(Bukan) 10 Mei Terakhir
Sudahlah. Yang penting sisa-sisa Kell berterbangan
bebas. Sejenak lagi terminum ikan, atau udang, atau terjaring tentakel. Itukah
imortalitas yang kau maksud selama ini? Menurutku begitu. Rantai makanan
seabadi putaran roda samsara. Seminggu lagi mungkin engkau terhidangkan
dalam agar-agar. Kita bertemu lagi, Kell. Dalam segelas es manisan rumput laut
yang berkhasiat menyejukkan panas dalam. –Supernova Akar-
Jajaran kalimat di paragraph terakhir halaman 197
Supernova episode akar itulah – yang mempengaruhimu hingga punya cita-cita
dikremasi saat mati. Kita memang bukan umat hindu ataupun budha. Aku sempat
mencibir cita-citamu itu sebagai bualan atas dasar ingin beda dengan mayat yang
lain. Atau, langkah berani Karena tidak mampu membayar lahan pemakaman. Namun
lagi-lagi kau membantah dengan menyodorkan Supernova akar halaman 197. Alasanmu
ingin dikremasi, sama seperti tokoh kell dalam novel itu. kau hanya ingin
diperlakukan seperti abu mayat kell. Kau hanya ingin tetap terhubung dengan
orang-orang yang masih hidup setelah kau mati. Kau hanya ingin menyatu dengan
alam di akhir hayatmu. Kelak jika kau sudah mati, Kau hanya ingin sekedar
menyapa mereka lewat cara menyelinapkan abumu dalam segelas es manisan rumput
laut.
***
Beijing,
10 Mei 2013
Ada suara dering telepon dan
tercantum namamu di layar. Aku tidak mau mengambil resiko kau diamkan satu bulan.
Aku memilih meninggalkan ruang meeting dan segera mengangkat telepon. “Halo…”
Suara manjamu, masih sama. Suara manja yang selalu membuatku semakin rindu ingin
bersua pemiliknya.
“Kak, selamat ulang tahun…” ucapmu.
Gila, Aku hampir lupa kalau hari ini
hari ulang tahun kita.
“Hei, ini 10 Mei? Kalau gitu Kau
juga. Selamat ulang tahun.”
Ya, memang benar. Ulang tahun kita
sama. Sebab aku lahir 13 menit setelah dirinya lahir. Lewat rahim seorang Ibu
yang luar biasa, yang rela menaruhkan hidupnya demi kami, dan yang memberiku
nama Kayla Ida Pratiwi, dan memberimu nama Kanaya Ida Pratiwi.
“Sebenarnya, kakak ini ingat gak sih kapan kita ngerayain ulang tahun
bareng?”
Sempat ada hening. Aku lupa kapan
pastinya. Dengan sekenanya aku menjawab, “Barusan. Pas kita saling ngucapin
selamat ulang tahun.”
“Ah… cukup deh basa-basinya.” Kau rupanya merajuk diujung sana. “Selain aku
mau ngucapin selamat ulang tahun sama kakak, aku juga cuma ingin kita kayak
dulu lagi.”
“Kayak dulu?”
“Iya. Kayak dulu. Saling tukar kado,
meniup lilin ulang tahun di kue ulang tahun kita. dan itu selalu kita lakukan
setiap tahun. Tapi sekarang tidak pernah lagi setelah Kakak kerja di Beijing.”
Tidak, Sialan. Dalam kalimatnya yang
merentet, ada semacam tangan yang memaksaku bangun dari posisi nyaman ini.
Nyamannya posisi ini justru membuat aku lupa dengan tempat ternyaman yang
pernah kupunya: rumah, tempat orang-orang terkasih. Tempat kita melewati hari
dan melakukan ritual-ritual kecil membahagiakan seperti, sarapan dengan Ayah
Ibu tanpa absen seharipun, rebutan mainan baru, sampai merayakan ulang tahun
kita setiap tanggal 10 Mei.
Masih belum musnah dari benak, Aku
mengingatnya. Dulu kita selalu berebut meniup lilin diatas satu kue ulang tahun
yang memang – selalu cuma dibelikan satu oleh Ibu. Lalu, bingkisan hadiah dari
Ibu dan Ayah, selalu menjadi pemicu sengketa. Mereka selalu memberi kita kado
mainan untuk dimainkan secara bersama. Namun sayangnya, ego kita berdua tidak
mau kompromi dengan aturan itu. Fenomena saling berebut itu akhirnya hilang
juga seiring usia kita yang semakin menua. Tidak lagi ada kado. Setiap 10 Mei
datang, yang ada hanya satu loyang kue buatan ibu sendiri yang diberi cream
sekenanya. diatasnya menyalah lilin berbentuk usia kita. Dan kita tak lagi
berebut meniupnya.
Ritual kecil setiap tanggal 10 Mei ini sudah lama
tiada. Sejak kami terpisah jarak. Atau lebih tepatnya – sejak aku sengaja
menciptakan jarak.
“Halo…? Halo…?” suaramu menyadarkanku dari lamunan.
“Kanaya, Sorry banget.” Mataku mengedar ke penjuru
ruangan. Mencari alasan tepat untuk mengakhiri sesi panggilan berbonus sesal
ini. “Aku masih ada meeting. Nanti kita lanjut telepon lagi. Ok?”
Tidak ada respon. Cuma ada sunyi di ujung sana.
Jemariku belum tega memencet tombol akhiri panggilan. Hingga dirimu yang masih
ingin bicara lebih lama lagi, mulai berkata lirih. “Aku cuma pengen sekali…
saja kita ngerayain ulang tahun bareng kayak dulu lagi.”
“Iya. Tahun depan kita pasti ngerayain bareng. Kakak
janji, Kakak akan pulang tanggal 10 Mei tahun depan.”
“Tapi bagaimana kalau ini 10 Mei terakhirku?
Bagaimana kalau hidupku tidak sampai tahun depan?” tenggorokanku tercekat. Aku
kembali tertampar oleh kata mautmu.
“Aku janji.” Tidak selayaknya 10 Mei yang bersejarah
ini dinikmati dengan sesal. Berharap suasana kembali cair, aku menjawab
pertanyaan sulitmu dengan guyonan, “Kalau hidup kamu gak sampai tahun depan,
ya… salahkan tuhan. Lagi pula enak kan? Jadi kamu cepet meraih keinginan kamu.”
“Keinginanku?”
“Iya. Keinginan kamu. Dikremasi saat mati.”
Tawa kami menggema. Kau mengancamku akan memukulku
jika bertemu. 10 Mei tahun ini, kita hanya saling mendoakan dan saling ucap
selamat lewat telepon, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita saling berjanji
untuk kembali melakukan ritual kuno kita di tahun depan. Kita lihat saja 10 Mei
tahun depan. Akankah kita meniup lilin diatas kue bersama? Kendati maut masih
jadi rahasia abadi, aku yakin Ini tidak akan menjadi 10 Mei terakhirmu. Jalan
kita masih panjang. Yakinlah!
***
Bali,
10 Mei 2014
Aku sungguhan pulang. Ada seloyang kue yang
diatasnya menyalah lilin berbentuk angka tiga puluh. Kue ulang tahun yang aku
bawa ini, memang harus kita tiup padamkan lilinnya bersama-sama. Demi janji
kita, merayakan ulang tahun kita dengan ritual kecil yang dulu selalu kita
lakukan setiap tahun.
Dua detik tadi, lilin ini padam.
Bukan aku yang sengaja meniup tanpa kehadiranmu. Tapi angin laut sialan yang
tidak mau akur dengan api kecil. Rambutku juga bertebangan dibuatnya. Di atas
perahu motor yang diterpa ombak terus menerus ini, aku mati-matian menjaga kue
ulang tahun kita agar tidak jatuh. Kanaya, kita akan melakukan ritual kecil
kita dengan sedikit berbeda kali ini. Aku akan menemui dirimu di tengah laut.
Kita akan meniup lilin kita disana. Tunggu aku Kanaya!
Aku teringat obrolan kita di telepon
waktu itu. Ternyata kau benar. Omong kosongmu tentang 10 Mei terakhir waktu
itu, ternyata tidak sepenuhnya kosong. Kau tahu, hari ini aku bingung harus
senang atau sedih. 10 Mei tahun lalu ternyata benar-benar 10 Mei terakhirmu.
Hari ini, aku hanya dapat menemui dirimu yang sudah lebur dengan laut. Semoga
saja, sisa-sisa dirimu masih mampu menjangkau diriku. Terlepas bingung
memutuskan harus senang atau sedih, ada satu perasaan yang sudah pasti muncul.
Perasaan sesal.
Tiga hari lalu, masih jelas terekam
dalam ruang pikir, Baru pertama kalinya aku mengabaikan jetlag untuk buru-buru
menjumpaimu di rumah duka. Tanpa aku ceritakan juga, semua sudah paham
bagaimana menyesalnya diriku yang tidak ada di sisimu saat kau meregang nyawa. Aku
menangis sejadi-jadinya. Aku sungguh marah, namun entah pada siapa. Tidak ada
yang memberi tahuku jika kau terserang meningitis. Semua berkata, itu
keinginanmu sendiri untuk tidak mengabariku. Lalu aku harus marah kepadamu?
Tentu tidak. Kau sudah mati. Lagi pula, tidak selayaknya aku merusak
kebahagiaanmu menyambut kremasi yang kau idam-idamkan.
“Sudah sampai di tengah laut Mbok.”
Ucap pengemudi perahu motor sewaanku dengan logat Bali yang begitu kental.
Kanaya, aku sudah sampai. Setelah
ini aku akan turun untuk sekedar membelai laut. Menyentuh tubuhmu yang sudah
lebur dengannya. Aku harap, abu kecilmu mewakili kehadiranmu dalam bentuk fisik
untuk sekedar meniup lilin ini bersama-sama. Aku harap, kegilaanku ini masih
ada diujung kriteria kewarasan.
Aku sudah siap turun. Dibantu dengan
pelampung yang terikat di kapal perahu, aku perlahan turun ke laut membawa kue
ulang tahun kita. Pak Wayan, Pengemudi perahu ini menyulutkan api pada
masing-masing lilin berbentuk angka tiga dan nol.
Tubuhku kini sudah berada di tengah
laut. Sejenak aku memejamkan mata. Menghayati ombak yang menghempas tubuhku.
Ombak yang mungkin kau selinapi abu kecilmu untuk membelai, merangkul tubuhku.
Aku berpelukan dengan tubuh barumu yang lebur dengan ombak.
Aku membuka mata. Sekitar empat atau
lima meter dari tubuhku, guci abumu mengapung. Aku masih hafal bentuk guci itu
sedetail-detailnya. Itu memang guci abumu yang sehari kemarin aku larung di
tempat ini, lalu perlahan menjauh terseret ombak dan tak terlihat lagi. Tapi hari
ini, kau sungguhan datang diwakili guci itu.
Terimakasih. Akhirnya kau datang
menemuiku. Sesuai katamu waktu itu, kau akan memukulku jika bertemu. Kau
berhasil melakukannya. Kau tahu? Melihat gucimu saja, Aku merasa terpukul tepat
di hatiku. Seketika air mataku berlinang.
Sudah waktunya. Mari kita tiup lilin
ini bersama-sama. Aku belah dua kue ulang tahun kita. Setengah aku pegang erat
agar tak tersapu ombak. Setengah lagi aku larungkan ke laut, agar tubuhmu yang
lebur dengannya dapat menjangkau persembahanku untuk 10 Mei kita. Setengah kue
yang kupegang menopang lilin berbentuk angka nol. Setengah yang kularung
lilinnya berbentuk angka tiga. Jangan hawatir, kita masih bisa meniupnya
bersama.
Separuh kue yang kularung, mendekat
padamu Kanaya. Mendekat pada cawan yang mengapung mewakili kehadiranmu. Tunggu dulu,
biarkan api kecil itu menyalah. Aku akan
menghitung satu sampai tiga lalu kita boleh meniupnya bersama.
Satu…. Dua…. Tiga…. Lilinku padam. Dan
betapa terkejutnya, lilin milikmu juga padam. Kita meniupnya kan Kanaya? Aku tahu
kau memang sungguhan datang. Lagi-lagi air mataku jatuh. Yang kali ini lebih
banyak, mungkin sama banyaknya dengan air laut yang mengombang-ambingkan
tubuhku.
Setelah ritual ulang tahun yang
sedikit berbeda, Aku kembali ke pantai.
Kanaya, maafkan aku atas semuanya. Tahun-tahun
berikutnya, Aku akan melakukan hal sama. Tidak ada 10 Mei terakhir, percayalah.
Selama satu diantara kita masih menghirup nafas, ritual ini akan terus ada. Aku
tidak akan lupa lagi.
Meskipun kau sudah tiada, aku
percaya kau masih ada. Sosokmu akan selalu ada di hati orang-orang yang
menyayangimu. Termasuk aku. Jiwamu, masih mampu melihatku di batas dua dunia
yang entah letaknya dimana. Teruntuk dirimu yang kupercayai masih mampu
mendengar dan melihatku, aku ingin ucapkan: Selamat ulang tahun Kanaya. Semoga
kau tenang di alam sana. Semoga ini bukan 10 Mei terakhir kita.
Comments
Post a Comment