Hanya Dua Tanda Baca
Hampir jam dua pagi. Mataku masih terjaga. Aku hanya berbaring
diatas ranjang dibawah langit-langit. Masih berusaha melelapkan diri, tapi
lelap tetap tak menyapa. Aku insomnia. Sudah hampir sebulan ini aku mengidap
syndrome ini.
Gara-gara kebanyakan cafein?
Tidak. Aku alergi kopi.
Gara-gara narkoba? Tidak mungkin. Itu benda asing bagiku.
Gara-gara tertekan? Kepikiran sesuatu? Mungkin saja.
Gara-gara narkoba? Tidak mungkin. Itu benda asing bagiku.
Gara-gara tertekan? Kepikiran sesuatu? Mungkin saja.
Malam ini, atau
lebih tepatnya pagi buta ini. Rasa sesal itu datang lagi seperti malam-malam
kemarin.
Bergentayangan, mencemooh ketololanku. Menyalahkan keputusan cerobohku dulu. Dia selalu sukses membuatku menggila. Menangis sendiri, tertawa sendiri, menari sendiri, menyanyi sendiri, mengobrak-abrik seisi ruangan sendiri. Sampai pagi. Sampai aku tersadar saat pukul sepuluh pagi. Aku terbangun dan tak tahu kapan aku mulai terlelap.
Bergentayangan, mencemooh ketololanku. Menyalahkan keputusan cerobohku dulu. Dia selalu sukses membuatku menggila. Menangis sendiri, tertawa sendiri, menari sendiri, menyanyi sendiri, mengobrak-abrik seisi ruangan sendiri. Sampai pagi. Sampai aku tersadar saat pukul sepuluh pagi. Aku terbangun dan tak tahu kapan aku mulai terlelap.
Malam datang
lagi. Lampu kamar sudah padam. Rasa sesal itu mulai bergentayangan lagi. Dia
tak cuma gentayangan, dia semakin kurang ajar. Dia datang membawa memori kelam.
Aku seolah melihat film dengan tokoh utama diriku yang tolol.
Episode baru
insomnia dimulai.
Aku melihat
diriku dan cintaku. Peristiwa dua tahun lalu. Kau berlutut, menanyakan kesediaanku
untuk menikah denganmu. Speechless, Aku hanya mampu mengangguk untuk menjawab.
Senyum merekah, tangis haru membuncah. Jari manisku semakin manis setelah
cincin melingkar disitu. pelukan hangatmu menutup prosesi itu. Bunga-bunga
bertebaran dalam imajiku.
Aku tersenyum
sendiri mengingatnya.
Aku melihat
diriku dan egoku. Peristiwa dua tahun lalu. Pria botak itu datang dengan sejuta
pesona. Tubuh sempurna, wibawa, serta sorot mata gagah. Tanganku menjabat
tangannya, aku tahu namanya, aku dapat nomor telponnya.
Sprei sudah
amburadul. Bantal entah kemana. Aku mulai menggila!
Dua bulan
setelahnya, aku terperosok dalam pesonanya. Aku jatuh cinta. Dia memang sosok
pria sempurna. Mampu menjagaku. Mampu membuatku merasa berarti. Mampu memompa
libidoku walau tanpa menanggalkan busana. Aku tak lagi bercincin. Hatiku sudah
kuberikan padanya, dan kau aku tinggalkan. Aku bicara tentang ini kepadamu.
Lalu Kau hanya bisa merelakan, kau bilang ‘asal kamu bisa bahagia, jalanilah!’
Aku tertawa
kecut. Rambutku sudah tak berbentuk. Berteriak. Aku tambah menggila!
Aku melihat
diriku dan sesalku. Kejadian empat bulan lalu. Semua terbongkar!
Aku murka.
Gelas pecah. Tangis tumpah. Aku rasa aku memang gila.
Pria botak itu
ternyata sudah berkeluarga. Istrinya melabrakku saat kami kencan. Aku merasa
tertipu. Aku merasa dihianati. Merasa bersalah. Aku benar-benar menyesal sudah meninggalkanmu
dan memilihnya. Sejak saat itu aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Aku jadi
merasa bersalah dengan dirimu. Kenapa pria sebaik dirimu harus merasakan sakit
yang seperti ini? dasar tolol!
Aku menangis
sendiri. Air minum ku tumpahkan ke kasur. Tubuhku basah, ranjangku basah,
pipiku basah oleh air mata.
Engkau
seharusnya tidak aku tinggalkan. kau terlalu baik untuk merasakan rasa sakit
yang menyayat hati seperti ini. aku ini memang monster paling kejam! Aku merasa
jadi manusia paling berdosa. Aku malu, kenapa Aku baru menyadari semuanya
sekarang? Saat sesal memaksa diriku untuk kembali ke pelukanmu.
Kalender robek.
Aku teriak. Vas bunga pecah. Pundakku bergetar, tangisan dan sesal semakin
menjalar.
Aku hanya ingin
kembali ke pelukanmu. Aku ingin bersujud meminta maaf. Aku ingin cincin itu
kembali memaniskan jari manis. Tapi semua sudah berbeda, keadaan sudah berubah.
Kau tidak mau melihat batang hidungku lagi. Bagimu, aku ini makhluk najis yang
harus dijauhi.
Pukul dua belas
malam. Rasa sesal masih menyiksaku dengan memori yang dibawanya. Air mata masih
deras. Aku berbaring, mencoba tidur. Sayang, mataku lebih memilih mengucurkan
air mata daripada tertutup dalam lelap.
Pukul satu
pagi. Pundakku bergetar hebat. Aku merabah telepon genggam. Zacky, namamu
terpampang di layar bersama deretan angka. Aku masih menyimpan nomor teleponmu.
Jika memang kembali
ke pelukanmu adalah hal mustahil, paling tidak aku bisa tahu keadaanmu sekarang.
Itu saja. aku ingin memastikan kalau kau bahagia sekarang. Aku ingin kau tersenyum
lepas. Bukan merasakan sakit karena ulahku.
Aku memandang layar lama. Aku
ingin menelponmu. Menanyakan keadaanmu. Memohon maaf padamu. Setelah nafas
panjang dan sekahan air mata, nada tunggu terdengar. Aku nekat menelponmu!
Tut… tut… tut…
“Halo?” aku mendengar suaramu. Air mata meleleh lagi.
“Halo?” kau balas
menyapa. aku tidak tahu harus berbicara apa. Bibirku bergetar. Lidahku terasa
keluh. Aku seperti bisu.
“Halo?” suaramu
mengeras. “siapa ini?” Aku bisa mendengar jelas suaramu!
“Halo?” lalu
putus.
Tidak aku
sangka, ternyata bicara denganmu tidak mudah. Entah apa yang terjadi padaku.
aku hanya bisa menangis, tersenyum, gembira saat mendengar suara khasmu. Meski
hanya sebatas kata singkat berbunyi ‘Halo’.
Sebenarnya, aku
hanya ingin meminta maaf, dan menanyakan kabar, tapi apa? Mulutku seolah
terkunci. saat aku berusaha mengucapkannya, tak sepatah katapun keluar. Hanya
isakan tangis yang keluar entah kenapa.
Aku beruntung. Saat ku telepon,
kau masih belum tidur. Masih bisa mendengar suaramu. Apa kau juga insomnia
sepertiku?
Pukul dua, pukul tiga, pukul
empat, pukul lima. Aku hanya diam, sesekali tertawa, sesekali menangis,
sesekali membanting apapun yang ada dalam radiusku. Aku dikendalikan sesal, aku
dibuat gila oleh sesal. Karena aku sungguh-sungguh menyesal.
***
Ini adalah
episode insomnia terpanjang. Aku sama sekali tak terlelap sampai mentari
menggusur gelap.
Pukul enam. Aku masih belum tidur
sejak semalam. Sesal itu tak kunjung redah. Kantuk pun tak punya daya untuk
mengusirnya.
Kamar seperti
kapal pecah. Hati seperti piring pecah. Mata seperti galon tumpah. Sesal ini
masih terus menyiksaku. Aku bangkit, membuka gorden dan melihat mentari. Tapi
apa yang terjadi, kaca jendelaku pecah. Aku memukulnya. Aku semakin menggila
dan menggila. Tanganku berdarah, bercak darah berceceran, tapi aku mati rasa.
Luka itu tidak berasa. Apa aku beneran gila?
Pukul tujuh.
Aku tak
sekalipun menguap. Aku serasa sudah tak punya rasa kantuk lagi. Tak butuh
istirahat. Bahkan dengan gilanya berniat mau lari pagi.
Ada dua barang
yang selamat dari pengaruh buruk sesal. Jamdinding dan lemari pakaian. Niat
hati ingin mengambil celana training, aku malah menemukan sesuatu. Foto
seseorang yang terbingkai indah, yang sudah lama aku simpan dan terlupakan.
Potret dirimu yang kucinta, potret dirimu yang pernah mencinta, potret dirimu
yang terhianati cinta.
Air mata
meleleh, entah ini sudah yang ke berapa. Rasa sesal semakin liar memainkan
memori indah bersamamu. Aku menyumpahi diriku sendiri, aku menangis meraung,
menerjang dinding. Aku gila!
Kaca bingkai
berlumur darah. Tanganku yang terluka terus mengusap wajahmu. Membelai halus
wajahmu yang hadir dalam imaji, diwakilkan foto dirimu yang beku. Sesekali
merah darah yang berlumuran di fotomu memudar, tertimpa setetes air mata yang
jatuh. Aku dekap erat foto dirimu.
Aku rasakan
hangat dekapanmu hadir dalam sunyi. Lekuk harum tubuhmu hadir, menjelma pada
bingkai dirimu.
Aku rasakan
desah nafasmu hadir bersama semilir angin.
Aku bisa
merasakan semua meski ragamu tak disini. Terlebih rasa sakit itu. Rasa kecewa
yang dulu melanda dirimu. Aku dapat merasakan air matamu hadir bersama deras
air mataku. Rasa sakitmu hadir lewat darahku yang mengucur. Bahkan rasa sakitmu
lebih sakit dari luka di tanganku.
Aku memelukmu,
mendekapmu, merasakan sakit yang pernah menderamu. Aku dapat merasakan semua,
tapi satu yang tidak dapat aku rasa, senyumanmu. Senyum yang dulu selalu
terjaga.
Kini, bertemu
denganmu komplit bersama senyuman sungguh tidak mudah. Namun izinkanlah aku
merasakan senyum itu sekali lagi. Entah lewat apa. Hadirkanlah senyumanmu demi
ketenangan jiwa. Tak perlu ragamu, hanya senyumanmu.
Pukul tujuh
tiga puluh.
Kita masih berpelukan ditemani
tangis. Berpelukan dalam sunyi, ragamu diwakilkan dengan potret beku dirimu.
Tiba-tiba handphone berdering, aku melepas pelukanmu.
Tubuh lusuhku
berjalan meraih Handphone diatas ranjang. Tetes darah segar menjejak di lantai.
Luka di tangan masih mengangah, tapi tidak berasa. Aku mati rasa. Tapi tidak
untuk rasa sesal ini, aku masih bisa merasakan rasa kurang ajar ini.
Ranjangku
basah, Handphoneku basah. Keduanya semalam aku guyur air. Ada sebuah sms
darimu. Aku sumringah tapi air mata tetap meronta. Dengan tanganku yang
berlumur darah, aku baca sms-mu. Andai kau tahu, aku rela terluka lebih dari
ini, aku rela darahku mengucur lebih banyak lagi, aku rela menggila dan tak
tidur lebih lama lagi, jika memang itu bisa menebus kebodohanku. Asal kau mau
memaafkan ketololanku dulu.
‘Ini siapa? Ada
apa semalam telepon?’ isi sms dari mu.
Kau tidak
mengenaliku. Kau saja sudah menghapus kontakku, pasti kenangan denganku juga
ikut kau hapus. Tidak apa, aku tahu itu memang pantas kau lakukan. Kau pasti
tidak ingin merasakan rasa sakit dariku lagi. Tapi ketahuilah, rasa sesalku ini
sangat besar, lebih besar dari jagat raya yang menanungi kita. Adakah kesempatan
sekali lagi untuk dirku?
Aku memilih
untuk berbohong, aku terlalu takut untuk jujur. Pasti kau tak sudi membalas
smsku selanjutnya jika kau tau yang mengirimnya adalah monster yang pernah
melukaimu. Aku membalas, ‘tidak ada apa-apa, maaf semalam saya salah sambung.’
‘Oh, kirain
client saya yang lagi ingin konsultasi via telepon.’
‘Client? Anda
seorang psikolog?’ aku tahu kau memang seorang psikolog. Ini bukan pertanyaan
bodoh, aku hanya ingin lebih lama mengobrol denganmu. Meski kau hadir lewat
pesan singkat. Itu saja.
‘Ya. Memang
saya psikolog. Anda siapa?’
Aku kekasihmu
yang dulu menghianatimu. maukah kau memeriksa psikisku? Atau sekedar melihat
keadaanku? Jikalau kau sedia mengusir kegilaanku, aku tahu caranya. Tak perlu
kau periksa kejiwaanku, cukup bawalah aku kembali ke pelukanmu.
Aku sekarang
seperti orang gila. Atau benar-benar sakit jiwa?
Aku membanting
handphoneku. Lalu menangis. Lalu merangkak, meraihnya kembali. Aku sadar, ini
satu-satunya benda yang bisa membuat diriku terhubung kembali denganmu. Maafkan
aku handphone.
Bercak
darah menempel di handphone. Aku membalas sms darimu, berbohong lagi. ‘Bukan
siapa-siapa kok. Saya Cuma salah sambung. Sekali lagi saya minta maaf.’
‘Santai aja.
Tidak apa-apa kok.’
Normalnya,
percakapan sms akan berakhir disini. Tapi aku tidak mau. Aku ingin lebih lama
lagi merasakan hadirmu, merasakan hawa sejuk saat berbincang denganmu seperti
dulu. Aku mengirim pesan tak penting. ‘sampai jumpa.’
kau membalas, ‘Sampai jumpa
:)’
Air mataku
meleleh, aku menjilat tanganku yang berdarah, Asin! Aku menari, aku menyanyi,
Aku gila. Aku insomnia. Aku bahagia!
Mataku tiada
berkedip melihat sms darimu. Aku terpaku. Senyumanku membatu. Aku sekarang
bahagia, meski aku tak punya daya untuk bersanding denganmu. Aku bahagia karena
kini aku bisa merasakan apa yang tidak pernah bisa aku rasakan, Senyumanmu. Dia
hadir bersama pesan singkatmu. Aku merasakannya.
Aku merasakan
kebahagiaanmu. Aku merasakan senyuman nyata lewat dua tanda baca. Benar, hanya
dua tanda baca. Titik dua dan tutup kurung.
Sekarang semua
darimu dapat aku rasakan. Pelukanmu, desah nafasmu, sedihmu, sakitmu, juga
senyummu. Bukan ragamu yang hadir disini, tapi semua rasa itu saja. rasa yang
hanya dapat aku nikmati tanpa pemilik rasa itu.
Pukul Sembilan
lewat sepuluh menit.
Aku rasa gila yang menyerangku
mulai berangsur sirna. Aku mulai bisa menguap. Aku berbaring di ranjang yang
basah. Mataku mulai bisa menutup.
Ternyata aku
salah, untuk menyudahi insomnia dan semua kegilaan ini tidak perlu membawa
diriku kembali ke pelukanmu. Hanya lewat dua tanda baca darimu saja, gila dan
insomnia kalah. Aku sadar, mungkin kegilaan ini adalah hukuman untuk egoku,
untuk kebodohanku, dan sesal melengkapinya dengan menyiksaku.
Semua memang
pantas aku terima. Aku yang hina ini tak pantas bersanding dengan dirimu yang
baik luar biasa. Kendati sesal tetap ada, aku cukup bahagia dengan segala
rasamu yang hadir dalam sunyi. Hanya rasa-rasa itu saja yang bisa aku miliki,
bukan dirimu dan hatimu.
Pukul sepuluh
tepat.
Aku terlelap bersama senyumanmu
yang tergenggam. Hanya perlu dua tanda baca untuk melelapkan mataku.
Terimakasih kau telah menghadirkannya untukku. Meski tak nyata secara visual,
dua tanda baca itu menyiratkan senyum bahagiamu. Senyuman virtual yang dapat
aku rasakan kehadirannya.
Aku akhirnya tidur. Aku
bermimpi melihat dirimu tersenyum. Sangat nyata, lebih nyata dari senyum yang
terwakilkan lewat dua tanda baca.
Aku tahu aku
yang jahat ini memang tidak pantas untukmu. Biarkanlah aku tetap merasakan rasa
ini sampai kapanpun. Rasa yang terfosilkan lewat dua tanda baca darimu. Yang
akan selalu tersimpan didalam handphoneku.
Ternyata
bahagia itu sederhana. Tidak perlu memiliki dirimu dan hatimu. Tapi cukup
memiliki segala rasamu yang menjelma lewat apapun, dan dua tanda baca darimu.
Itu saja.
Kau terus
tersenyum padaku. Bukan lewat dua tanda baca, tapi lengkungan nyata di bibirmu.
Aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini, andai itu bisa.
:)
Comments
Post a Comment