Asal-usul Kampung Tenggilis
Pada zaman dahulu, kampung Tenggilis merupakan
daerah hutan yang sangat luas dan lebat. Daerah hutan ini ditumbuhi pohon-pohon
yang sangat besar, rimbun, hingga hanya sedikit cahaya matahari yang dapat
menembus rimbunnya hutan itu. Keadaan alam yang seperti itu membuat banyak orang
menyebut hutan itu hutan yang ‘runggut’ (cikal bakal nama rungkut) atau
dalam bahasa Indonesia berarti rimbun. Seiring berkembangnya zaman, hutan yang
luas ini mulai digunakan penduduk sebagai tempat bermukim. Sekelompok penduduk
yang bermukim di hutan runggut akhirnya membentuk wilayah-wilayah kecil di
dalam Hutan Runggut. Di timur, barat, selatan, dan utara masing-masing dibangun
pemukiman. Beberapa wilayah mempunyai ciri dan karakteristik maupun kebiasaan
yang berbeda-beda. Sehingga tiap wilayah memiliki sebutan yang berasal dari
kebiasaan atau temuan-temuan orang pada kala itu.
Pada salah satu wilayah ditemukan banyak warganya membakar kemenyan di dalam sebuah tungku api khusus yang bentuknya menyerupai anglo namun lebih kecil. Benda itu disebut perapen, jadilah satu wilayah tersebut disebut perapen (sekarang Prapen). Kemudian ada wilayah yang dilintasi sungai bernama Medang atau Kendang, disebut seperti itu karena banyak ditemukan bunga layu terbawa arus sungai (sekarang Kendangsari).
Meski Hutan Runggut mulai banyak ditinggali manusia, pedalaman
hutan masih belum pernah terjamah oleh manusia. Wilayah tengah hutan yang
sangat lebat dan berbahaya membuat tidak ada satu pun warga yang berani untuk
melintasinya. Warga tidak ingin mengambil risiko, sebab konon di tengah Hutan Runggut
terdapat banyak ular dengan ukuran yang sangat besar hidup dan berkembang biak
di sana. Bahkan daerah tengah hutan itu diberi sebutan alas setro gondho mayit,
artinya siapapun yang ke sana pasti meninggal. Oleh sebab hal inilah
orang-orang kala itu rela berjalan memutari tepian Hutan Runggut dan menempuh
perjalanan lebih jauh untuk menuju pemukiman yang lain.
Hidup di hutan dengan ancaman bahaya
kapan saja membuat orang-orang yang tinggal di Hutan Runggut membekali dirinya dengan
ilmu kanuragan untuk bertahan diri. Tidak hanya bertahan diri dari binatang
buas dan alam, namun juga bertahan diri dari serangan makhluk-makhluk dari
dimensi lain. Berkembangnya ilmu kanuragan pada waktu itu membuat salah seorang
dari warga menjadi kuat dan sangat disegani.
Orang tersebut—yang namanya tidak
diketahui, pada akhirnya melakukan ekspedisi ke tengah hutan untuk membuat
pemukiman baru. Orang kuat tersebut begitu terkejut saat melihat keadaan alam
di tengah Hutan Runggut. Tanpa babat alas, di sana sudah terbentuk jalan yang
berkelok-kelok, bersih, mulus tanpa ada satu batang pohon pun menghalangi mata
memandang. Saat dia menelusuri ujung jalan yang ada dengan sendirinya itu, dia
bertemu dengan sekawanan ular raksasa yang hidup di tengah hutan. Sehingga dia
berkesimpulan bahwa jalan di tengah hutan ini tercipta karena sering dilintasi
oleh ular-ular raksasa. Tidak hanya jalan, bahkan ia menemukan perlintasan ular
raksasa yang lain dan membentuk aliran sungai. Inilah yang menyebabkan jalan dan
sungai di kampung tenggilis berkelok-kelok seperti jalannya ular hingga saat
ini.
Kemudian dengan kesaktiannya, orang
itu berbicara dengan ular dan meminta izin untuk membangun pemukiman di tengah
hutan. Dia berjanji akan hidup berdampingan dengan damai dan tidak mengusik
kehidupan ular-ular tersebut. Ular
akhirnya mengizinkan namun meminta satu syarat. Orang tersebut harus
menyediakan tumbal berupa kepala manusia yang harus dipendam di tanah.
Negosiasi antar keduanya terjadi. Orang sakti bersedia mempersembahkan tumbal
asal ular mau melindungi wilayah pemukiman yang akan dibangunnya dari hal-hal
buruk. Ular menerima tawaran itu, namun tumbal tersebut harus dipersembahkan
setiap periode waktu tertentu.
![]() |
Ilustrasi negosiasi dengan ular raksasa (sumber: http://www.ceritaanakdunia.com/) |
Akhirnya wilayah tengah Hutan
Runggut terdapat pemukiman warga dan dikenal dengan tanah’e wong ikhlas
atau dalam bahasa Indonesia berarti tanahnya orang ikhlas. Sebutan pada tempat
ini disebabkan karena orang-orang yang tinggal di sana dikenal sebagai orang
yang ikhlas dan berserah diri. Tiap kali tiba waktunya harus mempersembahkan
tumbal berupa kepala manusia, siapapun yang ditunjuk oleh orang sakti pasti
dengan ikhlas menyerahkan nyawanya demi keamanan desa tempat mereka tinggal.
Tidak hanya sang tumbal yang ikhlas, bahkan keluarganya pun akan ikhlas menyerahkan
kepala orang yang mereka sayangi demi kampung halaman.
Seiring berjalannya zaman, Tengah Hutan
runggut sudah bukan menjadi daerah yang ditakuti dan dihindari lagi.
Orang-orang tidak lagi jalan memutari hutan untuk berkunjung ke pemukiman lain.
Orang-orang dapat melintasi pemukiman di tengah hutan dengan aman dan dapat
memangkas jarak sehingga tidak jauh seperti sebelumnya.
Peristiwa tumbal kepala manusia dan jalan pintas menuju pemukiman lain, membuat warga Hutan Runggut menyebut pemukiman ini dengan nama Tenggilis. Berasal dari kalimat ‘ditenggel ben gelis’, dalam bahasa Indonesia berarti dipenggal agar cepat. Nama ini merujuk pada dua hal. Pertama peristiwa tumbal, dipenggal kepalanya agar kampung cepat menjadi wilayah yang tentram dan aman. Kedua, dipenggal jarak jalannya agar cepat mencapai tujuan.
Tahun Kelahiran : 1935
Alamat : Tenggilis Mulya
Berikut ini adalah transkrip teks asli ketika narasumber bercerita
menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan
Asal-usul Kampung Tenggilis
Zaman biyen, kampung Tenggilis iki
munu rupa alas sing jembar, rungsep. Alas iki wit-witane yo gedhe-gedhe,
dhuwur-dhuwur, mulane srengenge mek sithik sing iso nembus godhong-godhonge
wit-witan. Alas sing koyok ngene iki malene akeh uwong nyebut alas iku alase
runggut. Lah iku mangkane lapo kok onok jeneng Rungkut, iku mulane teko alas
sing runggut. Cara wong saiki runggut iku alas sing rimbun ngunu iku. Terus
suwe-suwe mulai onok uwong bangun kampung nak kunu. Gak mek siji, tapi
mlenco-mlenco ngunu kampunge. Nak sisi kene onok kampung, nak sisi wetan onok,
nak kulon onok. Lah jenenge yo rupa-rupa tergantung wong-wong nemune opo nak
kunu.
Koyok Prapen iku, biyen iku nak kunu
akeh perapen keleleran. Perapen iku barang koyok anglo ngunu, tapi luwe cilik
teko anglo. Digawe bakar menyan. Makane daerah kunu dijenengi Prapen sampek
saiki. Terus Kendangsari iku biyen medang arane. Mulane biyen iku akeh kembang
sing layon kintir nak kaline.
Masio wes akeh kampung, tengahe alas
iki isih gurung kejempok uwong blas. Gak onok seng wani menjero nak tengah
alas, soale jarene nak tengah alas iku onok ulo guwedhe. Mangkane akeh seng
nyebut alas iku alas setro gondo mayit. Artine sopo seng mrunu pasti gak isok
balik, mati. Dadi lak kape nak kampung liyane ngunu ya, mestine kan isok
langsung nerabas alas cekne gelis. Tapi iki gak, gak wani. Mesti mlaku muter
ngubengi pinggire alas.
Urip nak alas sing koyok ngunu marai
wong biyen nekuni ilmu kanuragan gawe ngelindungi dhewe’e mboh iku teko kewan,
mboh iku teko barang alus. Nah saking tekune oleh sinau ilmu kanuragan iki,
onok salah siji uwong dadi wong seng kuwat, sakti, yo dadi jawara iko lo.
Satria pokok’e. wong iki paling diajeni.
Wong sakti iki gak eroh aku jenenge
sopo. Biyen prosoku yo gak diceritani jenenge. Pokok’e onok wong sakti, ngunu
ae. Lah wong iki mau akhire nerabas nak tengah alas, dhewe’e kape bangun
kampung anyar. Lah gak atek babat alas ilo, lah kok nak tengah alas wong iku
nemu dalan apik. Wes rupo dalan ngunu, gak onok wit-witan blas. Maringunu
saking herane, wong iki mlaku ngetutno sak entek’e dalan. Lah kok dilala, wong
iku kepethuk ulo guwedhe akeh. Mangkane dalan nak tenggilis iki lak gak onok
seng lurus, kabeh lengkak-lengkok koyok dalane ulo ngunu. Ancen dalane iki mau
dalanan seng biasane diliwati ulo gedhe, coro ngunu raksasa, makane wes isok
model dalan. Masio kali yo ngunu, lengkak-lengkok ngunu, iku ceritane jarene yo
mergo dalane ulo gedhe terus dadi dalan milihne banyu. Lak ancen iyo se dalan
karo kali nak kene lengkak-lengkok ngunu?
Terus wong iku mau ngejak ngomong
ulo gedhe iki. Jenenge wong sakti emboh iku carane dee sampek isok ngomong karo
ulo. Wong iki pamit nak ulo lak kape bangun kampung nak tengah alas. Dee
semayan yen bakal urip tentrem gak ngeriwuki urip’e ulo karo konco-koncone. Ulo
akhire ngizini, tapi jaluk syarat sirahe menungso digawe tumbal dipendhem nak
jeroh lemah. Akhire ulo karo wong iki mau nyang-nyangan. Wong iki gelem nuruti
penjulakane ulo, nanging ulo kudu jogo wilayah kampunge teko balak.
Wes, tengah alas iki mau akhire onok
seng menggoni. Dadi kampung. Kampung iki akeh seng ngarani tanah’e wong ikhlas.
Lapo kok ngunu, polane wong-wonge ancen ikhlas-ikhlas. Ben wayahe ngetoni
tumbal, sopo ae wonge seng dipilih sirahne gawe didadino tumbal mesti geleme.
mesti patuh, tunduk. Wong jenenge ancen wong ikhlas ya, masio seng dijaluk
nyowone paribasane, yo dikekno demi tanah kampunge. Keluargane yo ikhlas gak
onok seng ngaboti.
Akhire, wes sak mun-mun taun, tengah
alas iki wes dadi kampung sing aman. Wes guduk panggonan seng angker, guduk
panggon seng serem. Kabeh uwong wes isok melbu-metu tengah alas. Lak kape nak
kampung liyo wes gak leren muteri alas maneh.
Saya sendiri tinggal di kendangsari, tapi malah baru tau. Begini asal usul tempat saya di besarkan, makasih informasi nya
ReplyDelete