Aku arahkan ke mukamu. Seketika kau merengek sejadi-jadinya di pelukan Nenek.

Sore itu, Restoran kita tutup lebih awal karena chef terbaiknya memutuskan untuk merengek di pangkuan Nenek. Tidak mau direpotkan oleh sang pragawati yang permintaannya nyeleneh. Menghindari kerlingan dan pancaran tak ramah mata dari busana sang pragawati.

***

Setelah kejadian balas-membalas dendam itu, Restoran kita sempat tak beroprasi selama tiga hari. Selama itu juga, muka nenek berseri-seri. Senada dengan keadaan pekarangannya yang penuh dengan bunga-bunga. Bunga-bunga itu sekarang tak perlu khawatir lagi. Selama restoran kami tutup, itu artinya dia berkesempatan untuk tumbuh, merapuh, menua, dan membusuk secara alami.
Selama tiga hari itu, Kita sibuk berperang. Berdebat, saling mengagungkan tamu favorit kita masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah.
“Cemen, masa cowo takut ulet?” Kau melancarkan misilmu.
“Daripada kamu, Kupu-kupu aja takut! Dia kan cantik?” aku membalas.
“Ye… kupu-kupu itu luarnya aja cantik. Tapi lemah. Gampang mati! Ulet dong… Jagoan. Gak ada yang berani sama dia!”
“Apaan? Dia itu buruk rupa. Rakus! Bisanya ngerusak tumbuhan. Dipegang bikin gatel lagi.”

Kita saling melancarkan misil. Bersahutan, kadang juga bersamaan. Tidak ada yang mau mengalah dan tidak ada yang peduli dengan restoran yang terancam bubar gulung tikar. Nenek pun begitu, dia seolah tidak peduli dua cucunya berseturu. Mungkin baginya, restoran hayalan lebih baik tutup selamanya agar pekarangan kesayangannya bisa berwarna-warni.

***

Aku sempat bingung dengan orientasimu yang membenci makhluk seindah kupu-kupu. Bagimu, dia adalah nenek sihir yang bersembunyi di gaun indah warna-warni. Jika gaun itu adalah sayapnya, maka saat kau lepas gaunnya, kupu-kupu akan terlihat wujud aslinya – menyeramkan!

Tapi belakangan aku mulai tahu mengapa kau begitu membenci kupu-kupu, dan lebih memihak pada makhluk buruk rupa perusak bernama ulat. Katamu, ulat adalah makhluk yang tidak munafik. Dia buruk namun apa adanya, tidak dibuat-buat, dan tak sekalipun bersolek untuk menutupi keburukannya. Ulat tidak peduli apa kata orang. Biar saja orang menyebutnya perusak dan pembawa virus gatal, ulat tetap berjalan ke depan tanpa ragu. Menggeliat menggerogoti daun semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya. Memenuhi kewajibannya. Jika kewajiban harus ditinggalkan hanya karena ocehan orang, maka matilah dia. Matilah keyakinannya. Dia berpegang teguh pada keyakinan selama hidupnya.

Ulat sangat menikmati proses hidup menuju kesempurnaan. Berawal dari keburukan, semedi tanpa makan dalam balutan pupa, dan mengembangkan kemilau warna kesempurnaan. Namun setelah sempurna diraih, ia seolah lupa pada proses pencapaian itu sendiri.

Kesempurnaan seolah menyilaukan matanya. Dia menjadi pribadi yang lain. bahkan orang memanggilnya dengan nama lain. Dia sudah jarang menapak tanah. Dia sudah malas disentuh manusia. Dia sombong dan pandai pamer. Dia mahluk lemah, jika ada tangan berhasil menyentuhnya, maka sekaratlah dia.

Kupu-kupu seolah lupa kalau dia dulu begitu kuat. Kupu-kupu hanya tau bersolek dan melenggang di udara. dia seolah lupa jika usianya tak sampai tiga belas bulan saja. sekali lagi, dia makhluk lemah. Begitu ujarmu. Meski itu hanya alibi hasil kreasimu, namun alibimu syarat akan makna dan perenungan. Lebih baik buruk dimata orang lain daripada buruk dimata tuhan yang kita yakini. Buat apa membanggakan sesuatu yang indah jika itu hanya sementara. Kurang lebih itulah yang aku renungkan dari analogi alibimu.

Kini restoran kita menjadi bangunan berpenghuni belukar. Status dewasa memaksa kita untuk menciptakan jarak antara dunia nyata dan dunia hayalan. Tapi kini, tidak hanya restoran kita yang bisa dihayal. Sesuatu yang dulu begitu nyata pun hanya dapat kita lihat dalam hayalan – pekarangan rumah kita.

Mimpi untuk sama-sama melihat anak kita bermain di pekarangan penuh bunga, juga hanya mengendap dalam hayalan. Semoga mereka cukup bahagia bermain di dalam sekat-sekat beton. Yang cukup aku sayangkan, anak-anak kita tidak akan bisa belajar dari sifat sang ulat dan kupu-kupu. Kendati begitu, setidaknya anak-anak kita dapat belajar sabar dan tidak mudah putus asah lewat permainan favoritnya, Flappy Bird.

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi