Muludan Hari Rayanya Anak-anak

Pikiranku tiba-tiba melayang ke masa kecilku. Kala itu jalanan desa ditutup dan disulap menjadi pasar dadakan. Suara derap kaki bocah dan tawanya menyeruak di tengah suara pedagang yang saling sahut menjajahkan dagangannya. Klanting, lupis, bubur, rujak, gado-gado, es teler, es gandul, segala macam makanan dan minuman ada. Tak jarang rengekan tangis bocah juga terdengar. Biasanya, mereka menangis karena tidak dituruti orang tuanya membeli mainan. Lapak mainan memang jadi hal wajib di pasar dadakan ini selain kuliner.

            Tentu saja aku pernah menjadi salah satu bocah yang merengek itu. Di tengah pasar mulud, di akhir tahun sembilan puluhan. Dulu pasar mulud memang akan selalu menjadi acara desa yang dinanti anak-anak. Pasalnya, lapak penjual mainan selalu mendominasi. Mainan yang dijual beragam dan tentu saja mainan tradisional—buatan tangan dan bukan impor. Mulai dari kapal otok-otok warna-warni yang dijalankan dengan api kecil, segala bentuk peluit bambu, pedang-pedangan, boneka, mainan masak-masakan dari gerabah, hingga topeng berbagai macam bentuk yang selalu menjadi favorit.

            Topeng itu dijuluki topeng mulud, atau jika diterjemahkan kurang lebih topeng maulid nabi. Konon kata ibuku, dijuluki seperti itu karena dulu memang hanya ada dan dijual saat masa-masa perayaan maulid nabi. Topeng tersebut umumnya terbuat dari kertas daur ulang yang dibentuk dari cetakan tanah liat menjadi macam-macam bentuk hewan, lalu dicat sedemikian rupa. Ada bentuk harimau, singa, kelinci, gajah. Dalam memoriku, bahkan aku masih mengingat ada topeng yang berbentuk buto, mickey mouse, hingga power rangers.

Membuat Topeng Mulud (sumber:surya.co.id)

Topeng Mulud (sumber:datatempo)

           “Pokok’e muludan iku pancen riyoyo’e arek cilik1,” begitu ujar ibuku. Memang pasar mulud kala itu selalu didominasi pengunjung anak-anak. Mereka berlomba-lomba membeli mainan idaman mereka. Di antara semua mainan yang dijual, topeng mulud menjadi icon utama yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan di sepanjang jalan yang disulap jadi pasar itu, aku tidak dapat mengenali satu persatu teman sebayaku. Hampir semua anak-anak dengan riang memakai topeng mulud di kepala mereka.

            Itulah sekelumit kenanganku tentang muludan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad di Kota Surabaya—khususnya di kawasan Tenggilis Mejoyo dan sekitarnya pada masa silam. Topeng mulud dan meriahnya pasar dadakan dengan banyak lapak mainan, hingga disebut sebagai hari raya bagi anak-anak.

            Berbicara mengenai perayaan maulid nabi, tentu pasar mulud bukan satu-satunya tradisi di kampungku. Hingga saat ini, perayaan maulid nabi akan dirayakan dengan pembacaan diba dan sholawat di tempat-tempat ibadah. Biasanya acara pembacaan diba akan diselenggakan dua kali. Pada saat malam hari tepat tanggal 12 rabiul awwal, dan esok pagi harinya. Serangkaian pembacaan diba tersebut hanya diadakan untuk kaum laki-laki.

            Di malam hari tersebut, para pria akan berbondong-bondong membawa buah-buahan yang ditata dan ditumpuk seperti gunungan kecil. Kami menyebutnya asahan (dibaca: asah-an). Masing-masing kepala keluarga akan membawa asahan ke musala atau masjid tempat mereka biasa beribadah. Di dalam asahan hal yang harus ada adalah pisang dan air bunga. Tidak jarang asahan juga ditambah dengan buah-buahan lain seperti apel, anggur, jeruk, dan lain sebagainya.

            Di penghujung pembacaan diba, setelah doa, asahan akan dinikmati bersama. Para hadirin akan duduk bersila secara melingkar pada tiap-tiap asahan yang ada. Biasanya satu asahan bisa untuk empat hingga lima orang. Buah-buahan yang masih tersisa dan tidak dimakan, bisa dibagi rata untuk dibawa pulang.

            Jika aku mengingat-ingat kembali masa kecilku, dulu air bunga di asahan bahkan menjadi rebutan untuk diminum. Air tersebut dipercaya membawa berkah kesehatan. Namun, di masa kini praktik meminum air rendaman bunga itu sudah tidak pernah aku jumpai lagi kendati dalam asahan masih menjadi ubo rampe yang wajib disediakan.

            Esok paginya, warga laki-laki akan berduyun-duyun kembali lagi ke masjid atau musala untuk membaca diba dan solawat. Kali ini setiap kepala keluarga akan membawa satu asahan berisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Di akhir acara, asahan tersebut akan dimakan secara bancaan atau bersama-sama. Makanan tersebut juga dapat dibawa pulang bagi yang mau membungkus. Biasanya di tiap asahan akan disediakan beberapa helai daun pisang untuk sarana membungkus makanan ini. Kami menyebut kegiatan membawa pulang asahan ini sebagai mberkat.

            Beda lagi tradisi perayaan maulid nabi bagi kaum perempuan di kampung Tenggilis. Pembacaan diba dan solawat untuk perempuan biasanya akan diadakan selang beberapa hari setelah tanggal 12 rabiul awwal. Tidak hanya membaca diba, tradisi unik juga mewarnai muludan ibu-ibu ini. Tradisi jabutan selalu membuat perayaan menjadi semakin semarak.


            Yang dimaksud jabutan adalah berebut hadiah yang digantung dengan cara mencabutnya. Satu hari sebelum acara, warga biasanya akan bergotong-royong memasang jabutan. Tali rafia dibentangkan di tengah ruangan dengan ketinggian yang telah disepakati bersama. Lalu pada bentangan tali rafia tersebut digantung beberapa hadiah. Umumnya berupa peralatan rumah tangga seperti cangkir plastik, sendok, garpu, sendok sayur, teko plastik, celengan, dan lain-lain. Tidak jarang juga jabutan digantungi snack dan uang tunai pecahan 2000 hingga 10.000 untuk membuat tradisi ini semakin meriah.

Dokumentasi Jabutan (sumber: dokumen pribadi)

Dokumentasi Jabutan (sumber: dokumen pribadi)

            Pada saat solawat nabi akan dikumandangkan dan semua hadirin serentak berdiri, saat itulah jabutan akan dilakukan. Mereka akan berlomba-lomba mencabut hadiah sebanyak-banyaknya. Dewasa ini, tradisi jabutan sering kali dilakukan di akhir acara, tidak lagi di tengah-tengah prosesi pembacaan diba. Hal ini mulai dilakukan agar acara tetap khidmat dan untuk menghormati substansi pembacaan diba.

            Serangkaian tradisi muludan di kampungku tersebut hingga kini masih rutin diselenggarakan. Sayangnya, pasar mulud sudah tidak lagi diadakan. Entah kapan terakhir kali pasar mulud diadakan secara resmi oleh warga desa. Tiap ada acara maulid nabi, terkadang masih ada penjual yang tiba-tiba berkumpul dan otomatis menjadi bazar dadakan. Namun, bedanya tidak ada lagi topeng mulud yang dulu menjadi icon hari rayanya anak kecil ini.

            Jika aku kenang kembali, pasar mulud ini justru seperti menjadi rangkaian acara utama dari perayaan maulid nabi dan selalu berlangsung meriah. Bahkan siapa saja bisa datang ke pasar mulud walaupun mereka bukan orang yang merayakan maulid nabi Muhammad. Andai saja tradisi pasar mulud dengan topeng muludnya masih diadakan hingga kini, barangkali Surabaya seolah memiliki event festival topengnya sendiri. Jika di Eropa punya mask party, Surabaya harusnya punya pesta topengnya sendiri di pasar mulud ini.

Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku jadi benar-benar rindu suasana pasar mulud. Banyak penjajah mainan tradisional yang beragam. Di sana anak-anak bersenda-gurau memakai topeng. Anak-anak merengek kalap meminta mainan. Ngomong-ngomong soal anak merengek, aku jadi teringat waktu itu aku menangis karena tidak diizinkan membeli yoyo karena sudah membeli topeng mulud.


Catatan Kaki:

Pokoknya Maulid Nabi itu memang hari rayanya anak kecil.

-----

Postingan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog Kearifan Lokal dalam rangka HUT RI ke-77 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya

Comments

Sering Dibaca

Pindah

Pemeran Sinta

Catatan Perjalanan dan Itinerary ke Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida Tahun 2018

Merenung Lewat Cerpen Tahi Lalat Karya M. Shoim Anwar

Antara Apsari dan Grahadi