Posts

Showing posts from 2014

Pergantian Tahun

Beragam topik aku dengar sejak kota ini masih milik kompeni. Sudah ribuan pasang kaki dan roda yang menumpang di punggungku, menebar kisah sepanjang melintas. Manusia memang tidak pernah bisa diam bercakap. Kendati mulutnya diam, jauh di dalam sana mereka selalu bercakap dengan batinnya sendiri. Dengan kekasih yang seolah memiliki kemampuan telepati. Dengan tuhan yang mereka imani.             Hari ini adalah penghujung tahun. Tepat pukul tiga sore tadi sampai hari pertama tahun 2015 nanti, punggungku diharamkan untuk dilewati deru mesin. Kau tahu, ini membuat pendengaranku terhadap kisah para manusia semakin peka.

Rak Buku

Sejak siang tadi, mendung memang sudah menggantung. Pekarangan yang jarang menjadi arena bermain semakin menunjukkan kelesuhannya di balik kelabu langit. Menginjak senja, mendung tetap mendominasi hingga semburat jingga menyerah pada kepungan awan kelabu. Selepas adzan maghrib berkumandang di selah deru halilintar, hujan lebat turun. Aku selalu suka hujan di malam hari. Hawa dinginnya seolah isyarat yang diturunkan Allah untuk menguji kehangatan keluarga kita. Di sinilah, di saat alam memaksa kita untuk berlindung dari basah dan hawa dingin, kehangatan keluarga bisa menjadi perapian tanpa bara. “Nak, sini.” Dari arah meja makan, Umi memanggilku. “Ayuk kita ngeteh bareng!” “Inggih, Umi. Sebentar. Nanti saya nyusul.” Komik Death Note volume 11 yang ada di genggamanku sudah sampai pada halaman 178. Kurang lima halaman lagi aku akan menemui kata tamat. Pikirku, akan terasa tanggung jika aku beralih ke meja makan untuk minum teh. Aku memutuskan tetap pada posisiku. Duduk bersandark

Pulang

Tuhanku Ku ingin bercerita Ku tunduk bersujud Ku mulai berdoa Lelahnya jiwaku Beratnya langkahku Tuhanku Ku rindu tawaku yang dulu Kejujuran kebenaran yang dulu ku tahu

Panik

Sekujur kaki kananku dibalut perban. Sejak dua hari lalu, sebagian besar kegiatanku hanya berbaring di atas ranjang rumah sakit yang dingin. Aku baru saja terbangun dari tidur. Mataku melirik ke meja di sisi ranjang. Ada deretan obat, segelas air putih, jam waker yang menunjukkan pukul 12.15 malam, dan HP yang sedang dicharge. Aku meraih HP, ada tiga belas panggilan tidak terjawab.           Dengan segera aku mengirim pesan pada nomor yang teleponnya tak sempat terangkat, “Tenang saja, aku sudah minum obat kok.”           Sejak aku dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, Dia memang menjadi sangat perhatian. Pagi, siang, malam, ia selalu meneleponku sekedar untuk mengingatkan minum obat. Tak pernah telat, bahkan lebih dulu dari perawat yang memang punya tugas untuk itu.

Bayangan

Waktu terus berlalu, tapi tidak dengan kenangan.... Catatan kecil ini kembali tergores sebab ada sesuatu yang terasa menggores hati. Selepas senja mewarnai muka cakrawala, aku sadar akan sesuatu. Hadirku di sini, tidak lebih dari sebuah bayangan. Ada, namun tidak dapat digenggam. Tidak ada, namun masih tertangkap penglihatan mata. Secara resmi, aku sudah harus hengkang dari sini. Tugas, Pekerjaan, apapun tentang tempat ini, hanya perlu aku simpan rapih dalam kotak memori.

Sosialita di Angkringan

Image
Coach, Louis Vuitton, Chanel, Gucci, Longchamp, Prada, Hermes, Mulberry, Marc Jacobs atau apapun namanya—sejauh itu masuk dalam kategori brand handbag terkenal, akan dapat kau temui di dalam etalase kaca di ruang wardrobenya.                 Dia bukan public figure, tetapi tidak sedikit public figure yang mengenalnya. Setiap satu bulan sekali, dengan salah satu handbag koleksinya itu, dan dress gemerlap yang ia pesan dari desainer kepercayaannya, dia melenggang menuju tempat-tempat bintang lima. Bersama belasan wanita berorientasi sama, mengocok arisan yang ia namai dengan arisan sosialita.                 Pernah suatu kali, saat kaki jenjangnya bosan menginjak tempat berbintang lima, dia mengajakku ke angkringan di pinggir jalan Malioboro. Sempat ada tanda Tanya besar menggantung di atas kepala saat kuterima tawarannya. Sosialita dan angkringan pinggir jalan terlalu kontras untuk disandingkan.

Semesta Merindu

Image
Malam ini, langit merona malu Mendung menggantung hingga paras bumi murung Seolah ada rindu yang tertahan ingin diluapkan Itulah langit dengan gemuruh rindu yang tertahan Kekasih, hanya menanti waktu memadu kasih Akulah tanah kering yang terbakar teriknya rindu Tanah pengagum biru, putih, entah kelabu Tapi warnamu kini merah Adakah kau kini menaruh hati padaku? Mungkin benar.... Kau ingin berdua saja denganku, bersama membunuh waktu Bulan, ribuan bintang, tak kau izinkan datang di paras merahmu Sungguh, Aku tahu ada butir rindu tersimpan dibalik sembur merahmu

Antara Apsari dan Grahadi

Image
Aku tidak tahu harus mencintai atau membenci hari sabtu. Datangnya yang cuma sekali dalam seminggu, adalah anugrah beserta derita yang patut aku syukuri serta aku serapahi. Tidak usah bingung dengan sikapku terhadap hari sabtu, sebab aku nyatanya sangat menikmati sabtu—bahkan sampai hari sabtu kali ini.           Selepas memarkir motor butut keluaran tahun sembilan puluhan, dirimu menyambutku dengan lambaian dan senyum yang merekah. Kau bilang, baru menungguku di sini lima menit yang lalu. Syukurlah, motor tuaku yang sudah saatnya dimuseumkan ini masih mampu berpacu dengan waktu.           Jemari lentikmu langsung menggamit lenganku. Langkah kita beriringan menuju monumen Gubernur Suryo. Di tepian kolam air mancur tempat monumen gubernur pertama Jawa timur ini berdiri, kita duduk bersandingan. Sosok gagah yang menghadap gedung grahadi inilah yang menjadi saksi bisu sabtu-sabtuku bersamamu.

Satu Bulan di Tanah Baru

Image
               Masih mengingatku? Aku adalah pohon yang dipaksa mengakar di tempat baru.                 Kini, sudah satu bulan aku bertumbuh dengan senyuman yang asing—lalu lambat laun senyuman itu menjadi sedikit tidak asing.                 Anehnya, tanah baruku seperti tanah yang ajaib. Disini aku sadar, Aku bukanlah pohon besar yang dapat meneduhkan orang di bawah naunganku. Tapi aku hanyalah tanaman kacang. Ya, tanaman kacang yang punya batang selemas mie instant. Tinggal injak saja batangku, maka tamatlah.                 Kalian ingat pepatah, Kacang lupa kulit?                 Kalian masih ingat dengan senyuman bak poster?                 Jika ingat, aku mau sedikit cerita.

Terlambat

Image
Empat sisi dinding berwarna beige. Di salah satu sisinya, tergantung papan putih besar menampakkan sisa guratan tinta spidol. Sama seperti dirimu, selalu mengguratkan keindahan yang seolah memancar dari dalam dirimu. Tepat di atasnya, tiga serangkai yang selalu tampak gagah: Garuda Pancasila, Foto Bapak Presiden, dan Wakilnya, Laksana saksi ritual pemujaan rahasiaku padamu selama tiga tahun ini.           Tiga puluh dua pasang meja dan kursi kayu tersusun rapih. Di antara deretan itu, hanya dua yang melaksanakan tugas. Kursi deret kedua baris terdepan. Aku dan dirimu duduk bersandingan. Hanya berdua, ditemani tumpukan buku kenangan yang tertata rapih di meja guru, Siap untuk dibagikan ke semua anak.

Dendam

Image
Menurut saya, Manusia memang sudah dirancang menjadi pendendam. Tidak ada satu pun orang yang luput dari selaput-selaput dendam di hatinya. Entah selaput itu setipis kulit ari, atau bahkan setebal kulit badak. Tidak dapat dipungkiri. Yang pasti, semua punya dendam. Sekalipun seorang berhati super lapang, yang dengan mudah memaafkan, juga pasti menyimpan dendam sebelum pada akhirnya memaafkan.

Pertahankan, Katakan, Lepaskan

Image
Ayana             Aku tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi aku sangat percaya, cinta mampu datang pada tindakan   pertama.             Tiga tahun lalu, di tengah lautan manusia yang tidak kukenal, Alex dengan atribut OSPEK serupa yang aku kenakan, menghampiriku. Menyapaku dan menanyakan kegelisahan yang terpampang jelas di wajahku.             “Hai. Kenapa ? Kok pucet?”             Aku hanya menggelengkan kepala.             “Belum sarapan?”             Sekali lagi aku menggeleng.Gelengan bermakna ganda. Makna pertama karena aku memang belum sarapan. Makna kedua karena aku belum mau diajak bicara panjang lebar dengan orang asing.             “Sama.” Ucapmu disertai tawa kecil.             Jujur saja, waktu itu aku ingin menjawab. Aku pucet karena aku lupa bawa coklat —barang yang wajib dibawa saat OSPEK hari itu. Aku takut ketahuan, lalu dihukum senior.             “Perhatian semuanya!” Sebuah suara berat dari barisan depan, tiba-tiba

Pindah

Image
“Ada indah di setiap pindah” saya percaya dengan kutipan itu.             Tapi saya bukan seekor angsa yang butuh pindah ke seletan setiap kali musim dingin tiba. Saya bukan spora yang dengan mudah berpindah, lalu bahagia menumbuhkan jamur.             Saya tak ubahnya sebatang pohon. Kokoh, menancap, mengakar hingga ke dalam hati orang-orang di sekitar saya. Sebatang pohon yang telah tumbuh dengan nyaman di tanah yang penuh dengan senyum ramah.             Lalu, jika pohon yang telah mengakar jauh ke dalam dijebol paksa untuk ditanam di tempat asing, akan ada dua kemungkinan. Pertama, dia akan layu lalu lambat laun bertahan hidup. Kedua, dia akan layu dan selamanya layu, lalu mati.

Aku Takut Gelap

Image
Satu hal yang paling aku takuti di dunia ini. Aku takut gelap. Sepanjang hari semenjak aku berpindah ke rak toko, tidurku tak pernah nyenyak. Aku takut ada yang membawaku pergi ke tempat gelap. Sungguh, di dalam kotak tempatku dikemas ini, cuma aku yang memiliki perasaan paling cemas. Sebab aku ada di tumpukan paling atas. Peluangku untuk ditukar uang dan berpindah ke tempat lain, sangatlah besar. Pernah aku merengek pada saudara seproduksiku. "Kenapa kita harus berumur pendek? Kenapa kita harus mengorbankan diri untuk menerangi gelap?" Saudaraku hanya menjawab, "Sebab itu memang tugas kita. Menerangi kegelapan dengan cahaya kecil kita. Untuk itulah alasan kita dibuat."

Segelas Susu

Image
Pikiranku mulai sadar, namun mata belum rela membuka. Badanpun, tidak berdaya melepas hangat selimut. Aku setengah tidur setengah terjaga. Pagi ini aku rasa ada yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, aku merasakan hawa sejuk menembus kamar. Bukan dari AC di ruangan, tapi angin pagi dari jendela yang terbuka. Aku tahu sebab aku sempat melihat lambaian gorden di tengah sadar dan tidurku. Mungkin semalam aku lupa menutup jendela, pikirku. Aku kembali memeluk guling lebih erat. 06.30. Angka yang terpampang di jam digitalku membuat aku sadar sepenuhnya. Ritual rutinku tiap pagi, duduk di tepi ranjang dengan mata terpejam, lalu meraba HP di atas meja samping ranjang. Tidak ada notifikasi berarti. Hanya broadcast message penawaran pil peninggi badan. Aku meletakkan kembali HPku. Shocking in the morning : Segelas susu tahu-tahu sudah tersaji di atas meja.

Biru

Sekujur tubuh seperti bermandi mentari. Padahal dunia sadar, mentari tak lagi di sisi ini. Kau tahu kenapa beribu peluh melumasi tubuh? Sebab biru tidak lagi angkuh menggulung lautan Sebab bayu tak sudi hadir menggelitik nyiur Gemerlap bintang masih setia beramah tama Tetes peluh beradu dengan biru yang semakin melekat Ada aku, ada kamu, dan sinar biru membara diantara kita Biru bola matamu, biru balutan tubuhmu, juga biru hasratku Kuning, biru, merah.... Aku tak tahu warna hasratmu. Hingga tangan kita saling terpaut dan tiada jarak di antara hati kita. Tubuh kita Nafas kita Detak jantung kita Tetesan peluh kita Aku yakin, hasratmu juga biru. Aku dan dirimu lebur bersama gelora biru Sebiru langit nan jauh disana, kau bawa aku melayang dalam kecupan selembut awan Sebiru busanamu, kau bawa aku melekat pada setiap jengkal kain birumu, menghirup wangi alami tubuhmu Sebiru gulungan ombak, kau hapus semua sunyi dengan gemuruh nafasmu Sebir

Layang-layang

Image
Aku adalah layang-layang, dan kau adalah bocah pemilikku. Jemari lembutmu kian lincah memasangkan benang ke tubuhku. Aku selalu bahagia dengan caramu memanjakanku. Kadang aku berada tak berjarak denganmu. Menempel di hangatnya punggungmu. Namun, kadang aku jauh terpisah mengangkasa. Dari jauh aku dapat melihat senyummu. Rupanya kau lebih bahagia jika aku terbang menjauh. Tidak sama sekali aku gelisah. sebab ada benda yang menghubungkan kita, benang cinta.

(Bukan) 10 Mei Terakhir

Sudahlah. Yang penting sisa-sisa Kell berterbangan bebas. Sejenak lagi terminum ikan, atau udang, atau terjaring tentakel. Itukah imortalitas yang kau maksud selama ini? Menurutku begitu. Rantai makanan seabadi putaran roda samsara. Seminggu lagi mungkin engkau terhidangkan dalam agar-agar. Kita bertemu lagi, Kell. Dalam segelas es manisan rumput laut yang berkhasiat menyejukkan panas dalam. –Supernova Akar- Jajaran kalimat di paragraph terakhir halaman 197 Supernova episode akar itulah – yang mempengaruhimu hingga punya cita-cita dikremasi saat mati. Kita memang bukan umat hindu ataupun budha. Aku sempat mencibir cita-citamu itu sebagai bualan atas dasar ingin beda dengan mayat yang lain. Atau, langkah berani Karena tidak mampu membayar lahan pemakaman. Namun lagi-lagi kau membantah dengan menyodorkan Supernova akar halaman 197. Alasanmu ingin dikremasi, sama seperti tokoh kell dalam novel itu. kau hanya ingin diperlakukan seperti abu mayat kell. Kau hanya ingin tetap terhubung d

Apa Aku Manusia?

Image
“Sampai kapan kamu mau jadi robot kayak gini?” Pertanyaanmu di ujung telepon barusan membuat hatiku rasanya disumpal duri.Setelah tiga detik tanpa suara, akhirnya aku memilih tetap diam tak menjawab tanyamu.sementara kau juga memilih mendiamkan dengan menutup telepon.             Sudah delapan minggu ini, Aku hidup dalam kepungan kertas, Kurungan deadline, dan jeruji revisi yang kian datang berbondong-bondong. Bukan karena suka menunda, tapi memang mereka datang bergerombol sebelum aku berhasil menyelesaikan gerombolan kertas lain yang datang sebelumnya. Bisa saja sebenarnya aku merobek mereka semua hanya dengan sepasang jari telunjuk dan jempol.Bisa saja aku menukar kertas-kertas sialan ini dengan selembar uang. Bisa saja aku bakar dengan setitik api. Tapi ternyata aku tidak sanggup meski nyatanya mudah.

Kenangan Senja Sang Gadis Kecil

Baru saja air mataku menetes mengingat sosok yang kini hanya dapat aku lihat pusaranya. Tepat satu tahun lalu, disaat senja yang sama, wanita dengan sorot mata tenang itu mengamini doa yang aku panjatkan di depan makam Ayah. Namun siapa yang dapat meyangka, kini wanita yang dulu mengamini doaku, hanya dapat merasakan satu-satunya doa yang mampu aku hadiahkan padanya tanpa bisa mengamini, atau sekedar berkata terimakasih.             Warna senja masih sama, jingga. Gundukan awan berpendar juga tetap sama, namun tidak dengan gundukan tanah di depan mataku. Satu tahun yang lalu masih satu, sekarang sudah berjumlah dua. Terlalu cepat rasanya membuat gundukan tanah ini berbeda.             Aku teringat dengan wanita ini semasa hidupnya. Saat wanita itu dengan bebas menatap senja, bebas memukuli anak semata wayangnya jika senja lebih dulu hadir daripada anaknya, dan selalu tersenyum kala

Memaknai Hujanmu

Alam memang mampu berbahasa. Alam memang bisa menyampaikan pesan, bagi orang yang mau memaknainya dan Bagi orang yang percaya alam memang hidup dan punya rasa. 8 April 2014, satu hari sebelum pesta demokrasi. Surabaya diguyur hujan. Tak cuma hujan, namun disertai angin. Tak cuma disertai angin, namun juga pohon-pohon tumbang. Lalu, ada apa dengan hujan? Ada apa dengan hari ini? Ada apa dengan bulan april yang seharusnya sudah melalui musim penghujan? Mungkin saja ini cara alam menyambut pesta demokrasi. Pesta politik yang cenderung 'kotor'. Begitu kotornya hingga alam sengaja membersihkan diri. Menghujani noda-noda kotor politisi.

Cukup 360 Detik

Image
Langit tak lagi berbintang. Bukan karena ketidakhadiranmu Langit kini tanpa gemerlap Bukan karena malam semakin kelam

Stiletto Menuntunku Pulang

Image
Ransel merah, begitulah aku memanggilnya sebelum tahu nama aslinya. Wanita berkulit eksotis dengan rambut dikuncir ala kadarnya. Dia setia membawa ransel berwarna merah kemana-mana. Aku akui fisiknya memang tidak begitu menarik orientasiku. Namun ada sesuatu yang membuat ia berbeda dari wanita pada umumnya. Dia adalah seorang Backpacker. Sejak aku mendengar kata itu terlontar dari bibirnya yang tipis merona, perhatianku tergugah untuk menyelami kisahnya.             Mungkin itu bukan satu-satunya yang membuat aku tertarik dengannya. Ada yang lain, Cara dia berpenampilan. Mataku tak bisa lepas dari langkah kakinya ketika ku dapati dia berjalan menuju bibir pantai menggunakan sepatu stiletto. Agak aneh. Bak peragawati, dia berjalan anggun dengan stiletto kemudian perlahan duduk di batas pasir yang kering dan basah karena sapuan ombak.

Sebelas - Sebelas

Image
Sebelas November, Bukan hari yang special. Bukan hari yang harus dirayakan. Bukan juga hari yang harus dihindari. Sebelas November, hanya hari biasa tanpa perayaan apa-apa yang harus aku lalui dengan sepenuh hati.             Siang ini, Rena, sahabatku, mengajakku makan siang di warung langganan kami semasa kuliah dulu. Selain untuk mengisi perut, kami berniat menyelami kenangan Kala kami dengan bangganya mengenakan almamater berwarna kuning.             Ketika tanganku menyibak tirai kain penutup warung, Hanya lengang yang menyambut kami. Sepi, bersih. Hanya suara televisi yang menyelinap masuk ke telinga kami.

Melepasmu

"Hapus air matamu!" Satu kalimat singkat, padat, dan terlampau jelas ini pun tak mampu menghentikan air matamu. "Kenapa kamu pergi?" Suaramu bergetar. Begitu juga pundakmu. "Aku harus pergi." Dengan telunjuk, aku menghapus air matamu. Namun semua sia-sia. Tangisanmu bagai tanggul jebol.

Hari Bersamamu

Senin. Aku mengucapkan selamat pagi. berharap senyumanku dapat menyibak kalimat bedebah berbunyi I hate monday. Selasa. Aku sengaja tidak membangunkanmu pagi-pagi. Selasa pagi adalah waktu yang harus dilewati di tempat tidur. Bukan karena alasan malas, namun aku sengaja. selasa adalah jadwal khusus yang ku buat untuk melihati parasmu yang terlelap lebih lama. Aku suka melihatmu kala kau terlelap

Restoran Hayalan dan Tamunya

Image
Aku masih ingat betul. Dua puluh tahun silam, kala jalan aspal itu masih jadi pekarangan rumah kita. Bunga mulai muka pagar sampai muka pintu tidak pernah aku hafal namanya satu-satu.  Disitu kita selalu berlarian, berguling di rerumputan, dan tangkai demi tangkai bunga yang kurang beruntung selalu kita jadikan menu spesial untuk restoran hayalan kita. Dalam imaji, Restoran kita sore itu sangat ramai pengunjung. Entah sudah berapa tanaman yang kehilangan mahkotanya karena kita harus memasok persediaan restoran kita. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Dunia waktu itu terasa begitu menyenangkan. Walaupun sebenarnya restoran kita terancam digusur kalau Nenek sampai tahu banyak bunga yang dikorbankan. Ada satu tamu restoran yang membuat kita terkejut. Bukan tamu dalam wujud bayangan di alam imaji, namun tamu dalam arti sebenarnya. Ada, dapat dilihat, dan dapat diraba. Tapi coba saja merabanya kalau